Menghadapi Tantangan Islamofobia ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Sebagai umat Islam kita bersyukur atas kenyataan bahwa Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Amerika dan Eropa.
Perkembangan jumlah Muslim bukan saja karena kedatangan imigran-imigran dari negera-negara Muslim tetapi juga karena konversi agama yang sekalipun jumlahnya kecil tetapi cukup signifikan.
Berkembangnya organisasi-organisasi Islam, pusat-pusat Islam, masjid-masjid, dan pusat-pusat studi Islam di perguruan tinggi menyebabkan Islam terus berkembang.
Namun demikian, ada tantangan besar yang masih dihadapi oleh umat di sana, yakni adanya perasaan anti-Islam. Beberapa tokoh dan media masih menunjukkan sentimen negatif terhadap Islam.
Mereka menggambarkan Islam sebagai agama teroris yang mengancam eksistensi umat lain maupun negera mereka. Ada ketakutan bahwa negara mereka pada suatu saat nanti akan didominasi oleh umat Islam dan kemudian bahkan menjadi negara Islam.
Kisah Hamid Algar
Kisah Hamid Algar menggambarkan bagaimana masih kuatnya perasaan takut sebagian orang Amerika terhadap Islam. Hamid Algar adalah seorang warga negara Inggris yang masuk Islam sejak mahasiswa. Ia kemudian menjadi guru besar di bidang Studi Islam dan Timur Tengah di Universitas California, Berkeley.
Pada suatu saat, ia naik taksi dengan sopir seorang keturunan India. Takut dikira orang Pakistan yang beragama Islam, maka ketika Hamid Algar masuk taksi, sopir itu mengatakan “Don’t worry, I am not a Muslim.” Artinya, jangan khawatir, saya bukan Muslim.
Kata-kata itu dikeluarkan karena khawatir Hamid Algar yang bule itu merasa takut ketika melihat bahwa sopir itu bertampang Muslim-Pakistan. Mendengar kata-kata tersebut, Hamid Algar menjawab, “Don’t worry, I am a Muslim.”
Jawaban itu dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa seorang Muslim sejatinya membawa keselamatan. Peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana ketakutan terhadap Islam masih berkembang di kalangan sebagian masyarakat di Amerika Serikat.
Pada Mei 2010, Mark Williams, seorang presenter radio konservatif yang sering juga muncul di CNN, menulis dalam blognya:
“Binatang-binatang Allah yang sehari-hari terus memburu persetujuan dari pejabat pemerintah Kota New York untuk membangun monumen Muslim 13 lantai. Monumen itu terdiri dari sebuah masjid untuk ibadah kepada tuhan-kera bagi teroris dan sebuah pusat budaya untuk mengajarkan penghancuran apa saja yang tidak cocok dengan keyakinan mereka.”
Kampanye Anti-Islam
Masih ada contoh lain. Pamela Geller, penggalang demonstrasi pada 6 Juni 2010, untuk menentang apa yang dia sebut sebagai “The mega-mosque at Ground Zero,” muncul di program Fox News dan mengatakan, “Sebuah masjid yang melambangkan ideologi yang mengispirasi serangan pada 9/11.”
Dengan demikian, rencana pembangunan masjid baru itu, kata Geller, adalah “Sebuah serangan, penghinaan, dan pelecehan terhadap seluruh rakyat Amerika.”
Ini benar-benar kampanye anti-Islam secara terang-terangan. Williams dan Geller itu pokoknya menggambarkan Islam sebagai agama yang kejam, agresif, mengancam, mendukung terorisme, irrasional, dan primitif.
Geller juga memasang iklan di bus-bus New York City yang menganjurkan orang-orang Islam segera murtad. Ia memasang iklan di 40 bus kota dengan website RefugeFromIslam.com. Iklan itu mengasumsikan bahwa banyak orang-orang yang merasa terancam karena ingin murtad, maka Geller akan memberikan perlindungan.
Anti-Islam di Eropa
Perasaan anti-Islam di Eropa bahkan lebih nyata dibanding di Amerika Serikat. Pada November 2009, masyarakat Swiss mendukung pelarangan pembangunan menara. Referendum di sana juga menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Swiss menyatakan perlunya pengetatan para imigran Muslim karena akan melunturkan nilai-nilai kehidupan Swiss.
Katakutan itu bergema juga di Prancis, Jerman, Inggris, Belgia dan seluruh negara-negara Eropa Barat lainnya. Contoh-contoh Islamophobia (ketakutan terhadap Islam) itu cocok dengan hasil studi akademik yang menangkap adanya kecenderungan Islamophobia yang menguat di Amerika Serikat dan Eropa.
Seorang penulis Muslim, Musthafa Tilli, dalam sebuah tulisannya mengutip hasil survei tentang persepsi orang Amerika terhadap agama Buddha, Kristen, Islam, dan Yahudi.
Menurut survei itu, Islam memiliki citra paling negatif. Mayoritas orang (63 persen) menyatakan hanya tahu sedikit tentang Islam (40 persen) atau tidak tahu sama sekali (23 persen).
Survei itu menunjukkan pula bahwa penggambaran media tentang Islam bisa jadi berperan dalam membentuk citra yang negatif, karena pengetahuan tentang agama itu sangat terbatas pada sedikit orang Amerika.
Sebuah lembaga yang memantau dan menganalisis liputan media juga menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang paling sering disebut di berita televisi di Amerika Serikat, dan seringkali beritanya adalah negatif. Dua pertiga (2/3) dari pemberitaan di televisi tentang Islam mengasosiasikan Muslim dengan ekstremisme.
Tantangan Islamofobia
Apa yang digambarkan di atas bukanlah keseluruhan cerita. Masih banyak gejala Islamophobia lainnya, yang semuanya menjadi tantangan kita dalam mengembangkan Islam.
Gejala yang tidak menguntungkan di atas akan bisa diminimalkan dengan cara menunjukkan sikap hidup Islam yang unggul dan santun, serta memberikan pengertiaan tentang Islam kepada seluruh penduduk bumi ini secara autentik.
Di negara kita sendiri, sedikit banyak ada tantangan yang sama. Kita mengkawatirkan adanya sebuah anggapan, “semakin kejam, semakin Islami.” (*)
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Islamofobia dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO dengan judul Menghadapi Tantangan Islamofobia.
Editor Mohammad Nurfatoni