Politik Amoral Musuh Muhammadiyah ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Namanya sangat dikenal di kalangan intelektual, khusunya ilmuwan politik. Ia lahir di Florence, Italia, pada 1469; berarti, ia hidup di zaman renaissance (kebangkitan kembali) di Barat.
Ia lahir setelah 63 tahun wafatnya Ibnu Khaldun pada 1406. Niccolò di Bernardo dei Machiavelli, begitu nama lengkapnya, meninggal pada tahun 1525 di usia 56 tahun. Ia dikenal sebagai seorang filosof politik, penulis, politikus, diplomat, musikus, penyair, dan penulis drama.
Machiavelli dipandang sebagai contoh seorang renaissance. Ia dikenal sebagai penulis The Prince, sebuah karya teori politik realis. Sejak abad ke-16, generasi politisi tetap tertarik dengan pendekatan realis terhadap kekuasaan seperti yang dituangkan oleh Machiavelli dalam The Prince.
Ia menyatakan, “Siapapun yang berkuasa, rakyat mendapatkan perlindungan dengan baik berkat penggabungan antara kekuatan (force) dengan kehati-hatian (prudence); kehati-hatian saja tidak cukup; demikian juga, kekuatan saja tidak cukup.
Kekuatan dan kehati-hatian adalah puncak kekuatan pemerintahan yang telah dan akan tetap ada di dunia.” Di bagian lain dalam The Prince, ia menyatakan, “Penguasa baru, yang belum memiliki akar kuat, diperlukan bertindak amoral untuk mencapai tujuan negara.” Dalam tulisannya, Machiavelli juga menyadari bahwa hasil yang baik bisa didapatkan dari tindakan yang jahat.
Ia dipandang sebagai seorang pendiri ilmu politik modern. Setelah berhenti dari keterlibatannya dalam politik, ia mengasingkan diri dan menulis risalah politik yang mendapatkan tempat intelektual dalam perkembangan filsafat politik dan perilaku politik.
Machiavelli merupakan pertanda zaman peralihan cara berfikir, dari politik idealis ke politik realis. Setelah peralihan itu, orang berpolitik tidak perlu idealis. Ia harus realis. Itulah semangat zaman baru di zaman Machiavelli.
Dua Pandangan soal Teori Machiavelli
Namun demikian, orang masih berdebat apa makna tulisan-tulisan Machiavelli itu. Sebagian menyatakan bahwa tulisannya itu merupakan hasil penglihatannya terhadap fenomena politik yang terjadi. Kekuasaan hanya bisa tegak dengan kekuatan, dan tindakan amoral bisa menghasilkan kebajikan. Tujuan menghalalkan cara.
Tetapi, menurut pendapat ini, tulisan-tulisannya tidak menunjukkan bahwa Machiavelli menganjurkan cara-cara amoral dalam mencapai tujuan. Machiavelli hanya melihat dan tidak mengajarkan.
Sebagian lain berpendapat bahwa memang Machiavelli menganjurkan, setidak-tidaknya menyetuji, dipergunakannya cara apa saja untuk mencapai tujuan yang baik. Penguasa boleh korup asal tujuannya baik. Pemerintah boleh menipu asal berujuan untuk kesejahteraan rakyat. Bohong dan suap boleh saja asal bertujuan untuk memenangkan pemilihan umum karena kemenangan itu berarti kesempatan untuk beramal dan berdakwah.
Kita belum sampai pada kesimpulan apa makna filsafat dan teori politik yang ditulis oleh Machiavelli. Mana yang benar di antara dua pandangan di atas?
Tujuan Menghalalkan Cara
Yang jelas, tampaknya semakin hari semakin banyak penganut paham bahwa tujuan menghalalkan segala cara. Banyak pedagang yang menipu. Banyak pegawai yang korup. Banyak guru yang memeras.
Banyak orang mencari uang untuk pribadi atau keluarga berkedok yayasan. Banyak politisi pasang iklan di mana-mana untuk membujuk rakyat agar memilih dirinya, padahal dalam batin politisi itu berkata, “Aku bersumpah tidak akan mau rugi harta sedikitpun akibat jabatan yang akan kuemban.”
Money politics bukan barang asing dalam proses pemilihan. Politisi biasa berkilah, “Kalau bukan saya yang memimpin, negara akan menjadi rusak. Karena itu, saya harus menang dengan segala cara.”
Barangkali Machiavelli tidak bermaksud mengajarkan sesuatu yang amoral dalam politik. Tetapi, kita telah menjadi pecandu berat terhadap perilaku amoral. Kita sedang berada pada suatu situasi ketika menegakkan etika politik seperti menegakkan benang basah.
Di zaman Orde Lama, PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi lambang politik amoral dengan teror dan kekerasan untuk mencapai tujuan “sama rata, sama rasa”. Di zaman Orde Baru, korupsi dilakukan untuk mengejar pertumbuhan.
Di zaman Reformasi, premanisme dan suap dilakukan untuk mencapai tujuan jabatan. Demokratisasi disalahartikan sebagai terbukanya kesempatan bagi pejabat negara untuk saling memeras dan bagi politisi amatir untuk menjadi makelar politik pencari suara dalam pemilihan.
Machiavellisme dalam arti paham politik amoral, ‘tujuan menghalalkan cara’ menjadi musuh utama bagi Muhammadiyah.
Karena itu tidak seorang pun warga Muhammadiyah boleh berhenti melakukan tiga hal dalam waktu yang sama. Yakni alda’wah il al-khair, al-amr bi al-ma’ruf, dan al-nahy ‘an al-munkar; di-Indonesiakan menjadi “dakwah khair, amar makruf dan nahi mungkar.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Machiavelli dalam buku Di Balik Simbol Memahami Pesan Agama dengan Seemanga Kemajuan ini dimuat ulang PWMU.CO.