PWMU.CO– Cornell Paper adalah naskah dari Universitas Cornell AS hasil analisis Benedict Anderson, Ruth McVey, dibantu Fred Bunnell tentang peristiwa G30S/PKI.
Ketiganya ahli Indonesia yang bekerja sebagai peneliti pada Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Cornell. Ben dan Ruth pernah datang ke Indonesia pada kurun waktu 1962-1964.
Sementara seniornya George McTurnan Kahin, dosen di Universitas Cornell dan peneliti Indonesia terkenal dengan bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia juga pernah datang meneliti di masa revolusi tahun 1948.
Naskah analisis yang populer disebut Cornell Paper itu aslinya berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia. Dibuat Januari 1966, tiga bulan setelah peristiwa G30S/PKI.
Analisis itu memang baru sebuah uraian awal terhadap kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia bukan penelitian yang mendalam. Karena itu hanya menjadi bahan kajian terbatas.
Tapi naskah itu bocor ke wartawan. Dimuat koran The Washington Post pada 5 Maret 1966 dengan judul Blood Bath in Indonesia. Berita itu membuat marah penguasa Orde Baru. Kemudian mengutus tiga jenderal Ali Murtopo, LB Murdani, dan Nugroho Notosusanto ke Cornell untuk meluruskan berita itu.
Tapi bukti-bukti yang memperkuat pendapat pemerintah yang diminta Ben Anderson untuk bisa mengubah kesimpulannya belum diserahkan. Sampai 1971 naskah itu diterbitkan menjadi buku oleh Cornell tanpa perubahan.
Baru tahun 1975 pemerintah mengirim hasil sidang Mahmilub pelaku G30S/PKI. Tapi Ben Anderson masih belum yakin dengan data itu sebagai fakta sebenarnya.
Konflik Internal Tentara
Cornell Paper menyimpulkan, peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) meletus sebagai dampak konflik internal Angkatan Darat bukan ulah PKI semata sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah Orde Baru.
Menurut Ben dan McVey, Biro Khusus PKI menangkap ketidakpuasan para perwira asal Divisi Diponegoro Jawa Tengah itu disandingkan dengan kepentingan PKI yang sama-sama tidak puas kepada para pimpinan Angkatan Darat.
Analisis seperti ini tentu menjadi angin segar bagi anggota PKI yang dituduh sebagai pemberontak dan membunuh para jenderal Angkatan Darat. Dengan berpegang dari naskah ini mereka mulai kampanye sebagai korban bukan pelaku makar seperti yang kita dengar sampai hari ini.
Ben Anderson dan Ruth McVey menganalisis konflik tentara ini dengan kacamata tradisi nilai Jawa sesuai keahliannya. Konflik tentara antara perwira junior yang melihat seniornya memegang jabatan di Jakarta menjadi korup dan bekerja sama dengan CIA untuk mendapatkan kekuasaan.
Para jenderal ini dianggap telah melupakan jiwa kesatria yang harus memegang jiwa dan nilai adilihung. Perwira junior ini ingin menghabisi seniornya yang dituduh telah membentuk Dewan Jenderal.
Maka tampillah Letkol Untung Syamsuri, Kolonel Latief, dan Brigjen Supardjo dan kawan-kawannya yang menjalankan eksekusi bersama Biro Khusus PKI.
Menurut Anderson dan McVey dipilih hari Kamis, 30 September sebagai hari operasi adalah sesuai perhitungan Jawa, malam itu sebagai hari baik berkumpulnya kekuatan-kekuatan spiritual yang mendukung rencananya.
Pada 1 Oktober pagi sesudah bisa menghabisi para jenderal, Letkol Untung pidato di RRI bahwa Gerakan 30 September hanyalah urusan rumah tangga Angkatan Darat, sehingga rakyat diminta beraktivitas seperti biasa karena Dewan Revolusi yang dbentuk presiden mampu mengatasi ulah Dewan Jenderal yang hendak kudeta.
Situasi Berbalik
Namun situasi berubah setelah Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kendali atas Angkatan Darat dan mencurigai presiden, PKI dan sejumlah perwira kiri bermain di belakang peristiwa ini untuk menyingkirkan jenderal yang tidak disukai.
Saat pasukan Kostrad dan RPKAD menguasai Jakarta, Presiden Soekarno, PKI dan perwira kiri yang berkumpul di Halim Perdanakusuma jadi kelabakan karena bakal diserbu RPKAD.
Bung Karno memilih pulang ke Istana Bogor. Menolak saran Letkol Untung yang lari ke Markas Divisi Diponegoro di Semarang. Presiden Soekarno akhirnya terpaksa memberikan kewenangan Mayjen Soeharto untuk memulihkan keamanan dengan menumpas orang-orang PKI.
Salim Said dalam bukunya Gestapu 65 menilai, analisis Ben Anderson dan Ruth McVey itu menunjukkan simpati mereka pada kelompok kiri. ”Memang mereka mempunyai hubungan dengan orang-orang kiri di Indonesia selama penelitiannya di sini,” katanya.
Ketika McVey berada di Jakarta, ujar dia, PKI mengundangnya untuk ceramah pada Akademi Politik Ali Archam yang mendidik kader-kader PKI. ”McVey memang khusus mempelajari bangkit dan berkembangnya PKI.”
Salim dalam kesempatan diskusi dengan Ben Anderson di rumah Soe Hok Gie tahun 1967 menyampaikan, kalau Ben berada di Jakarta dari 1963 hingga Oktober 1965 berarti mengikuti perkembangan politik.
”Akan sulit sekali baginya untuk tidak melihat bahwa PKI memainkan peran penting di balik Gestapu,” ujarnya. ”PKI berada sepenuhnya di balik Gestapu memang dominan dan satu-satunya tafsiran waktu itu.”
Simpatisan Gerakan Kiri
Salim bertemu Ben lagi di Amerika ketika dia kuliah doktor di Pascasarjana Universitas Ohio tahun 1980. Waktu itu Ben menceritakan hubungan baiknya dengan sejumlah tokoh Pemuda Rakyat dan CGMI ketika penelitian di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin.
Dia menunjukkan simpatinya kepada aktivitas para pemuda komunis pada masa itu yang banyak berperan di masa revolusi maupun 1965 yang menjadi objek penelitian bukunya.
Dia merasa sedih karena teman-temannya di kalangan muda PKI banyak yang hilang setelah masa pembersihan G30S/PKI.
Akibat Cornell Paper itu Ben Anderson dan George McTurnan Kahin dilarang masuk Indonesia sejak 1972. Cekal ini bagi Kahin berakhir tahun 1991 dan Ben tahun 1999. Ben kemudian ke Indonesia dan meninggal di Malang pada 13 Desember 2015 di usia 79 tahun. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto