LDII, Manqul, dan Guru Era Digital ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Pada tahun 2011 ada pertemuan yang diselenggarakan atas kerja sama antara Fakultas Syariah IAIN—kini UINSA—Suabaya dan DPW LDII Jawa Timur.
Lalu pada 19 Mei 2012, saya diminta lagi untuk memberikan ceramah. Pesertanya adalah DPD LDII se-Jatim. Di samping itu, ada empat orang peserta dari Malaysia.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) didirikan pada tanggal 3 Januari 1972 di Surabaya, Jawa Timur, dengan nama Yayasan Karyawan Islam (Yakari). Tahun 1981, nama Yakari diubah menjadi Lembaga Karyawan Islam (Lemkari).
Tahun 1990, nama Lemkari yang sama dengan akronim Lembaga Karate-Do Indonesia, diubah menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Beberapa sumber menyatakan bahwa organisasi itu bermula dari kelompok dengan nama Darul Hadits dan Islam Jamaah. Tetapi sumber resmi LDII menyatakan tidak ada hubungan dengan dua nama tersebut itu.
Ciri Khas LDII
Ciri khas lembaga itu adalah sistem kepemimpinan, yakni keamiran, yang memiliki otoritas keagamaan. Sementara dewan pimpinan memiliki otoritas manajemen organisasi. Dua otoritas itu bersifat otonom.
Ciri khas lain adalah ajarannya tentang keabsahan keberagamaan. Seseorang secara sah bisa disebut sebagai Muslim apabila memperoleh ajaran agama secara manqul (dipindahkan). Ia harus belajar dari seorang guru, yang telah belajar dari guru lain sebelumnya secara personal.
Demikian seterusnya, bersambung sampai pada Nabi Muhammad SAW. Tidak sah keislaman seseorang yang belajar dari buku tanpa guru. Ketersambungan pembejaran inilah yang disebut dengan manqul.
LDDI Tak Lagi Manqul?
Dalam pertemuan itu, saya sempat bertanya apakah ajaran manqul itu tetap bertahan sampai sekarang. Mereka menjawab tidak.
Jika jawaban itu benar, saya bisa memahami bahwa telah terjadi perubahan pemikiran di kalangan lembaga itu, dari eksklusifisme (ketertutupan) ke arah inklusifisme (keterbukaan).
Dulu ‘menajiskan’ orang di luar kelompoknya, sekarang telah ‘menyucikan’ sehingga tidak perlu mencuci masjid mereka yang tersentuh oleh kaki orang lain di luar mereka.
Zaman telah berubah, pemikiran keagamaan pun ikut berubah. Ini juga berlaku bagi kelompok-kelompok lain di kalangan umat Islam.
Manqul dan Perkembangan Media Belajar
Ajaran manqul tampaknya tidak bisa bertahan akibat perkembangan media pengajaran.
Pada awal perkembangan Islam, media pembelajaran sangat terbatas dan sifatnya sangat personal. Seorang murid belajar langsung secara personal. Karena itu, relasi antara guru dan murid sangat penting.
Seorang menjadi ‘alim (berilmu) karena belajar dari guru. Dalam catatan sejarah, Ahmad bin Hanbal, misalnya mengajarkan agama secara lisan dan melarang murid-muridnya menulis fatwa-fatwanya karena ingin menghindari tercampurnya hadits-hadits Nabi dengan fatwanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul tradisi manuskrip (tulisan tangan). Ilmu agama ditulis dalam bentuk buku, sehingga seseorang bisa belajar tidak hanya melalui lesan tetapi juga pembacaan.
Tetapi karena ditulis dengan tangan, maka jumlah buku sangat terbatas. Seorang ‘alim telah menulis buku dengan tangan, dan di-copy dengan tangan pula. Mendapatkan manuskrip tidaklah mudah karena jumlahnya sangat sedikit.
Pada masa selanjutnya, teknologi media terus berkembang; lahirlah mesin cetak. Buku-buku telah dicetak dalam jumlah yang banyak, sehingga relatif mudak didapatkan. Dengan demikian, semakin banyak orang mendapatkan ilmu agama dari buku.
Untuk mempelajari pikiran-pikiran Imam al-Ghazali, misalnya, orang cukup dengan membaca buku-bukunya. Pembaca bisa tetap tinggal di daerah masing-masing dan mempelajari pikirannya dari buku yang didapatkan.
Di masa sekarang, terjadi revolusi komunikasi dan informasi dengan lahirnya era digital. Semakin banyak orang memanfaatkan internet untuk memperoleh ilmu agama.
Pelajar agama bisa membuka situs-situs di internet untuk mendapatkan pengetahuan agama dengan segala macam coraknya.
Orang bisa mempelajari aliran-aliran keagamaan, mulai dari yang konservatif sampai yang liberal. Dari yang tekstual sampai kontekstual. Dari yang tradisional sampai modern. Dari konservatif sampai liberal.
Bahkan, orang bisa belajar menjadi fundamentalis atau radikal, relijius maupun sekular, dari dunia maya (internet).
Era Digital, Siapa Guru Kita?
Revolusi komunikasi itu berakibat ketidakjelasan siapa sesungguhnya guru kita. Kita belajar dari banyak sumber. Guru bukanlah satu-satunya pemegang otoritas pembelajaran.
Situasi ini memiliki akibat lanjutan. Yakni kurangnya penghormatan terhadap guru. Kita belajar banyak dari guru, teman, buku, dan internet. Kitab-kitab yang mengajarkan kode etik hubungan antara guru dan murid, seperti kitab Ta’lim al-Muta’allim, karya al-Zarnuji, tidak lagi terbayangkan oleh generasi pelajar saat ini.
Karena itu, wajar apabila jamaah LDII tidak lagi bergantung pada sistem manqul dalam memperoleh ilmu agama. Otoritas guru agama telah ditandingi oleh media informasi yang sangat revelusioner dan massif.
Ditinggalkannya sistem manqul memiliki implikasi yang panjang. Misalnya hilangnya pengkafiran dan penajisan terhadap sesama Muslim.
Jika demikian, masihkah relevan penghukuman sesat terhadap jamaah LDII? Jika persoalannya adalah persaingan pengaruh, maka itu tentu bersifat sosial dan bukan lagi teologis.
Seusasi memberikan ceramah pada sore 19 Mei itu, ada tujuh pengurus LDII yang mengajak saya berfoto. Mengapa? Mereka adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah di Jawa Timur. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Manqul dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.