Demi Subcribe dan Viewers Halalkan Segala Cara. Kolom ditulis oleh Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
PWMU.CO – Dua remaja di Palembang bermain ‘prank’ dengan membagikan ‘daging kurban’ berupa bungkusan plastik berisi sampah kepada orang-orang di jalanan.
Akibat ulah sembarangan itu keduanya digelandang ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Kepada wartawan ketika ditanya kenapa melakukan ulah yang keterlaluan dan meresahkan publik? Jawabannya santai, “Ingin meraih banyak subcribe dan viewers seperti para artis di Jakarta.”
Warganet juga dihebohkan dengan wawancara seorang musisi ibu kota dengan orang yang disebut profesor ahli mikrobiologi yang diklaim berhasil menemukan obat herbal antibodi yang mampu menyembuhkan dan mencegah Covid-19 dalam hitungan 2-3 hari.
Obat herbal tersebut dapat menyembuhkan ribuan pasien yang terkena Corona. Gara-gara tayangan kontroversial di Channel YouTube milik sang musisi tersebut, keduanya diadukan dan diperkarakan ke polisi hingga menjadi urusan hukum. Kabarnya ancamannya cukup berat melanggar UU ITE.
Demi Popularitas dan Uang
Boleh jadi masih terdapat kasus sejenis yang bermain di dunia media sosial berujung menjadi keresahan publik dan perkara hukum. Gara-gara ambisi ingin dapat pelanggan (subscribe) dan penonton (viewers) sebanyak mungkin yang ujungnya meraih popularitas dan uang yang besar.
Mengejar popularitas dan uang sah adanya. Manusia hidup tidak lepas dari hasrat indrawi yang alamiah itu, baik tersembunyi maupun terang-terangan. Namun mengejar apapun mesti ada koridor atau pagarnya. Tidak bisa semaunya sendiri.
Kenapa? Pertama, manusia itu hidup dengan dan bersama orang lain. Tidak hidup sendirian. Memperjuangkan hasrat dan kepentingan sendiri wajar. Tapi jangan merugikan kepentingan orang lain. Inilah hukum dasar bersosial sebagai homo Sapiens, yang membedakan manusia dengan hewan.
Hewan saja punya dunia yang saling menghormati satu sama lain berdasar insting dan habitatnya. Apalagi manusia yang berakal-budi. Allah mengingatkan kaum beriman jangan berbuat curang yang merugikan sesama.
“Celakalah bagi orang-orang yang curang” (al-Muthafifin: 1). Boleh bekerja sama dalam kebaikan dan takwa, tapi jangan bekerja sama dalam dosa dan tercela (al-Maidah: 2)
Kedua, manusia itu memiliki norma dan nilai yang berdasar pada agama dan keadaban budaya. Manusia, apalagi insan beriman, memiliki patokan hidup mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang baik dan mana yang buruk.
Mana yang pantas dan mana yang tidak pantas? Manusia beradab dan beriman tidak bisa bertindak semaunya sendiri yang liar.
Perjuangkan Hal Baik dengan Kebaikan
Dalam memperjuangkan sesuatu, istilah Machiavelli, demi meraih virtuoso (kejayaan) ada tipologi orang yang menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Bagi orang beriman perbuatan menghalalkan segala cara tersebut tidak dibenarkan.
”Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 188).
Perjuangkan hal baik dengan cara yang baik. Melawan kemunkaran pun harus dengan cara yang makruf, jangan dengan cara yang munkar. Itulah batas ranah keadaban manusia beriman dan berakal budi mulia.
Jadi, kenapa mesti menerabas segala cara yang akhirnya merugikan diri dan sesama. Usahakan urusan dunia secukupnya dengan halal dan baik, itulah yang akan membawa ketenteraman hati dan pikiran. Membawa kemaslahatan.
Cukup tapi berkah itu berharga. Apalagi lebih dari cukup tetapi diperjuangkan dengan halal dan baik, tentu berkahnya berlipat.
Bagi setiap warganet dan wargabangsa raihlah sesuatu dengan wajar tanpa berlebihan, agar tidak bermuara kerugian. Apalagi bagi para petinggi dan elit negeri, bertindaklah yang seksama, arif nan bijaksana dalam membawa bahtera bangsa dan negara.
Jangan sekehendaknya karena merasa kuasa dan digdaya. Pejuang kebenaran pun niscaya rendah hati dan menjadi teladan utama dengan menempuh cara mulia dan tidak tersandera pada sikap adigung-adiguna.
Semua penting refleksi diri, apa yang sejatinya dicari? Bermaknakah untuk diri, sesama, dan lingkungan tempat kita berada. Fa-aina tazhabun (at-Takwir: 26).
Jadi, apa yang dikejar? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni. Atas izin penulis, tulisan di akun @HaedarNS yang dicuitkan Jumat (7/8/2020) ini dimuat ulang PWMU.CO dalam bentuk kolom.