Visi Kecil Raja-Raja Kecil kolom ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah tinggal d Lamongan.
PWMU.CO – Jamak terdengar sejarah Islam tentang runtuhnya daulah Abbasiyah, Andalusia, dan Utsmaniyah. Itulah tiga imperium Islam modern pasca-khulafaur rasyidin yang kini tinggal nama.
Secara tegas dan bernas hampir semua mengatakan Andalusia runtuh karena serangan Ferdinand dan Isabela. Sedangkan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad runtuh karena serangan bangsa Mongol.
Imperium terakhir, Utsmaniyah. runtuh karena persekongkolan penjajah Inggris dengan kaum sekuler pimpinan Mustafa Kamal Pasha.
Sedikit sekali kaum Muslimin termasuk sejarahwan yang menyadari keroposnya sisi dalam umat Islam Andalusia, Abbasiyah, dan Utsmaniyah sebelum datangnya serangan pihak luar.
Runtuh kerena Faktor Internal
Daulah Abbasiyah, Andalusia, dan Utsmaniyah hakikatnya runtuh karena ulah umat Islam sendiri. Sebagian besar disebabkan makin merenggangnya ukhuwah Islamiyyah. Bahkan lebih parah lagi keengganan untuk berbaiat pada satu kepemimpinan.
Kesatuan daulah Abbasiyah, Andalusia, dan Utsmaniyah dirongrong oleh kekuatan dari dalam sebelum datangnya serangan dari pihak luar. Daulah Abbasiyah yang resmi dikuasai oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 kondisi terakhirnya sangat jauh dari masa kejayaan pada saat dipimpin Khalifah Al Makmun maupun Harun Al Rasyid.
Demikian pula Daulah Andalusia yang resmi diambil Spanyol tahun 1492 kondisinya turun drastis dibandingkan pada masa kejayaan Amir Abdurrahman Ad Dakhil hingga Al Hakam.
Daulah Utsmaniyah sebagai kebanggaan terakhir kekhalifahan Islam yang runtuh pada tahun 1924 kondisinya sudah terpecah-pecah jauh dibandingkan masa Khalifah Muhammad Al Fatih.
Faktor Kecil
Perpecahan atau putusnya ikatan ukhuwah seringkali berawal dari pembangkangan masalah-masalah kecil yang dianggap ringan. Dimulai dari pembangkangan-pembangkangan kecil atas putusan khalifah di pusat pemerintahan hingga berdirinya taifah-taifah atau kerajaan-kerajaan yang dipimpin raja-raja kecil.
Sifat kerajaan-kerajaan kecil dengan raja-raja kecilnya seringkali disebut pemerintahan kota atau propinsi. Luas wilayahnya tidak sebesar daulah Islam yang “melahirkan” mereka, tetapi karena merasa mampu mandiri berdirilah dinasti-dinasti baru dengan visi kecil demi melambungkan nama keluarga atau golongannya.
Fakta tersebut di atas merupakan kondisi mental umat Islam ketika memasuki abad ke-16, abad ketika persatuan dan kesatuan luntur. Tuntutan hawa nafsu berkuasa sebagian kecil raja-raja kecil melupakan semangat bersatu membangun visi besar bersama.
Kondisi sebaliknya jsteru terjadi pada bangsa Eropa sejak mencanangkan Renaissance abad ke-16. Kecenderungan untuk bersatu demikian kuat sampai hari ini, mulai dari masa imperialisme hingga masa melenial dengan keberadaan Masyarakat Uni Eropa.
Di daratan Amerika bangsa-bangsa Eropa yang hijrah ke sana pada tahun 1776 sepakat menyatukan negara-negara bagian dalam United States of America (USA). Tidak ketinggalan kaum sosialis-komunis pada tahun 1917 berhasil membentuk negara besar Uni Sovyet dengan cara revolusi paksa menggabungkan negara-negara Rusia, Lithuania, Kazakhstan, Ukraina, Uzbekistan dan sebagainya.
Kaum sosialis-komunis di daratan Cina tidak ketinggalan pada tahun 1949 mendirikan Republik Rakyat Cina dengan menyingkirkan golongan nasionalis dan melebur dinasti-dinasti kerajaan yang notabene bentuk pemerintahan leluhur bangsa Tiongkok.
