HM Masjroehin, Muhajirin Penyebar Dakwah Pencerahan. Tentang kisah perjuangan tokoh Muhammadiyah Blitar yang hijrah (pindah) dari Magetan.
PWMU.CO – Perkembangan Muhammadiyah di daerah banyak didukung para muhajirin atau pendatang. Hal itu terjadi disebabkan oleh kesamaan spirit. Yakni sama-sama ingin mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Salah satu tokoh muhajirin yang turut berkontribusi pada penyebaran dakwah pencerahan adalah Drs HM Masjroehin. Pria kelahiran Magetan, 16 Maret 1939, ini sejak kali pertama menginjakkan kaki di Kota Blitar pada awal 1960-an, langsung terlibat aktif dalam gerakan Islam berkemajuan ini.
Keterlibatannya dimulai dari organisasi otonom (ortom). Selanjutnya, masuk dalam struktur kepemimpinan Muhammadiyah. Dedikasinya tak bisa diragukan. Terbukti ragam amanat pernah dipegangnya. Puncaknya, beliau dipercaya sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Blitar periode 2005-2010.
Melihat mobilitasnya dalam ber-Muhammadiyah, anak dari pasangan Sumorejo dan Sailah ini memang layak ‘dicemburui’ oleh kalangan muda. Sebab, keterlibatannya dalam roda organisasi seperti tak mengenal lelah dan jeda.
Ketika usianya sudah memasuki 70 tahun misalnya, perjalanan pulang-pergi Blitar-Surabaya bukan halangan berarti. “Tidak ada susahnya selama ber-Muhammadiyah,” ujarnya.
Kecintaannya pada Muhammadiyah sudah tertanam sejak muda. Selain lewat perkaderan ngintil pada tokoh senior, juga secara kultural melalui didikan Marchum Fuadi, salah satu kakak kandungnya yang juga terlibat dalam menggerakkan Muhammadiyah Blitar awal 1950-an, dan pernah menjabat Sekretaris PDM Blitar tahun 1965-an, sebelum pindah ke Tulungagung.
Pendidikan HM Masjroehin
Meski kedua orangtuanya hanya petani biasa, tapi pendidikan Masjroehin lumayan memadai. Lulus dari Sekolah Rakyat (SR) setempat, mulai melakukan pengembaraan intelektual ke Turen, Malang, studi di PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) swasta.
Lulus dari PGAP Turen, melanjutkan di SGA Muhammadiyah Kota Blitar, di Jalan Cokroaminoto. Di tempat inilah dia kembali berkumpul dengan kakaknya, Marchum Fuadi, yang juga menjadi salah satu pengajarnya.
Karena bersekolah swasta, pada 1965 dia harus mengikuti ujian persamaan Guru Agama. Dinyatakan lulus, surat tugas sebagai pegawai negeri sipil (PNS) guru Agama Islam dari Departemen Agama pun langsung turun.
Berbeda dengan guru agama yang biasa bertugas di satu atau dua sekolah. Dia ditempatkan di lima sekolah sekaligus, yaitu SDN Sananwetan I hingga V. Setelah itu, secara berturut-turut dia pernah ditugaskan di SDN Bendo, SDN Tlumpu, SDN Rem¬bang, Sekolah Kerajinan Negeri di Wlingi, serta Sekolah Teknik 2 Blitar.
Pada 1969, dia mendapat tugas belajar untuk kuliah di IAIN Malang. Lulus sarjana muda dengan gelar BA tahun 1973. Selanjutnya, dimutasi ke kantor Depag setempat sebagai Kepala Urusan (Kaur) Umum.
Nikahi Chomsatun
Pada tahun yang sama, Masjroehin melangsungkan pernikahan dengan Chomsatun, gadis kelahiran Banyuwangi. Sang istri saat itu sedang menjalankan tugas belajar sekolah di PGA Muhammadiyah Bandung, Tulungagung. Dari pernikahannya, dikarunia tiga anak: Muftihah Inayati SE, Marfuad Baari, dan Muhnizar Roziqi.
Istrinya juga pernah menjabat Sekretaris Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Blitar periode 2000-2005. Ketika itu PDA Kabupaten dan Kota Blitar masih jadi satu, yang diketuai Ibu Henny, istri Pak Marmin Siswojo.
Tapi sebelum purna jabatan, beliau lebih dulu dipanggil untuk menghadap Yang Maha Kuasa. “Menjelang Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Malang tahun 2005, beliau wafat,” kata Sri Lestari, mantan Ketua PDA Kota Blitar periode 2005-2010 dan 2010-2015.
Di akhir pengabdiannya sebagai PNS, Masjroehin diberi tugas menjadi Pengawas Pendidikan Agama Islam (PPAI) hingga pensiun tahun 1999.
Meski punya kesibukan seabrek, dia tetap mendedikasikan diri sebagai pembelajar yang tak kenal lelah. Di sela-sela menjalankan tugas negara, dia menyempatkan diri menyelesaikan pendidikan lengkapnya, hingga menyabet gelar Doktorandus.
Berkenalan Muhammadiyah
Selama bertugas sebagai PNS, tetap aktif di Muhammadiyah. Baginya, Muhammadiyah, terutama ortom yang digelutinya sejak muda, telah memberi banyak bekal hidup. “Selain karena saya sendiri hidup di lingkungan Muhammadiyah, saya memang tertarik pada kegiatan Muhammadiyah,” cerita Masjroehin tentang muasal perkenalannya dengan Muhammadiyah Blitar pada 1960-an.
