Tidak sedikit akademisi atau ilmuwan di kampus yang terganggu bahkan mengalami disorientasi, atau setidaknya kehilangan fokus. Sebagai akademisi, sejatinya harus ada karya yang dengannya publik memberikan pengakuan terhadap keahlian di bidang tertentu. Dengan hanya mendaku secara verbal bahwa dirinya memiliki keahlian di bidang tertentu, tetapi tidak ada satu pun artefak akademis yang ditunjukkan, tentu masih jauh dari memadai sebagai akademisi.
Buku yang kusebut sejak di awal catatan harianku kali ini, mulai ditulis pada 1920 ketika penulisnya masih berusia 31 tahun. Dan, ini yang fantastis: buku itu diselesaikan selama setengah abad lebih dua tahun atau 52 tahun. Arnold Toynbee wafat pada 1975. Itu artinya, buku sejarah yang mengurai jejak peradaban manusia sejak 500 SM hingga abad ke-20 itu, baru rampung 3 tahun sebelum Arnold Toynbee wafat.
(Baca juga: Ketika Profesor Berbagai Negara Bahas HAM di Universitas Muhammadiyah Malang dan Profesor Barat pun Optimistis pada Muhammadiyah sebagai Masa Depan Cemerlang Islam yang Humanis)
Coba kita bayangkan, Arnold Toynbee, dalam rentang waktu yang panjang, 52 tahun, fokus pada apa yang minat kajiannya, yaitu sejarah yang membuahkan karya monomental itu. Tidak hanya buku itu yang ditulisnya. Buku lainnya yang juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah, Sejarah Umat Manusia: Uraian Analitis, Kronologis,Naratif, dan Komparatif.
Akademisi lain yang jauh lebih belakangan setelah Arnold Toynbee, yang bisa dijadikan sebagai eksemplar dan kepadanya kita bisa belajar fokus, keterbukaan, ketekunan, dan dedikasi adalah Harry A Poeze. Pada tahun yang sama, 1972, ketika Arnold Toynbee merampungkan A Study of History, Harry A. Poeze merampungkan skripsinya yang mengangkat sepak terjang Tan Malaka.
Aku tidak ingin menarasikan Tan Malaka yang nama lengkapnya sebenarnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Nama Tan Malaka sudah sedemikian populer sebagai salah satu aktor sejarah di negeri ini pada era pergerakan dan kemerdekaan. Kita patut berhutang budi kepada Harry A. Poeze karena sepanjang karirnya sebagai akademisi–untuk tidak mengatakan sepanjang umurnya–hanya fokus, terbuka, tekun, dan berdedikasi pada riset hanya tentang Tan Malaka.
(Baca juga: Kemesraan Hamba dan Tuhan dalam Hakikat Kurban dan Dakwah adalah Transformasi Sosial yang Berjejaring dengan Berbagai Komunitas)
Tanpa adanya sinergi setidaknya keempat hal tersebut pada diri Harry A Poeze itu, mustahil sebuah buku biografis setebal 3000 halaman yang hanya membahas Tan Malaka bisa diproduksi. Aku memiliki versi terjemahannya bertajuk, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, yang baru mencapai empat jilid.
Harry A Poeze bisa disandingkan dengan Peter Brian Ramsey Carey, atau yang lebih dikenal dengan Peter Carey saja. Aku mengoleksi buku buah karya sejarawan berkebangsaan Inggris itu seperti: (1) Perang Jawa: 1825-1830; (2) Taqdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855; (3) Kuasa Ramalan yang terdiri dari 3 jilid; (4) Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Sebagaimana Arnold Toynbee dan Harry A. Poeze, Peter Carey membutuhkan waktu yang panjang, sekitar 40 tahun, hanya untuk meneliti Pangeran Diponegoro.
Hanya fokus pada satu orang? Tidak banyak memang akademisi yang istiqamah hanya memfokuskan bukan saja pada satu bidang kajian, tetapi pada satu tokoh yang dalam rentang waktu yang sangat panjang terus dikaji. Apa tidak bosan? Biasanya terutama akademisi ilmu sosial seperti diriku, cenderung berpindah-pindah persoalan yang dikaji. Salah satu alasan yang sering terucap adalah persoalan yang pernah dikajinya telah mencapai titik jenuh. Kalau sudah begitu, buat apa dikaji lagi?
(Baca juga: Begini Cerita Prangko PKO Moehammadijah Dijadikan Cover Buku Monumental di Inggris dan Buku: Ideologi Kaum Reformis)
Seharusnya kita bisa menghindar dari argumen semacam itu. Aku lalu teringat pada Socrates yang terus menerus menanyakan satu hal sampai kemudian tidak ada lagi pertanyaan yang bisa dijawab. Cara berfikir filsuf terkemuka pada era Yunani klasik yang juga guru Plato itu dikenal dengan cara berfikir dialektik.
Dengan cara berfikir semacam itu, Socrates ingin memberikan suatu pelajaran bahwa sesuatu apa yang telah dianggap mapan bisa dan bahkan harus dipertanyakan lagi, meskipun dengan caranya itu, Socrates seperti ditulis oleh Fuad Hassan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1985-1993) dalam bukunya Pengantar Filsafat Barat (2005), sering menjengkelkan orang yang diajaknya bercakap karena alih-alih memberi jawaban, justru lebih banyak bertanya.
Nah, selama rentang waktu yang begitu panjang, Harry A Poeze dan Peter Carey bisa dipastikan bergumul dengan dirinya sendiri, mempertanyakan apa yang telah ditemukan pada tokoh yang ditelitinya, yang pada gilirannya berpetualang melintasi batas-batas negara. Harry A Poeze, misalnya, mengembara ke Jerman, Prancis, Inggris, USA, Rusia, Filipina,dan tentu saja Indonesia, hanya untuk menguak Tan Malaka, hanya satu orang. Luar biasa!
(Baca juga: Ketum PP Muhammadiyah Launching 4 Buku dalam Kajian Ramadhan dan Masjid Harus Sediakan Wifi, Buku, dan Kopi agar Lebih Menarik dari Warkop)
Empat puluh tahun! Waktu selama itu yang digunakan hanya untuk meneliti satu tokoh. Empat puluh tahun, bahkan mencapai setengah abad lebih seperti pengalaman Arnold Toynbee adalah salah satu penanda dedikasi pada ilmu pengetahuan. Atas dedikasinya itu, adalah wajar jika mereka selalu dikenang oleh sejarah. Aku lalu mengingat suatu ungkapan bijak dari sastrawan yang namanya hingga kini terus dikenang kendati telah lama wafat, yaitu Pramodya Ananta Toer. Katanya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Tanpa menulis, masih kalimat bijak darinya, kita akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Bagaimana dengan kita? Menulislah! Sebab, lagi-lagi mengutip Pramodya Ananta Toer, menulis adalah sebuah keberanian. (*)
CATATAN Guru Besar UMM Prof Syamsul Arifin yang tulis di beberapa tempat, antara lain di rumahnya, Rabu dini hari, 14 September 2016. Dan disempurnakan di Ruang Rektor(at) Kampus II UMM, pagi hari, 15 September 2016.