PWMU.CO– Kisah tragis Raja Cermin dari Kalimantan ini mungkin bisa menguak misteri sosok Fatimah binti Maimun yang makamnya berada di Desa Leran Kec. Manyar Gresik. Ini kisah pilu kunjungan persahabatan dua negeri yang berakhir tragis karena adanya wabah.
Kisah Raja cermin dimuat dalam buku Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh karya Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad. Cerita ini juga ditulis oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java.
Kerajaan Cermin berada di pulau dekat Brunai dan masih ada kekerabatan dengan Raja Brunai. Kerajaan Islam di sini merupakan perluasan dakwah Kerajaan Islam di Mangindanau Filipina Selatan.
Kerajaan Mangindanau asal muasalnya dibangun oleh dakwah Raja Baginda dan Makhdum Awal dari Minangkabau serta Syarid Abu Bakar dari Johor.
Di antara raja-raja di kawasan ini, Raja Cermin berlayar bersama keluarganya ke Jawa. Dia mempunyai paman di Jawa yang menetap di Leran Gresik bernama Malik Ibrahim. Pamannya ini ulama yang mempunyai silsilah sambung ke Zainal Abidin bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Makamnya ada di Gapura Kota Gresik. Dimakamnya tertulis wafat Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.
Raja Cermin silsilah dari garis ayah berasal dari Mangindanau dan garis ibu dari Kerajaan Johor. Tahun 1512 kerajaan ini disebutkan membangun bendungan yang terletak antara Pulau Kaliurang dan Pulau Cermin di zaman Sultan Barakat, raja ketiga.
Bendungan itu dibuat dengan cara menenggelamkan 40 perahu bermuatan batu-batu dan 56 meriam tembaga Loyang serta enam meriam besi. Di atas bendungan kemudian dibangun papan untuk jembatannya.
Hadiah Buah Delima
Diceritakan Raja Cermin muhibah ke Kerajaan Majapahit bersama putri, saudara, dan pembesar kerajaan. Tujuannya untuk mengislamkan Raja Angga Wijaya dan menikahkan putrinya dengan raja Majapahit itu.
Disebutkan ibukota Majapahit berada di Jenggala. Sebelum ke ibukota, singgah dulu ke padepokan pamannya, Maulana Malik Ibrahim, di Leran. Di sini raja mendirikan masjid dan mengajak masyarakat setempat masuk Islam.
Setelah itu Raja Cermin mengutus putranya, Muhammad Sidik, ke ibukota Jenggala, memberitahu kedatangannya kepada Raja Angga Wijaya dan meminta izin bertemu.
Tak lama kemudian rombongan Raja Cermin berjumlah 40 orang berangkat. Raja Majapahit menerima di luar kota dengan mendirikan tenda mewah dan layanan meriah untuk tamunya. Penyambutan di luar ibukota ini mungkin karena Jenggala jauh di pedalaman.
Raja Cermin memberi hadiah buah delima satu keranjang. Ia ingin mengetahui sikap Raja Angga Wijaya saat menerima hadiah itu. Dalam diplomasi itu Raja Cermin mengenalkan Islam dan mengajaknya masuk ke agama ini.
Raja Angga Wijaya menerima hadiah itu dengan perasaan merendahkan. ”Hadiah raja jauh-jauh dari seberang kok hanya buah delima, apa dipikir di Jawa tidak ada buah seperti ini.”
Raja Cermin menangkap perasaan dan sikap Raja Angga Wijaya. Maka dia memutuskan segera mengakhiri pertemuan itu untuk kembali ke Leran. Hanya kerabatnya Maulana Mahdar bin Ibrahim yang diminta tinggal menemani raja.
Setelah tamunya pergi, Raja Wijaya merasakan kepalanya pening lalu beristirahat. Diambilnya satu buah delima di keranjang hadiah. Lalu dibelah ingin menikmati buah itu. Alangkah terkejutnya dia tatkala melihat biji delima ternyata berupa intan permata yang berkilauan.
Dia segera menyadari kebesaran, kemuliaan, dan kekayaan Raja Cermin. Dia perintahkan Maulana Mahdar menyusul rajanya agar kembali menemuinya. Tapi Raja Cermin menolak.
Tertular Wabah
Empat hari kemudian di Leran terjangkit wabah. Penduduknya banyak yang mati. Wabah juga menular kepada kerabat raja. Tiga saudaranya, Sayid Jakfar, Sayid Kasim, dan Sayid Gharat meninggal. Tiga orang ini di kubur di Leran. Makamnya sekarang dikenal dengan nama Kuburan Panjang.
Putri Raja juga tertular. Jatuh sakit. Ayahnya merawatnya dan menggelar doa bersama supaya lekas sembuh dari wabah. Namun ayahnya berkata, kalau usaha dakwah ke Raja Angga Wijaya dan menikahkan putrinya gagal lebih baik anaknya yang sakit ini meninggal.
Tak lama kemudian putri itu wafat. Dia dimakamkan berjajar dengan paman-pamannya. Raja kemudian menugaskan Maulana Malik Ibrahim memelihara makam-makam ini.
