PWMU.CO– Kisah Rengasdengklok menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah bercampur antara fakta dan fantasi. Itu dikatakan Mohammad Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi yang terbit pertama kali tahun 1969.
Bung Hatta menyebutkan, fantasi terjadi karena ada orang yang ingin perannya dibesar-besarkan untuk tujuan politik dan tampak berjasa. Tidak dilakukan cek dan ricek untuk mencari kebenaran kejadian sebenarnya.
Menurut dia, Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah suatu kejadian besar yang menentukan jalannya sejarah Indonesia. Sebagai suatu kejadian yang bersejarah sudah tentu dia diikuti pula oleh berbagai dongeng dan legenda. Jika diperhatikan betul, runtutan cerita tidak sesuai bahkan saling bertentangan.
Salah satu contohnya narasi bahwa Sukarno dan Hatta bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia setelah dipaksa oleh sekelompok pemuda. Pada 16 Agustus 1945 dua orang ini dibawa ke Rengasdengklok Kab. Karawang agar tidak terpengaruh oleh Jepang yang sudah kalah. Di sana dipaksa menandatangani teks Proklamasi Kemerdekaan yang esok harinya 17 Agustus 1945 dibacakan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10 pagi.
Cerita fantasi ini, kata Hatta, terdapat dalam buku Sejarah Perjuangan Indonesia tulisan Muhammad Dimyati yang mengutip buku karangan Adam Malik. Bahasa yang dipakai buku ini berlebihan hingga tidak menggambarkan situasi sebenarnya. Misalnya, kalimat Tangsi Rengasdengklok pada waktu itu sudah dikuasai oleh pemuda-pemuda Indonesia.
Menurut Bung Hatta, tangsi Rengasdengklok tempat dia dan Bung Karno dibawa pemuda adalah asrama PETA. Pasukan Jepang tak ada di sana. Tiap hari para pemuda tinggal dan berkegiatan di situ, bagaimana bisa disebut sudah dikuasai dari Jepang? Di sini juga tidak ada perundingan tentang proklamasi dengan pemuda.
Narasi Bertentangan
Masih menurut buku Dimyati itu, dari Rengasdengklok, kemudian Bung Karno dan Bung Hatta dibawa kembali ke Jakarta untuk meneruskan perundingan. Tempat perundingan malah di rumah Admiral Muda Mayeda. Kata Hatta, ini bertentangan dengan narasi awal yang menyebut alasan membawa ke Rengasdengklok agar dua pemimpin ini tidak diperalat Jepang. Ternyata, ujar Bung Hatta, balik lagi ke Jakarta malah berunding di rumah jenderal Jepang.
Hatta menjelaskan kenapa malam tanggal 16 Agustus itu berunding tentang proklamasi di rumah Mayeda di Nassau Boulevard Jakarta (Jl. Imam Bonjol sekarang), karena Hotel des Indes, tempat rapat dan menginap anggota PPKI yang sudah dijadwalkan pagi itu, sudah tutup tengah malam itu. Lalu Bung Karno meminjam rumah Mayeda. Gara-gara ulah para pemuda ini acara rapat PPKI gagal dilaksanakan siang itu.
Lalu narasi lainnya juga disebutkan Sukarni yang menyodorkan teks Proklamasi. Kemudian naskah itu diedit oleh Sayuti Melik. ”Dokumen asli membuktikan bahwa teks Proklamasi ditulis dengan tangan oleh Bung Karno sendiri,” tegas Bung Hatta.
Bahkan penulis Amerika pun tak lepas membuat dongeng kisah Rengasdengklok. Seperti Dr C. Smit dalam bukunya De Indonesische Quaestie terbit 1952. Dia menulis, saat di Rengasdengklok itu Sukarno dan Hatta menandatangani naskah Proklamasi Indonesia Merdeka di bawah todongan pistol pemuda.
Hatta waktu bertemu Smit di Honolulu tahun 1968 menegurnya dengan menunjukkan keterangan yang bertentangan satu sama lainnya dalam bukunya. Smit cuma bilang, dia mengutip berita itu dari pengarang-pengarang Amerika.
Membuat Sejarah Palsu
Bung Hatta bercerita lagi, masih di zaman Orde Lama sesudah tanggal 17 Agustus diadakan tamasya ke Rengasdengklok di bawah anjuran PKI disertai orang-orang Partai Murba. Tujuan mereka memperingati peristiwa bersejarah bahwa 16 Agustus 1945 di tempat itu ada pertemuan Sukarno-Hatta dan pemimpin pemuda yang menelurkan konsep naskah proklamasi.
Mereka lalu membawa sebuah meja yang katanya dipakai untuk rapat dibawa ke museum Yogya dan Jakarta. Padahal di rumah itu, kata Hatta, tak ada rapat. Pemilik rumah, Djiauw Kie Song, merasa bangga dan menyerahkan begitu saja meja itu.
Juga satu set piring, mangkok, yang dikatakan bersejarah karena dipakai makan Bung Karno saat di situ. ”Padahal waktu kami diculik oleh pemuda ke Rengasdengklok, rumah tuan tanah orang Tionghoa itu dikosongkan. Empunya rumah disuruh pindah ke tempat lain. Di mana dia tahu bahwa satu stel piring pinggan yang ditunjukkannya itulah yang dipergunakan oleh Bung Karno?” tandas Hatta.
Dia menjelaskan kisah Rengasdengklok sebenarnya hanya duduk-duduk tanpa pekerjaan di Asrama PETA satu jam. Lalu dibawa ke rumah orang Tionghoa dan berdiam di situ dua jam. Kemudian datang Sukarni, pimpinan pemuda dan anak-anak PETA.
Fantasi juga terjadi dalam buku yang ditulis Adam Malik. Di buku itu dikatakan, Sukarni mengancam kalau Bung Karno tak mau memproklamasikan Indonesia bakal terjadi revolusi para pemuda dengan kekuatan 15.000 orang. Tapi Bung Karno bimbang dan menanyakan apakah benar-benar Jepang sudah menyerah. Sukarni menjawab, penyerahan Jepang sudah tidak diragukan lagi. “Pahlawan-pahlawan PETA sudah siap menyerbu dan melindungi kemerdekaan,” kata Sukarni.
Kata Hatta, gambaran dan dialog seperti itu tidak ada. Hanya fantasi Adam Malik. “Kami sudah mengetahui Jepang menyerah dari Mayeda saat bertamu ke rumahnya 15 Agustus,” ujarnya.
Tak lama kemudian datang Mr Subardjo menjemput Bung Karno dan Hatta di rumah Rengasdengklok disuruh oleh komandan Jepang. Subardjo menerangkan, di Jakarta tidak terjadi apa-apa. Dia memarahi para pemuda karena rapat PPKI yang diundang pukul 10 pagi gagal. Sebab ketua PPKI mereka culik. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto