PWMU.CO-Konsep khilafah ternyata dijadikan contoh cara mengelola negara oleh Mohammad Yamin saat menyampaikan pidato dasar negara dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945.
Itu dapat dibaca dalam risalah sidang BPUPKI. Pidato M. Yamin, salah satu founding fathers ini, tidak pernah dipublikasikan dan jadi rujukan orang. Sama juga nasib pidato Supomo pada 31 Mei 1945 yang tak pernah disebut orang. Paling populer memang pidato Bung Karno 1 Juni.
Dalam pidato itu Yamin mengajukan rumusan Pancasila versinya terdiri Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Konsep khilafah dia pakai untuk menjelaskan musyawarah.
Ketika menjelaskan Peri Kerakjatan, Yamin mengatakan, ”Kita mulai dengan dasar agama Islam yang menjadi agama rakyat Indonésia dan yang dalam kitab sucinya Quranul Karim, Tuhan menurunkan beberapa firman berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan negara.”
Kemudan dia membagi dalam Peri Kerakyatan itu ada prinsip permusyawaratan. Untuk menjelaskan prinsip ini Yamin merujuk surat asy-Syura ayat 38. Wa amruhum syuro bainahum. Segala urusan mereka dimusjawaratkan.
”Perintah ini jelas dan terang. Juga dalam sejarah Rasul Allah dan pada zaman khalifah yang empat al-khilafahurrasyidin, ternyata permusyawaratan bersama itu dijalankan dengan sebaik-baiknya, sehingga oleh pelaksanaan dasar itu maka segala umat atau wakilnya dapat ikut campur dalam penyusunan dan pelaksanaan negara,” kata M. Yamin.
Musyawarah menjadi kekuatan, sambung dia, karena membuka kesempatan kepada orang yang berkepentingan, membesarkan tanggung jawab warga negara, dan menimbulkan kewajiban yang tidak mengikat hati.
Tiga Dasar Permusyawaratan
Lagi pula, kata dia melanjutkan, dalam tiga hal dasar permusyawaratan itu memberi kemajuan kepada umat yang hidup dalam negara yang dilindungi oleh kebesaran ketuhanan.
Pertama, karena dengan dasar musyawarah itu manusia memperhalus perjuangannya dan bekerja di atas jalan ketuhanan dengan membuka pikiran dalam permusyawaratan sesama manusia.
Kedua, oleh permusyawaratan, maka negara tidaklah dipikul oleh seorang manusia atau pikiran yang berputar dalam otak sebuah kepala, melainkan dipangku oleh segala golongan, sehingga negara tidak berpusing di sekeliling seorang insan, melainkan sama-sama membentuk negara sebagai suatu batang tubuh, yang satu-satu sel mengerjakan kewajiban atas permufakatan yang menimbulkan perlainan atau perbedaan kerja, tetapi untuk kesempurnaan seluruh badan.
Ketiga, permusyawaratan mengecilkan atau menghilangkan kekhilafan pendirian atau kelakuan orang-seorang, permusyawaratan membawa negara kepada tindakan yang betul dan menghilangkan segala kesesatan.
”Juga dalam sejarah Islam, waktu berkembangnya kekuasaan khalifah yang empat, atau dalam seluruh masyarakat Islam, maka dasar permusyawaratan itu tidak saja diakui, melainkan tetap diamalkan, sehingga peradaban Indonesia sejak berkembangnya agama Islam berisi dan menjalankan dasar itu.”
Perintah Tuhan yang mewajibkan bermusyawarat untuk urusan umum, kata dia, menjadi dasar masyarakat Indonesia. Negara yang melindungi masyarakat itu hendaklah dibentuk atas keputusan musyawarat dan di dalamnya selalu mewujudkan permusyawaratan itu.
Menurut Yamin, negara yang dibentuk dan negara yang tidak bersandar kepada permusyawaratan adalah negara yang menjauhkan ketuhanan dan melanggar aturan peradaban Indonésia.
Di luar peradaban tak adalah suatu masyarakat dan tata negara Indonesia, karena negara dan masyarakat adalah pewujudan musyawarat jua adanya.
”Di antara segala negeri-negeri Islam di dunia, barangkali bangsa Indonesialah yang sangat mengemukakan dasar permusyawaratan dan memberi corak yang istimewa kepada pelaksanaan permusyawaratan,” tandasnya.
Peradaban Asli
Dijelaskan, keadaan itu bukan kebetulan, melainkan berhubungan karena dikuatkan oleh sifat peradaban Indonesia asli. Sebelum Islam berkembang di tanah Indonesia, maka sejak zaman purbakala sudah membentuk susunan desa, susunan masyarakat dan susunan hak tanah yang bersandar kepada keputusan bersama yang boleh dinamai kebulatan bersama atas masyarakat.
Dasar kebulatan inilah yang sama tuanya dengan susunan desa, negeri, marga dan lain-lain dan mufakat itulah yang menghilangkan dasar perseorangan dan menimbulkan hidup bersama dalam masyarakat yang teratur dan dalam tata-negara desa yang dipelihara untuk kepentingan bersama dan untuk rakyat turun-temurun.
”Dasar mufakat tidaklah runtuh atau rusak binasa oleh pengaruh agama Budha atau agama Hindu, sampai kepada abad ke-16, waktu kerajaan Majapahit runtuh. Dasar mufakat sampai kuat tenaganja, sehingga umurnya lebih panjang dari pada agama Budha dan Hindu di tanah Indonesia.”
Setelah agama Islam masuk ke tanah Indonesia dan berkembang ke dalam masyarakat desa, ujar dia, maka dasar mufakat hidup kembali dengan suburnya, karena dengan segera bersatu dengan firman musyawarat.
Mufakat dari zaman purbakala dan permusyawaratan lalu bersatu-padu dalam peradaban Indonesia. Perpaduan dasar tata-negara itu sungguhlah dengan istimewa memberi corak kepada rasa ketata-negaraan Indonesia, karena dalam dasar itu tersimpan ketuhanan dan kesaktian adat pusaka jang memberi cap kepada jiwa rakyat Indonésia. (*)
Editor Sugeng Purwanto