
Muhammadiyah Gerakan Elitis? Kolom ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Banyak orang menyatakan Muhammadiyah adalah gerakan amal. Bukan gerakan pemikiran. Tetapi amal yang bermanfaat harus didukung oleh pemikiran yang benar dan maju.
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pembagian tugas. Sebagian majelis menjadikan amal usaha sebagai core-nya, sedang sebagian yang lain menjadikan pemikiran sebagai core-nya.
Tetapi, tetap ada usaha untuk tidak memisahkannya, yakni amal itu berfungsi sebagai jasad dan pemikiran itu sebagai ruh. Muhammadiyah sebagai gerakan tidak akan berfungsi tanpa mempertahankan keterkaitan antara jasad dan ruh.
Tulisan ini akan terfokus pada pemikiran itu dengan sudut pandang efektivitas. Permasalahannya ialah apakah sebuah model pemikiran itu efektif atau tidak untuk mendukung sebuah gerakan. Karena itu, tulisan ini tidak akan mengarahkan pembahasannya pada persoalan apakah sebuah pemikiran itu salah atau benar.
Pemikiran Keagamaan Muhammadiyah
Dalam Muhammadiyah pemikiran keagamaan bisa dilihat dalam hasil keputusan lembaga-lembaga formal organisasi, seperti Majelis Tarjih dan Tajdid, dan juga dalam tulisan-tulisan warga Muhammadiyah.
Dalam kesempatan ini, tidak mungkin membahas satu persatu pemikiran itu karena jumlahnya yang sangat banyak dan variasinya juga sangat beragam.
Karena itu, tulisan ini akan diarahkan untuk melihat beberapa hal yang bisa dipandang sebagai pemikiran standar dari Muhammadiyah. Misalnya dorongan untuk berijtihad, kecaman terhadap taqlid, bidah, khurafat, serta seruan untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah.
Pemikiran-pemikiran itu memang elitis, jauh dari jangkauan pemahaman keagamaan masyarakat awam. Pemikiran Muhammadiyah tentang ijtihad, misalnya, hanya bisa terjangkau oleh kelompok terdidik yang jumlahnya sangat terbatas karena syarat-syarat ijtihad yang cukup ketat.
Dalam ushul al-fiqh konvensional, seseorang berhak melakukan ijtihad jika menguasai al-Quran dan hadis, bahasa Arab, ushul al-fiqh, ilm musthalah al-hadits dan tafsir. Dorongan untuk berijtihad berarti juga dorongan untuk menguasai ilmu-ilmu itu, dan dengan demikian seruan Muhammadiyah ini hanya tertangkap oleh ilmuwan agama secara terbatas.
Ijtihad Kolektif
Hal yang sama juga berlaku pada ijtihad jamai (kolektif), sebuah institusi yang diperkenalkan oleh Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid. Jelas sekali bahwa pemikiran Muhammadiyah tentang ijtihad adalah elitis.
Mereka yang tidak memenuhi syarat ijtihad, menurut Muhammadiyah diperkenankan ber-iittiba’, yakni mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui alasannya. Dalam berbagai kontroversi pemikiran agama, tentu tidak semua orang bisa memahami sebuah reasoning dengan mudah, apalagi jika di dalamnya terdapat istilah-istilah teknis.
Dengan demikian, kesan elitisme tidak bisa terhapus dengan ittiba’ yang dilegalisasi oleh Muhammadiyah sebagai alternatif terakhir.
Berbeda dari ijtihad dan ittiba’, taqlid adalah cara yang paling mudah diikuti oleh masyarakat pada umumnya. Taqlid berarti mengikuti pendapat orang tanpa reserve. Tidak ada keharusan menimbang-nimbang dan mengkritisi suatu pendapat di dalam ber-taqlid.
Seandainya melegitimasi taqlid, dapat dipastikan masyarakat umum akan lebih mudah menerima Muhammadiyah. Mereka tidak akan lagi merasakan kritik dan kecaman, dan bahkan pelecehan, dari Muhammadiyah.
Elitisme Ijtihad Muhammadiyah
Seruan kembali kepada al-Quran dan Sunnah juga tampaknya elitis karena seruan itu berarti keharusan bagi umat untuk merujuk secara langsung kepada teks-tekas al-Quran dan Sunnah tanpa boleh berhenti pada pendapat para ulama.
Dalam realitasnya, seruan itu berimplikasi bahwa Muhammadiyah tidak menghargai mazhab-mazhab yang ada dan segala tradisi keagaman yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat.
Karena hanya kelompok terbatas yang mampu mencerna ayat-ayat al-Quran yang pada umumnya bersifat abstrak dan hadis-hadis yang jumlahnya sangat banyak.
Maka masyarakat awam mengalami kesulitan untuk memenuhi seruan itu, dan sebagai gantinya mereka lebih memilih mendengarkan ceramah atau pengajian populer dengan bahasa yang mudah dicerna. Perlu disadari bahwa masyarakat kita lebih menyukai tradisi lisan daripada tradisi tulisan.
Kesan Muhammadiyah gerakan elitis juga muncul dari wacana bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid. Dalam tradisi Islam, tajdid memiliki nuansa siklus, yakni sebuah filosofi bahwa tajdid itu akan muncul pada awal setiap abad, dan bahwa mujaddid itu mesti lahir dalam situasi yang korup dan dekaden.
Dikatakan juga bahwa pada awalnya Islam lahir sebagai sesuatu yang asing, dan akan kembali menjadi asing; berbahagialah orang-orang yang asing itu, yakni kelompok kecil dan dipandang aneh karena berbeda dengan keberagamaan umum.
Tampaknya, realitas menunjukan bahwa pembaharu itu selalu merupakan kelompok kecil elite yang dipandang aneh. Bukankah Muhammadiyah sesekali, atau mungkin sering, disebut sebagai agama baru yang mengusik ketenangan dan bahkan memecah-belah umat. Jadi, ada kesan elitis dalam tema tajdid Muhammadiyah.
Gaya Hidup Elitis
Dakwah yang bertemakan anti-bidah, anti-khurafat, dan anti-takhayul selama ini menyebabkan resistensi mayoritas yang awam terhadap gerakan Muhammadiyah.
Untuk memperkeras kecaman terhadap itu, dalam ceramah-ceramahnya, mubaligh Muhammadiyah seringkali memanfaatkan hadis ‘keras’, yakni “Setiap bidah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan masuk neraka.”
Konsekuensinya, sebagian besar masyarakat akan masuk neraka karena dalam pandangan Muhammadiyah mereka adalah pengamal bidah. Gaya mubaligh Muhammadiyah yang keras dan bersikap hitam-putih telah menjauhkannya dari masyarakat awam.
Kesan elitis dalam pemikiran itu diperkuat oleh gaya hidup orang-orang Muhammadiyah. Pada awal perkembangannya Muhammadiyah dipandang sebagai gejala perkotaan. Muhammadiyah membangun sekolah modern dan bukan pesantren tradisional. Hanya kalangan terbatas yang mau masuk sekolah.
Muhammadiyah dipelopori oleh pedagang yang rata-rata memiliki tingkat ekonomi lebih mapan dan kebebasan sosial. Muhammadiyah memakai celana dan dasi, bukan sarung dan kopyah.
Muhammadiyah lebih terbiasa menggunakan idiom-idiom modern dari pada idiom-idiom tradisional. Elitisme itu tampak juga dalam pilihan kata-kata yang digunakan oleh rata-rata mubaligh Muhammadiyah dalam berdakwah. Beberapa sekolah Muhammadiyah yang mahal dan karena itu tidak terjangkau oleh masyarakat bawah juga memperkuat kesan elitisme. Dengan demikian, sempurnalah alasan mengapa Muhammadiyah mengalami stigma elitisme.
Dakwah Kultural
Dakwal kultural yang dicanangkan sesungguhnya merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kesan itu. Sesungguhnya, jika dakwah ini berhasil, maka Muhammadiyah akan mampu menerobos “garis perbatasan”, yakni masyarakat santri tradisional dan masyarakat abangan.
Tetapi, konsep yang semula dirancang untuk memperluas daya jangkau gerakan dakwah Muhammadiyah itu tampaknya tidak berhasil karena hasil final pemikiran itu kemudian lebih merupakan kompromi antara sayap “puritan” dan sayap “kultural,” atau bahkan kemenangan sayap “puritan” atas sayap “kultural.”
Sesungguhnya, secara ideologis Muhammadiyah bukanlah elitis dalam pengertian berjuang untuk kepentingan kelompok yang berada dalam strata teratas masyarakat kita. Karena Muhammadiyah bertujuan untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan umat berdasarkan ajaran Islam.