Sebagai seorang pendatang baru, dia tidak canggung untuk aktif di Muhammadiyah, dengan bargabung di Kepanduan Hizbul Wathan (HW). Di ortom yang banyak melahirkan tokoh nasional ini, Masjroehin menempa jiwa kepemimpinannya. Pada saat bersamaan, lebih-lebih setelah HW dipaksa bubar oleh Soekarno, dia pun aktif di Pemuda Muhammadiyah hingga dipercaya sebagai ketuanya.
“Jika ingin belajar teori memukul, ada salurannya. Jika ingin belajar meniup terompet ada fasilitasnya,” jelasnya tentang kelengkapan perkaderan di ortom. Tak heran jika pada masa tuanya dengan segala sejarah yang pernah ditorehkan, dia merasa tidak lepas dari faktor perkaderan di ortom.
Dalam pergerakan HW dan Pemuda Muhammadiyah, dia termasuk tokoh lawas. Bahkan kartu keanggotaan di kedua ortom itu masih menyebutkan Blitar berstatus Cabang, di bawah binaan Kediri.
Pegang Jabatan Penting
Purna dari Pemuda Muhammadiyah, dia berlanjut mengabdi di Muhammadiyah. Komitmen dan dedikasinya yang tinggi membuat koleganya memercayakan beberapa jabatan penting di pundaknya.
Di antaranya, Sekretaris PDM Kabupaten/Kota Blitar periode 1995-2000 mendampingi ketua HM Chafif AR BA. Pada periode berikutnya (2000-2005), dia kembali dipercaya memegang jabatan yang sama, dengan ketua H. Marmin Siswojo.
Berkat ketelatenannya, kesekretariatan PDM mulai tertata rapi layaknya organisasi modernis. Ketekunannya dalam mengumpulkan dan mendata perjalanan PDM periode sebelum-sebelumnya, membuat Masjroehin juga menjadi salah satu rujukan lisan terpenting dalam mengurai perjalanan Muhammadiyah Blitar.
Pada 2005-2010 dipercaya sebagai Ketua PDM 2005 Kota. Pada periode ini merupakan pemisahan dari Kabupaten dan Kota yang dihasilkan lewat Musyawarah Daerah (Musyda) IX, 16 April 2006.
Beliau didampingi M. Chafif AR BA dan Ir HM Gatot Dodi Priambodo (Wakil Ketua), Sunarso dan Suprayogi (Sekretaris), Jevri Sulaiman dan H Dwi Setio Arsono (Bendahara).
PDM Kota Blitar membawahi tiga cabang, yaitu di Kecamatan Kepanjenkidul, Sananwetan, dan Sukorejo. Pengembangan lain yang dilakukan periode Masjroehin adalah pembangunan UGD RSU Aminah, serta pembelian lahan seluas 600 meter. Sementara untuk meningkatkan akreditasi RSIA Aminah, diadakan perluasan area dengan membeli tanah 2000 meter.
Juga memindahkan gedung TK Aisyiyah Sananwetan yang semula menempati gedung panti asuhan putra, ke lokasi yang lebih representatif, di Jalan Dr Sutomo Kota Blitar.
Diawali dengan pembelian tanah seluas 400 meter yang di atasnya berdiri bangunan. Sejak Ramadhan 2010, di lokasi ini dibangun Mushala Al-Falah untuk shalat Tarawih. Mulai tahun 2006, PDM Kota rutin menyelenggarakan pembinaan manasik haji, di Perguruan Muhammadiyah Blitar.
Pentingnya Regenerasi
Bagi Masjroehin, satu periode sebagai pucuk pimpinan PDM dirasanya sudah cukup. Menurutnya, tantangan dakwah yang dihadapi Muhammadiyah kian hari kian berat. Konsekuensinya memerlukan pemimpin yang lebih energik, lincah dan lebih cakap dibanding dirinya dalam menggerakkan roda organisasi.
Untuk itu dilakukanlah regenerasi dan peremajaan pimpinan. “Saya sudah tua. Sudah waktunya yang muda-muda yang tampil, agar Muhammadiyah mampu menghadapi perkembangan pesat di eksternal organisasi,” ujarnya memberikan argumentasi.
Maka melalui Musyda tanggal 13 Februari 2011 di Perguruan Muhammadiyah Jalan Cokroaminoto, tampuk kepemimpinan PDM periode 2010-2015 beralih ke Rusdi Riyanto SAg. Sementara Masjroehin sebagai wakil ketua.
Rusdi memberikan kesaksian bahwa beliau pada saat menjabat di PDM, sangat memegang prinsip dan tekun. “Orangnya jujur dan tertib administrasi. Selalu mencatat berbagai kegiatan dakwah. Bahkan saat menjadi sekertaris, sering mengantarkan surat sendiri karena waktu itu PDM belum punya tenaga sekretariat,” ungkapnya.
Dalam penilaian anaknya, sosok yang wafat pada 1 November 2018 tersebut adalah pribadi sederhana, sayang keluarga, pekerja keras, dan seorang yang berprinsip. “Sebagai aktivis, Bapak juga seorang yang punya integritas, loyalitas dan pengabdian luar biasa untuk Persyarikatan,” kesan Marfuad Baari, anak nomor dua yang kini tinggal di Pasuruan.
“Bisa dibilang, hidup Bapak itu didedikasikan untuk dakwah Muhammadiyah,” simpul mantan aktivis Tapak Suci itu seraya berharap dirinya bisa mengikuti jejak ayahnya. (*)
Penulis Muh Kholid AS dan Nadjib Hamid. Editor Mohammad Nurfatoni.