PWMU.CO– Diskusi kematian dengan anak-anak berlangsung ketika ada kabar meninggalnya Mas Hadi Mustofa Djuraid di WA saya dan WA nyonya kemarin. Hari itu pas anak-anak sedang berada di rumah. Baik anak pertama maupun kedua.
”Adiknya Om Abror ya, Yah,” kata Faza, anak pertama yang berteman dengan Sydney, putra Mas Abror waktu di SD Muhammadiyah 4 Pucang dulu.
Kini, baik anak Mas Abror maupun anak saya sudah besar. Sudah kerja. Sudah berkeluarga. Bahkan sudah memberi cucu yang lucu. Yang lebih lucu, orang tuanya menganggap anaknya masih SD saja.
”Waktu sepedaan? Kecelakaan ya, Yah?” tanya Aufa, anak kedua. ”Tidak, kata dokter karena jantung,” jawab saya.
”Masih ingat waktu ayah dan mam takziyah ke Om Husnun ke Malang, kakaknya Om Abror. Beliau meninggal saat ikut maraton. Juga karena jantung,” kata saya kepada anak-anak yang menyimak sambil work from home. Di situlah, saya ketemu terakhir dengan Mas Hadi, pria yang ramah yang dikenal sangat helpful ini.
Cerita tentang Jantung
Lalu saya ingatkan tentang kematian Om Agus, kakak saya, yang meninggal saat rapat di Bali. ”Seperti Om Agus, ayah juga masalah di jantung . Masih ingat kan ayah Desember lalu, cek lab di Parahita? Nah, ternyata jantung ayah bermasalah. Istilah kedokterannya, atrial fibrilasi,” kata saya.
Lalu saya jelaskan sebisa saya apa itu AF (atrial fibrillation). Yakni, gangguan irama jantung yang ditandai dengan denyut jantung tidak beraturan, cepat dan sesak napas. ”Alhamdulillah, ayah tidak sesak,” kata saya.
Denyut jantung yang normal antara 60-100 kali per menit. Sedang ventrikelnya saya, 50-95 kali per menit dengan irama yang kurang teratur. Karena di buku medical check up report, saya disarankan untuk konsul ke dokter spesialis jantung, maka saya ke Prof Djoko Sumantri yang kebetulan buka praktik di Raya Intan Nginden, seberang rumah saya. Cukup jalan kaki ke sana. Bahkan dua stafnya sama-sama satu jamaah di Masjid Sabiilus Salam.
Prof Djoko lebih jelas lagi cara menerangkan tentang AF ini. Dia menggambarkan dengan genggaman kepalan tangannya untuk membedakan denyut jantung normal dengan yang AF. ”Yang normal kembang kempis seperti ini, berirama. Sedang punya bapak seperti ini,” katanya sambil mempraktikkan gerakan kembang kempis kepalan tangannya yang tidak teratur.
”Yang bahaya jika ada pembekuan darah. Bisa stroke bahkan kematian. Jadi darahnya tidak boleh terlalu kental,” katanya sambil menyerahkan resep obat agar darah saya terjaga kecairannya.
RBBB
Tak hanya itu saja, hasil diagnosa di bab kesimpulan: jantung saya juga ditulis RBBB. Apa itu? Right Bundle Branch Block. Menurut Dokter Post, terjadi karena ada blok (hambatan) konduksi listrik pada cabang berkas (bundle branch).
Singkatnya, listriknya jantung dibangkitkan secara normal oleh SA Node, terus dikonduksi sampai ke AV Node, untuk selanjutnya diteruskan ke serabut purkinje. Nah, gangguan konduksi di serabut saraf purkinje inilah yang menyebabkan terjadinya bundle branch block. Sungguh saya juga tidak paham, apa sebenarnya RBBB ini. Tapi, seperti itulah Dokter Post menuliskannya.
Oleh anak-anak saya disarankan macam-macam. ”Jangan terlalu ngaya kalau senam, Yah,” kata Aufa yang tahu kini olahraga saya senam bersama kelompok SDI (Senam Dahlan Iskan) setiap hari pukul 6 pagi.
”Tidak kok, itu senam bercampur dansa,” kata saya. ”Tapi, saya lihat gerakan ayah yang paling terlalu semangat. Terlalunya dikurangi, Yah. Semangat saja, tidak usah pakai terlalu,” kata Aufa yang juga pernah beberapa kali ikut senam jadi tahu bagaimana gerakan ayahnya.
Apa manfaatnya sekali-sekali mendiskusikan kematian bersama anak-anak? Agar semuanya siap jika kita dipanggilNya kapan saja. Yang jelas, saya dapat jabat tangan dua kali yang lebih erat dari biasanya usai mengimami Maghriban mengakhiri diskusi kematian kemarin.
Kullu nafsin dzaiqotul maut. Semua yang bernyawa akan merasakan mati. Semoga yang husnul khotimah, bukan yang suul khotimah. Na’udzubillah.
Mari siapkan sebanyak-banyak bekal menghadapNya. Dan sebaik-baik bekal adalah taqwa. Watazawwaduu fainna khoiroz zadit taqwa (Al Baqarah:197). Salam!
Penulis Ali Murtadlo Editor Sugeng Purwanto