Gerakan Muhammadiyah elitis dan tidak populis hanya dalam pengertian bahwa pemikiran dan perilaku Muhammadiyah tidak mudah dicerna oleh—dan secara kultural tidak dekat dengan—-masyarakat grassroot (mayoritas dan awam) dalam bentuk masyarakat kita yang piramidal (kecil di atas, besar di bawah). Yang menjadi persoalan sekarang ialah perlukah Muhammadiyah mengubah orientasi dari elitisme ke populisme.
Sesungguhnya stigma elitisme itu merupakan akibat dari pilihan yang diambil secara sadar. Muhammadiyah lebih memilih menjadi gerakan reform daripada gerakan populer. Reform selalu dilakukan oleh kelompok kecil, dan karena itu elitis.
Mungkin dalam jangka waktu tertentu pemikiran-pemikirannya diterima oleh masyarakat luas, kesan elitis itu tidak dengan sendirinya hilang, dan pada saat yang sama pemikiran itu sendiri telah kehilangan watak reformisnya ketika terlembagakan.
Berbeda dengan itu, gerakan populer selalu menarik partisipasi atau persetujuan masyarakat banyak. Gerakan reform bertujuan melawan kemapanan tradisi, dan gerakan populer bertujuan melawan kelompok elite yang menyimpang dari tradisi. Dilihat dari sudut ini, tampaknya Muhammadiyah masih akan mempertahankan watak reform-nya.
Seandainya Muhammadiyah ingin menghilangkan elitisme dan menjadi gerakan populis, maka ia harus berkompromi dengan realitas predominan. Muhammadiyah harus ikut tahlilan, sedekah bumi, istighatsah, tarekat, rukyah, dan apa pun yang menjadi kecenderungan masyarakat banyak.
Adalah tergantung pada Muhammadiyah untuk memilih satu dari dua pilihan itu. Pilihan antara populisme dan elitisme itu juga berkaitan dengan pilihan antara kualitas dan kuantitas. Muhammadiyah seringkali harus memilih ketika berada pada situasi yang tidak memungkinkan mengambil kedua-duanya, kualitas dan kuantitas, sebagai prioritas.
Gerakan Reformasi atau Populis?
Jika ingin populer, Muhammadiyah harus mengambil kuantitas sebagai prioritas. Tetapi jika tetap ingin menjadi gerakan reform, Muhammadiyah harus memilih kualitas, tentu saja dengan kesadaran bahwa kuantitas tidak harus diabaikan.
Dalam menghadapi pilihan itu, tampaknya Muhammadiyah masih memilih kualitas sebagai prioritas. Seandainya Muhammadiyah adalah partai politik, tentu kuantitas menjadi prioritas utama. Pengalaman dua kali pemilihan umum, yang menghasilkan kecilnya surara partai berkualitas, dan besarnya suara partai tidak berkualitas, menunjukkan kebenaran logika “today the quantity comes first, later the quality should follow. “
Memilih kualitas sebagai prioritas bukan sekali-kali berarti bahwa Muhammadiyah tidak perlu mereduksi stigma elitisme. Persoalannya kemudian adalah pembangunan citra (image building). Muhammadiyah perlu mempertahankan substansi reform, dan pada saat yang sama membangun citra populer dan populis.
Akhirnya, pembangunan citra ini menyangkut metode dakwah dan bukan pesan dakwah. Metodenya harus populis dan populer. Dakwah Muhammadiyah melalui media amal usaha, pengajian, bakti sosial dan lain-lain harus menggunakan metode populis dan populer.
Akhirnya perlu juga diingat bahwa kesan elitis itu sesungguhnya telah melahirkan dampak positif juga. Banyak orang dari strata atas masyarakat kita cenderung kepada Muhammadiyah, dan orang merasa mengalami mobilitas sosial ketika menjadi Muhammadiyah.
Ujung atas dari piramida warga Muhammadiyah menjadi tidak terlalu kecil dan ujung bawahnya tidak terlalu besar. Citra Muhammadiyah sebagai organisasi modern telah mendukung konsolidasi internal dan selanjutnya menjadi daya tarik yang signifikan.
Muhammadiyah, insyaallah, tidak menjadi buih yang terombang-ambing (ghutsa’ ka ghutsa’ al-sayl) di tengah-tengah gelombang kepentingan jangka pendek. (*)
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Pemikiran Muhammadiyah dalam buku Manifestasi Islam Mengurai Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat (2017) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO dengan judul Muhammadiyah Gerakan Elitis?
Editor Mohammad Nurfatoni.