PWMU.CO-Bung Karno sesudah peristiwa G30S/PKI 1965 meragukan loyalitas petinggi militer terutama Angkatan Darat. Sampai-sampai dia menugaskan seseorang untuk menyelidiki siapa saja pimpinan militer yang setia kepadanya.
Tugas itu diberikan kepada Menteri Negara Oei Tjoe Tat. ”Saya tugaskan kamu untuk meraba-raba siapa di antara para jenderal yang masih setia dan siapa yang mengguncang-guncang kursi kepresidenan,” kata Bung Karno kepada Menteri Oei.
Kisah ini diceritakan Salim Said dalam bukunya Gestapu 65. Di antara jenderal yang ditemui Menteri Oei adalah Letjen Soeharto, Pangkostrad. Dalam memoarnya Oei Tjoe Tat menulis, Soeharto mengomel karena tersinggung. Kenapa yang dicurigai militer padahal orang PKI sudah jelas ketidaksetiaannya kepada negara.
Soeharto berkata,”PKI beberapa kali menusuk kita. Waktu kita berkelahi melawan Belanda kita ditusuk. Sekarang semua pemimpin kita dibantai. Apa lagi yang meski kita tunggu? Kenapa tidak dibubarkan saja? Tunggu apa lagi?”
Dia mengatakan lagi,” Tahun 1955, ketika saya menjadi panglima di Jawa Tengah, saya kasih tahu, ’Pak, hati-hati Pemilu di Jawa Tengah, jadi merah nanti kalau tidak diambil tindakan tertentu. Merah semua, jadi komunis.”
Soeharto melanjutkan ceritanya dengan enteng Bung Karno menjawab,”Merah kek, coklat kek, hijau kek, biru kek, terserah rakyat. Namanya saja Pemilu.” Menurut Soeharto jawaban seperti itu bukan pemimpin namanya.
Menteri Oei juga menemui petinggi Angkatan Udara. Ternyata juga mengeluhkan sikap presiden. ”Kita ini kecewa sama Bapak. Sudah siapkan roket di Maospati diarahkan ke Jakarta. Dilaporkan kepada Bung Karno, malah dimarahi. Katanya, mau merusak Indonesia? Mau merusak ibu kota? Masak Bung Karno dituduh membunuh tujuh jenderal. Lha, membunuh nyamuk saja tidak berani. Saya lihat sendiri. Wong melihat darah saja tidak berani.”
Bung Karno Marah Diberi Masukan
Gubernur Jawa Barat Brigjen TNI Mashudi dan Panglima Siliwangi Mayjen TNI Ibrahim Adjie sebagai pendukung Sukarno juga membujuk presiden agar membubarkan PKI. Menurut keduanya, kalau saja presiden mau membubarkan PKI waktu itu, maka pembersihan dan penangkapan orang komunis tanpa proses pengadilan itu akan terhenti.
Direktur Penerangan Staf Angkatan Bersenjata Brgjen Soegandhi pernah menemui Bung Karno di Istana Merdeka menjelaskan bahwa KASAD Jenderal Ahmad Yani loyal kepada presiden. Dia temui presiden pada September 1965 sebelum peristiwa G30S/PKI.
Dia menjelaskan isu Dewan Jenderal di Angkatan Darat yang akan kudeta terhadap presiden tidak benar. Isu itu dihembuskan orang PKI pimpinan Aidit yang justru sedang merencanakan perebutan kekuasaan.
Bung Karno malah marah dan membentak. ”Gandhi, kau tau apa? Kau itu sudah dicekoki Nasution.” Setelah berkata begitu lalu mengusir Soegandhi yang pernah lama menjadi ajudan presiden.
Gara-gara Konfrontasi Malaysia
Bung Karno mulai meragukan kesetiaan pimpinan militer terutama Kepala Staf AD Jenderal Ahmad Yani sejak tahun 1963 ketika memerintahkan konfrontasi Malaysia tapi dijalankan dengan setengah hati sehingga dituduh tidak loyal kepada Pemimpin Besar Revolusi.
Konfrontasi dengan Malaysia diumumkan Indonesia pada 16 September 1963 untuk menggagalkan terbentuknya Persekutuan Tanah Melayu bentukan Inggris yang wilayahnya termasuk Serawak dan Singapura. Bung Karno menentang dua wilayah itu diklaim masuk negara baru itu.
Pembisiknya konfrontasi adalah Menteri Luar Negeri Subandrio yang juga merangkap kepala Badan Pusat Intelijen. Saat itu Soebandrio orang dekat presiden dan berambisi menjadi pewaris kepresidenan.
Subandrio memanfaatkan bocoran dokumen Gilchrist untukmenyerang tentara. Dia mengumumkan informasi itu kepada wartawan saat berada di Kairo. Dia menyatakan, ada pihak tentara yang berhubungan dengan CIA. Pernyataan Soebandrio itu dimuat koran Mesir, Al Akhram.
Dokumen yang belum dikonfirmasi kebenarannya itu membuat Sukarno makin cemas dan mencurigai Angkatan Darat.
Menurut informasi lainnya, Yani tidak mengerahkan semua pasukan TNI untuk konfrontasi ke Kalimantan utara. Pasukan RPKAD (Kopassus sekarang) tetap siapa di Solo dan Cijantung Jakarta sebagai kewaspadaan kalau PKI benar-benar mengadakan perebutan kekuasaan sehingga ada pasukan yang siap mengatasi.
”Saya tidak ingin RPKAD terlibat dalam konfrontasi dengan Malaysia,” kata Yani. ”Saya tidak punya pasukan lain,” ujarnya. Walaupun Yani tak setuju dengan konfrontasi Malaysia tapi tak bisa menghentikan perintah Bung Karno.
Waktu berlalu ketidaksukaan Bung Karno pada Yani masih ditampakkan pada 13 September 1965 menjelang G30S. Ketika berpidato di Istana di depan para gubernur se Indonesia, Presiden Soekarno menyinggung ada anak-anak Revolusi yang tidak loyal kepada Pemimpin Besar Revolusi.
Seiring dengan itu PKI juga mulai menyerang lawan-lawan politiknya termasuk pimpinan Angkatan Darat. Harian Rakjat memuat tulisan menuduh para perwira Angkatan Darat melancarkan taktik ’maling teriak maling’ memfitnah PKI sedang merencanakan kudeta. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto