Mengapa Muktamar Harus Diundur Lagi? Kolom ditulis oleh Ahmad Faizin Karimi, anggota Muhammadiyah biasa, tinggal di Gresik, Jawa Timur.
PWMU.CO – Muktamar Muhammadiyah akan diundur lagi? Itulah salah satu agenda Tanwir Muhammadiyah yang akan dihelat secara daring 19 Juli 2020 ini.
Seperti pernyataan pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahad (5/7/2020). Salah satu agenda Tanwir—musyawarah tertinggi kedua setelah Muktamar—adalah memutuskan agenda organisasi. Ada kemungkinan menunda muktamar pada tahun 2021 atau 2022.
Sedianya Muktamar Ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah akan digelar 1-5 Juli 2020. Tapi pandemi Covid-19 membuat musyawarah tertinggi di persyarikatan itu dijadwal ulang pada 24-27 Desember 2020.
Membaca berita muktamar akan diundur lagi, saya jadi bertanya-tanya. Mengapa forum permusyawaratan tertinggi persyarikatan yang mengklaim sebagai gerakan berkemajuan ini diundur lagi?
Tentu alasan “tidak bisa mengumpulkan orang karena pandemi” adalah alasan rasional medis. Tapi itu bukan alasan legal, apalagi alasan strategis.
Karena Muktamar adalah forum resmi organisasi maka ada baiknya keputusan soal muktamar juga merujuk pada aturan organisasi. Setahu saya, tidak ada aturan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang menyebut muktamar bisa diundur. Apalagi diundur terus.
Yang ada adalah Muktamar Luar Biasa. Pada Pasal 23 AD/ART disebutkan Muktamar Luar Biasa ialah muktamar darurat disebabkan oleh keadaan yang membahayakan Muhammadiyah dan atau kekosongan kepemimpinan, sedang tanwir tidak berwenang memutuskan.
Maka, saya kira, alih-alih mendengungkan pengunduran muktamar, lebih baik mewacanakan Muktamar Luar Biasa.
Pada Pasal 22 AD/ART tentang Muktamar ayat (3) disebutkan muktamar diadakan satu kali dalam lima tahun. Dan Pasal 17 tentang Masa Jabatan Pimpinan Ayat (1) disebutkan masa jabatan Pimpinan dari Pusat sampai Ranting adalah juga lima tahun.
Pengunduran Muktamar yang akan berdampak pada pengunduran Musyawarah Wilayah (Musywil) sampai Musyawarah Rating (Musyran) bisa menyebabkan secara legal-organisatoris kepemimpinan di semua level persyarikatan menjadi melampaui masa wewenangnya.
Dengan Sistem Digital tak Perlu Diundur
Selama ini kalau soal pemilihan pimpinan, Muhammadiyah sudah dikenal dan terbiasa tidak ribet dan ribut. Tidak ribet karena kita pakai sistem informasi digital. Tinggal klik-klik sudah selesai. Tak perlu menunggu rekapitulasi yang berbelit seperti pilpres, pileg, pilkada, sampai pilkades.
Tidak ribut karena kita terbiasa dididik tidak rebutan jabatan. Jadi soal pemilihan tanpa massa berkumpul itu sudah enggak perlu diperdebatkan strategisnya. Soal teknisnya itu mudah, dan saya rasa tidak perlu lah saya sampaikan di sini. Urusan seperti itu serahkan mahasiswa perguruan tinggi atau angkatan muda kita. Selesai!
Tapi ini kan bukan soal pemilihan semata? Yap betul. Justru itulah. Karena muktamar bukan sekadar soal pemilihan maka jangan diundur terus. Nanti kesannya malah karena pemilihan.
Ada soal laporan program dan keuangan, ini artinya soal budaya transparansi organisasi. Ada soal program kerja terbaru, ini artinya soal dinamika perubahan. Lima tahun sejak muktamar ke-47 di Makassar tentu sudah sangat banyak persoalan baru yang perlu direspons.
Inilah momen Muhammadiyah membuktikan jargon “berkemajuan” yang diusungnya selama ini. Kalau hanya karena tidak bisa mengumpulkan orang lalu muktamar diundur terus, saya kira jargon itu perlu dipertanyakan.
Kalau soal syiar, gebyar, dan sebagainya saya kita itu justru bukan soal prioritas. Karena itu soal sensasi, bukan esensi. Sama dengan pendekatan dalam kasus ibadah kurban di mana persyarikatan bisa mengeluarkan imbauan mengalihkan uang kurban untuk sedekah, mengapa tidak bisa diterapkan dalam kasus muktamar ini?
Kita masih bisa melakukan syiar dan gebyar dalam format yang lain, tidak harus berkumpul—dalam konteks situasi pandemi ini. Toh, yang ramai dalam muktamar konvensional itu kan orang jualan kaos, lihat pameran, dan menonton pertunjukan. Bukan acara rapat-rapatnya. Atau pertimbangan mundur karena kepentingan panitia? Saya harap tidak.
Jadi, daripada langsung memutuskan mundur lagi, mengapa tidak mewacanakan “Muktamar Luar Biasa?” Semoga Tanwir menyepakati ini! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.