Ir HR Soelaiman Arsitek ‘Jembatan Komunikasi’ Suramadu. Dialah yang menjalin komunikasi antara pemerintah dengan ulama yang sempat berbeda pendapat mengenai pembangunan jembatan itu.
PWMU.CO – Apabila kita melintas di Jalan Agung Suprapto, Lamongan, atau kebetulan ada saudara kita yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan, maka bangunan megah tersebut adalah salah satu buah karya Ir HR Soelaiman.
Pembina Bidang Ekonomi dan Kemasyarakatan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Periode 2000-2005 era kepemimpinan Prof Fasich Apt, ini juga mengarsiteki pembangunan Rumah Sakit Siti Khodijah, Jalan Pahlawan Nomor 260 Sepanjang, Taman, Sidoarjo.
Soelaiman juga dikenal sebagai perancang bangunan sejumlah pondok pesantren di Madura dan Jember. Selain itu, tentu saja dia adalah orang yang mengarsiteki pembangunan Masjid Babussalam di Perumahan Mulyosari Utara, Surabaya, yang berada di lingkungan tempat tinggalnya.
Di kalangan Muhammadiyah Jatim, Soelaiman yang meninggal dunia 11 Oktober 2005 itu memang dikenal sebagai seorang arsitek yang banyak dimanfaatkan umat. Sosok organisatoris dan seorang politisi yang jujur dan istikamah.
Tinggalkan PNS
Soelaiman pernah meniti karir pegawai negeri sipil (PNS)—kini ASN (aparatur sipil negara)—di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Namun karena tidak betah dengan suasana birokrasi, yang menurutnya banyak membuka peluang terjadinya manipulasi, dia keluar dari kepegawaian.
Pilihan hidupnya kemudian dicurahkan dengan bekerja sebagai kontraktor dan konsultan. Untuk memperlancar bisnis barunya itu, dia melakukan dengan cukup sederhana: membuka kantor di rumahnya.
Selain itu, alasan Soelaiman keluar dari PNS juga terkait dengan keteguhannya berprinsip “tidak boleh menyia-nyiakan waktu”. Dia merasa tidak bisa memanfaatkan seluruh waktunya untuk kantor, karena terlalu banyak urusan organisasi dan wiraswastawan.
Setelah mengevaluasi tentang pekerjaannya sebagai PNS, dia menilai banyak waktunya yang terbuang tanpa kontribusi amal shaleh. Sehingga pekerjaan di luar menjadi pilihannya, sekaligus menggunakan waktu agar lebih efektif dan efisie
Keturunan Ningrat
Jika dirunut pada silsilah keluarga, Ir HR Soelaiman ternyata masih keturunan ningrat dari Pangeran Sidomukti. Terlahir pada 25 Februari 1945 di Bangkalan, dia dibesarkan dalam keluarga yang terhormat.
Ayahnya bernama H Abdul Karim Sastrowijoyo dan ibunya bernama Hj Munilah. Bukti ketokohan orangtuanya juga bisa dilihat dari nama ayahnya yang sampai sekarang masih terpampang di Museum Sumenep Madura.
Dari rekam jejak hidupnya, Soelaiman kecil tidak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren seperti lazimnya anak-anak muda di Madura. Namun hal itu tidak membuat dirinya hampa ilmu agama, setidaknya menurut istri Soelaiman, Hj Rahayu Setyowati.
Bagi Rahayu, Soelaiman adalah guru spiritual, yang membimbing pada jalan yang lurus dalam upaya manusia melakukan komunikasi dengan Allah SWT. Selain belajar dari kedua orangtuanya, pelajaran agama juga diperolehnya lewat kegiatan dalam organisasi Islam.
Masa remaja Soelaiman dihabiskan untuk belajar. Pendidikan dasar hingga menengah atas ditempuh di tanah kelahirannya, dengan prestasi akademik yang tidak mengecewakan. Tak heran jika Soelaiman remaja mampu menembus SMA Negeri 2 Bangkalan, salah satu sekolah favorit yang berada di Pulau Garam tersebut.
Lulus dari bangku SMA, zaman mengharuskannya berhijrah ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS Surabaya. Kemudian, dia menikah dengan Rahayu wanita asal Blora, Jawa Tengah ini sekitar tahun 1974 ini.
Dari Hizbul Wathan hingga DPR
Aktivitas organisasi Soelaiman diawali dengan aktif di Pandu Hizbul Wathan di Madura. Sebagai seorang pelajar dia juga aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII).
Saat kuliah, Soelaiman aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Koordinator Komisariat ITS. Selama di HMI inilah Soelaiman bersahabat dengan Prof Fasich, dr Kabat dan Faruk Aladeta, SH, yang dikenal sama-sama aktif di KAHMI.
Dinamika berorganisasinya yang terbilang cukup mulus juga mengantarkannya sebagai salah satu politisi tangguh di kemudian hari.
Debut Soelaiman sebagai politisi diawali dengan aktivitasnya di Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jatim pada masa kepemimpinan Hafidz Maksum.
Soelaiman yang mewakili unsur Parmusi pernah menjadi anggota DPR RI, pada saat tampuk pemerintahan dipegang oleh Presiden B.J. Habibie. Dia juga pernah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menggantikan Farid Syamlan.
Pada tahun 2003, Soelaiman sebenarnya juga sempat mendaftarkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun pada saat verifikasi yang dilakukan KPU Jatim, dia kemudian mengundurkan diri bersamaan dengan mantan Pemimpin Redaksi Memorandum, Agil H Ali.
Soelaiman menjalani masa-masa sebagai politisi dengan menjadikan istrinya sebagai partner dalam diskusi soal-soal politik, karena kebetulan istrinya juga aktif di Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Wanita Persatuan Jatim.
Kendati sukses berpolitik, tidak berarti dia merasa nyaman di dunianya tersebut. Soelaiman sering merasa kesal, karena yang dibicarakan di partai hanya bagaimana menjadi anggota DPR.
Di mata Rahayu—yang akrab dipanggil Yayuk—sosok Soelaiman, merupakan figur yang lurus, konsisten dan jujur. Selain aktif di Muhammadiyah dan PPP, dia juga mendirikan Lembaga Pemberdayaan Petani Pengangguran dan Pengusaha Kecil (LP4K) sebagai wujud empatinya terhadap kaum dhuafa.
Peduli Tanah Kelahiran Madura
Sebagai putra kelahiran Madura, Soelaiman termasuk sosok yang sangat peduli terhadap perkembangan pulau tempatnya dilahirkan tersebut. Pikiran-pikirannya banyak dicurahkan untuk kaum dhuafa’ di daerahnya agar mereka bisa merasakan hidup dengan layak.
Saat listrik di Pulau Madura padam akibatnya terputusnya kabel di bawah laut, Soelaiman turut berjuang di DPR RI agar masalah tersebut segera diatasi. Bukan hanya bersuara lantang, dia bahkan mendatangkan Menteri Energi dan SDM ke Madura hingga sang menteri mengirimkan genset.
Jika sekarang Jatim punya jembatan monumental Suramadu, nama Soelaiman tidak bisa lepas dari gagasan dan realisasinya. Ketika pemerintah merencanakan pembangunan jembatan ini pada 1990, timbul pro dan kontra di tokoh Madura.
Sebab, tidak sedikit yang menilai bahwa jembatan itu—yang oleh pemerintah untuk mempercepat industrialisasi—akan berefek pada dekadensi moral. Sebagai penjaga moral, ulama yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama Madura (Basra) mempertanyakan industrialisasi yang tepat diperuntukkan bagi warga Madura.
Perbedaan pendapat dan cara pandang ini berujung pada konflik antara pemerintah dan ulama. Melihat kesenjangan komunikasi antara pemerintah pusat dan ulama Madura itu, Soelaiman segera membangun ‘jembatan komunikasi’ yang berusaha mendekatkan dua belah pihak. Jadi Ir HR Soelaiman arsitek ‘jembatan komunikasi’ Suramadu.
Tokoh Madura yang dikenal sangat modern ini membuka akses bagi para Kiai Madura untuk membangun silaturrahmi dengan teknokrat dan cendekiawan: terutama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Korps Korps Alumni HMI (KAHMI).
Secara berlahan, upaya Soelaiman ini bisa memecah kebuntuan komunikasi Madura dan pusat. Konsep industrialisasi Madura yang diawali Suramadu mulai dibicarakan dan menemui titik temu yang sama.
Terdapat kesepemahaman bahwa industrialisasi Madura harus menjadi percontohan masyarakat dalam membingkai modernitas dan keIslaman. Hasilnya, Jembatan Suramadu diresmikan penggunaannya pada 10 Juni 2009.
Peduli Kasus Sambas 1999
Perhatian terhadap tanah kelahirannya juga ditunjukkan dalam kasus penyelesaian Kasus Sambas 1999, yang memakan tidak sedikit korban dari etnis Madura. Selain aktif sebagai anggota tim pencari fakta DPR RI, dia juga menjadi orang terdepan ‘pemulangan’ warga Madura di Kalimantan.
Dia memperjuangkan agar pemerintah merelokasi pemukiman para pengungsi melalui transmigrasi lokal di wilayah Kalimantan sendiri.
‘’Namun, kami sangat tidak setuju kalau para pengungsi tersebut dipulangkan ke daerah asal. Karena selain akan mengundang problem baru, juga akan menjadi preseden buruk bagi tetap terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika ini yang terjadi, hanya akan merangsang daerah-daerah lain untuk melakukan hal yang sama terhadap para pendatang di daerahnya,’’ begitu Soelaiman saat itu berargumen.
Untuk menolong para pengungsi yang telah menderita lahir dan batin, dia mengusulkan pemerintah pusat dan daerah mengggalang dana secara nasional maupun internasional. Dia mengimbau kepada pihak-pihak yanng bertikai agar berlapang dada mengakhiri semua perselisihan yang terjadi dan secepatnya melakukan rujuk sosial.
Khusus kepada masyarakat Madura di perantauan, dia mengimbau mereka agar pandai-pandai menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sosial dan budaya di daerah masiing-masing, dengan prinsip saling asah, asih, dan asuh, serta menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dan saling menghormati.
Rumahnya Jadi Base Camp Kaderisasi
Ayah dari Ratna Kartika dan Nurul Intan Permanasari ini juga pernah memberikan kambing kepada penduduk di dekat Desa Batang Batang, yang kemudian dikembangbiakkan hingga bisa digunakan untuk kurban, selain juga mengembangkan tanaman mangga di Madura.
Dalam masalah kaderisasi di Muhammadiyah, peran Soelaiman dalam mengayomi Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Jatim juga sangat terasa. Jika Anda pernah mendengar base camp Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Pemuda Muhammadiyah, maupun Nasyiatul Aisyiyah di Jalan Gembili III/42, maka itu tidak lepas dari jasa Soelaiman. Rumah itu selain menjadi tempat transit aktivis AMM dari daerah, karena saat itu belum tersedia kantor yang representatif.
Rumah milik Soelaiman itu benar-benar menjadi tempat perkaderan, termasuk juga perjodohan, selain tentunya tempat mengasah kapasitas intelektual dalam ragam diskusi dan kajian.
Selama 12 tahun sejak 1991, tempat itu menjadi kantor pergerakan AMM Jatim hingga pindah ke Kertomenanggal IV/1 pada 2003. Selain kepemilikan rumah berpindah dari Soelaiman, migrasi ini dilakukan karena kantor PWM baru yang lebih representatif telah tersedia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan berjudul asli R. Soelaiman (1945-2005) Arsitek Dambaan Umat ini dimuat ulang PWMU.CO dengan judul baru Ir HR Soelaiman Arsitek ‘Jembatan Komunikasi’ Suramadu.
Penerbitan ulang atas izin Penerbit: Hikmah Press dari buku Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa TimurJilid II, Editor Nadjib Hamid, Muh Kholid AS, dan MZ Abidin, Cetakan I: 2011.