Tidak mengherankan jika kemudian Eropa, Amerika, Rusia—sebagai bekas Uni Sovyet—dan RRC menjadi kekuatan ekonomi politik dunia saat ini. Adapun negara-negara Islam tetap “puas” mendapat julukan sebagai negara dunia ketiga bersama negara-negara di Amerika Selatan dan Afrika.
Harapan pada Indonesia
Kehadiran Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia sebagai harapan baru bangkitnya kekuatan sosial ekonomi politik Islam.
Kehadiran Indonesia sebagai negara kesatuan hasil kesepakatan kerajaan-kerajaan Nusantara di Aceh, Deli, Siak Sri Indrapura, Palembang, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegara, Pontianak, Kutai Kartanegara, Makassar, Bone, Soppeng, Wajo, Denpasar, Bima, Ternate, Tidore dan lain-lain.
Di samping itu peran para pejuang dan ormas Islam yang telah memiliki anggota di seluruh Nusantara turut andil membentuk kesepakatan dan visi besar negara kesatuan.
Visi Besar Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang hadir sejak tahun 1912 dan telah memiliki banyak anggota serta kantor cabang di seluruh nusantara menjelang kemerdekaan tahun 1945 turut andil menyatukan visi besar negara kesatuan.
Sejak tahun 1923 Muhammadiyah bahkan telah ikut mempopulerkan nama Indonesia bukan lagi Netherland Indies atau Hindia Belanda dalam majalah Suara Muhammadiyah.
Visi besar Muhammadiyah sendiri sebagaimana diketahui yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Visi besar yang dicanangkan oleh pendiri Muhammadiyah dan telah berusaha untuk terus dijaga oleh segenap pimpinan, anggota dan simpatisan.
Visi besar Muhammadiyah bukan jargon atau isapan jempol belaka, terbukti masih tetap menjadi ormas yang terus tumbuh di abad milenial ini. Amal-amal usaha, organisasi otonom dan pimpinan-pimpinan cabang serta ranting terus bertumbuh bahkan bertambah dengan visi besar yang telah dicanangkan pada pendirinya.
Banyak ormas yang lahir bersama atau lebih dahulu daripada Muhammadiyah seperti Sarekat Islam, Budi Utomo, dan lain-lain kini tinggal nama.
Tantangan Muhammadiyah di abad milenial ini adalah menjaga visi besar bersama-sama. Visi besar yang harus dijaga dalam kesatuan gerak langkah berorganisasi dan berjamaah secara ‘tumakninah’.
Ada pepatah berbunyi “Jika ingin cepat sampai maka berlarilah sendiri, jika ingin besar berjalanlah bersama-sama”. Usia 108 tahun Muhammadiyah pada tahun 2020 ini sebagai usia “balita” dibandingkan peradaban Abbasiyah yang mampu bertahan selama 508 tahun, Andalusia 781 tahun, dan Utsmaniyah 621 tahun.
Selayaknya segenap elemen di persyarikatan baik sebagai pimpinan, kader maupun, simpatisan menjaga visi besar bersama, bukan sekadar visi kecil keinginan menjadi “raja-raja kecil”.
Dengan visi besar perlahan dan pasti persatuan dan kesatuan umat Islam bisa diwujudkan. Persatuan dan kesatuan yang kuat merupakan potensi daya tawar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kapan lagi umat mayoritas negri ini mampu menjadi penentu dan bukan jadi pembantu jika enggan bersatu? Konsolidasi administrasi, jamaah, aset, kewajiban dan kegiatan sebagai keniscayaan yang harus diwujudkan secara fleksibel dan bertahap.
Tidak ada persatuan tanpa ikatan, tiada ikatan tanpa ketaatan yang tsiqah pada kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai sebuah sistem berjamaah yang disepakati berdasarkan qaidah syar’i, bukan tentang subjek orang per orang.
Ketaatan bukanlah sebuah bentuk taklid, warga persyarikatan sudah pasti paham perbedaan taklid dengan taat. Insyaallah dengan istikamah menjaga visi besar soliditas warga persyarikatan mampu menjadi perekat negara kesatuan menyongsong kejayaan Islam rahmatan lil alamin hingga akhir jaman.
Usia manusia pasti lebih pendek dari usia sebuah peradaban. Maka selayaknya meninggalkan jejak visi besar peradaban bagi generasi berikutnya. Bukan visi kecil ala raja-raja kecil yang lambat laun meruntuhkan peradaban agung sebagaimana runtuhnya daulah Abbasiyah, Andalusia, dan Utsmaniyah. Wallahu’alam bi ash shawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.