Raja bersama sisa rombongan lalu berlayar pulang ke negerinya. Dalam perjalanan, wafat salah seorang saudaranya. Kapal mendarat di Madura. Dia dimakamkan di Desa Pelagra.
Sayid Rafiudin, paman terakhir raja, juga wafat dalam perjalanan sewaktu melewati Pulau Bawean. Di pulau itulah dia dikuburkan.
Raja Angga Wijaya ketika mendengar kisah tragis Raja Cermin dan putri yang hendak dinikahinya meninggal dunia maka muncul pertanyaan darinya, kenapa agama Islam tidak kuasa mencegah kematiannya dan memberantas wabah penyakit.
Dia tanyakan itu kepada Maulana Malik Ibrahim yang dijawab, pendapat itu salah dan takhayul. Takhayul seperti itu muncul dari manusia penyembah dewa. Bukan penyembah Allah.
Raja Angga Wijaya marah mendengar jawaban itu. Namun segera pembesar kerajaan mendinginkan hatinya. Raja kemudian pulang ke istananya.
Angka Tahun Tidak Cocok
Kisah ini disebutkan dalam buku itu terjadi pada tahun 1313 Jawa atau 801 Hijriyah. Berarti tahun 1398 Masehi. Angka tahun ini tentu saja tidak cocok dengan nisan di makam Fatimah binti Maimun yang menyebutkan meninggal tahun 475 H atau 1082 M. Pendapat lainnya tahun 495 H atau 1182 M. Angka di nisan Leran ini lebih tua. Selisih 200 tahun lebih.
Tapi isi cerita ini bisa menjelaskan hubungan keberadaan makam di Leran dan makam Maulana Malik Ibrahim di Desa Gapura Gresik. Kisah itu juga menyebutkan adanya tiga Makam Panjang yang berada di makam Leran. Jadi makam di dalam cungkup besar di Leran itu adalah Putri Raja Cermin.
Kisah tragis Raja Cermin ini bersesuaian dengan cerita rakyat setempat tentang Putri Dewi Suwari yang disebut kemenakan Maulana Malik Ibrahim. Sajarah Banten yang ditulis tahun 1663 juga mencantumkan masa Islamisasi Jawa dengan kisah Putri Dewi Suwari yang akan dinikahkan dengan raja Majapahit.
Melihat nama Raja Majapahit bernama Angga Wijaya yang berkedudukan di Jenggala maka yang dimaksud raja itu adalah Girindra Wardana Dyah Ranawijaya. Dialah yang menyerang Ibukota Majapahit di Trowulan untuk merebut kekuasaan dari mertuanya, Prabu Kertabumi. Kemudian dia memindahkan pusaka kerajaan ke wilayah kekuasaannya di Jenggala Kediri.
Dalam Babat Tanah Jawi, Kerajaan Girindra Wardana di Jenggala itu masih disebut Majapahit. Bahkan memakai gelar Brawijaya. Episode sejarah Majapahit versi babad ini membingungkan. Karena menurut Negara Kertagama yang ditulis di masa Raja Hayam Wuruk, tidak ada gelar Brawijaya di masa itu. Gelar Raden Wijaya, raja pertama Majapahit, adalah Sanggrama Wijaya Kertarajasa Jayawardhana.
Pendapat Kalus dan Guillot
Lantas manakah yang benar batu nisan Fatimah binti Maimun yang lebih tua ataukah kisah Raja Cermin di Sejarah Banten dan History of Java?
Arkeolog Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot punya pendapat mengejutkan tentang asal usul nisan Leran. Seperti ditulis dalam artikel di historia.id menyebutkan, batu nisan itu tidak mungkin buatan lokal di daerah terpencil itu.
Di masa itu di Leran belum ada ahli pahat yang bisa membuat ornamen dan kaligrafi bergaya Kufi dengan bahasa Arab yang bagus. Batu nisan Fatimah binti Maimun ini sekarang disimpan di Museum Majapahit Trowulan.
Kalus dan Guillot membandingkan beberapa nisan Leran yang bertakik, lubang untuk ikatan tali kapal, dengan sebuah nisan berinskripsi dari periode abad 11 dari daerah Laut Kaspia. Di sini ada nisan batu yang diubah menjadi jangkar oleh tukang pahat. Mirip dengan nisan Leran.
Keduanya berkesimpulan lima nisan Leran itu kemungkinan diambil dari makam aslinya di suatu tempat lalu dipakai sebagai jangkar atau pemberat kapal oleh pelaut. Dan kebetulan batu-batu itu sampai di Jawa termasuk ke Leran. Lalu dipakai penanda makam di situ. Kemungkinan besar antara abad ke-12 dan ke-14 saat masih ada Pelabuhan Leran.
Kalus dan Guillot mendasarkan hipotesisnya itu setelah membaca kaligrafi nisan Leran. Tulisannya unik mirip gaya Iran. Teks inskripsinya mengingatkan pada Mesir. Termasuk ornamen bingkai kembang bersulur. Jenis batunya ada kesamaan di beberapa daerah.
Penulis/Editor Sugeng Purwanto