PWMU.CO – Sejatinya belum Muhammadiyah, orang yang berpikiran jumud walau sudah ber-KTA (kartu tanda anggota) atau ber-NBM (Nomor Baku Muhammadiyah).
Demikian pesan yang disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Nadjib Hamid MSi, dalam Zoominar Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Sidoarjo bertema Kaderisasi Penanaman Ideologi Keluarga Muhammadiyah, Ahad (9/8/20).
Pada kegiatan yang berlangsung virtual tersebut, pria asli Lamongan itu mengatakan Muhammadiyah sebagai gerakan amar makruf nahi mungkar menganut ideologi Islam berkemajuan. “Apa itu Islam berkemajuan? Yaitu Islam yang sesuai dengan syariat, tapi cocok dengan perkembangan zamannya,” ujar Nadjib Hamid.
Memilah Ta’abudi dan Ta’aquli
Islam yang sesuai syariatnya, lanjut Nadjib, ketika berkenaan dengan masalah ta’abudi. Dan harus sesuai dengan perkembangan zamannya, jika menyangkut perihal ta’aquli. “Islam sebagai agama berisi seperangkat tata nilai yang merupakan pedoman hidup bagi umat manusia, untuk menjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat,” tambah dia.
Nadjib juga menyampaikan, dalam ajaran Islam, setidaknya ada dua aspek yang selalu melekat, yakni pada aspek tata nilai dan kaifiyah (manajerial). “Pada aspek kaifiyah itulah, yang membedakan antara Muhammadiyah dengan ideologi gerakan Islam lainnya,” paparnya.
Dia melanjutkan, jika berhubungan dengan ibadah mahdhah, baik substansi materi ajaran maupun kaifiyah, setiap orang Islam terikat sekali dengan apa yang dicontohkan rasul. “Saya sering mengistilahkan sampai kiamat kita tetap melaksanakan shalat maghrib itu tiga rakaat, subuh dua rakaat. Walaupun zaman sudah berubah sifatnya tetap, persis sama dengan yang diajarkan Rasulullah,” tuturnya.
Tetapi kalau sudah di luar ibadah mahdhah, sambungnya, kaifiyah itu bisa berubah dalam batas di luar ibadah mahdhah. Kaifiyah itu bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. “Itulah yang disebut dengan Islam berkemajuan. Jadi kita mesti memilah, mana hal-hal yang bisa kita katakana kaifiyah-nya bisa berubah, mana hal-hal yang kaifiyah-nya tidak berubah,” ungkap Nadjib.
Kiai Dahlan Meluruskan Kiblat
Dia lalu memberi contoh saat Kiai Dahlan berdakwah yang pertama dilakukan adalah menyerukan agar kaifiyah shalat itu menghadap kiblat. Dan itu dianggap masjid agung pada saat itu belum mewakili yang disebut dengan arah kiblat.
Kiai Dahlan kemudian mengubahnya agar lebih tepat. “Tapi cara Kiai Dahlan atau kaifiyah mengubah arah kiblat menggunakan kompas, yang oleh sebagian masyarakat zaman itu Kiai Dahlan dituduh sesat. Karena Kiai Dahlan melakukan sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah,” ujarnya.
Padahal, lanjut Nadjib, bagi Kiai Dahlan, soal cara menentukan arah kiblat itu di mana, itu bukan ta’abudi, tapi ta’aquli. “Itu bukan masalah ibadahnya, tetapi alat untuk menentukan arah kiblat. Karena bagi Kiai Dahlan itu ta’aquli, maka kiai berijtihad sesuai perkembangan zamannya,” terangnya.
Sama halnya, sambung Nadjib, ketika Kiai Dahlan memakai dasi dan celana. Pada zaman itu banyak yang menganggap Kiai Dahlan sebagi orang kafir karena bertasyabbuh—menyerupai orang-orang kafir dalam berpakaian.
“Tetapi Kiai Dahlan zaman itu pikirannya sangat maju melampaui zamannya. Karena bagi Kiai Dahlan, pakaian itu spirit agamanya adalah menutup aurat. Soal bentuk, model, itu bukan bagian dari ibadah mahdhah. Maka kaifiyah-nya disesuaikan dengan perkembangan zaman,” jelasnya.
Maka, menurut Nadjib, pemaknaan dan pemahaman ideologi ini penting, yang selanjutnya bisa ditanamkan pada warga atau keluarga masing-masing. “Bagaimana supaya kita bisa punya ideologi yang kuat? Maka bagi level kita sendiri harus terus berproses dan belajar. Karena pertama, ideologi Islam berkemajuan itu antara lain ditandai dengan akidah yang kuat,” kata dia.
Ketika warga Muhammadiyah apalagi pimpinan Aisyiyah ideologi dan akidahnya tidak kuat, maka sulit menanamkan ideologi Islam berkemajuan. “Karena dalam seseorang yang berakidah kuat, seseorang akan berani menyatakan kebenaran walau dalam situasi sulit. Juga tumbuh kepedulian, kebersamaan, kesederhanaan, dan keikhlasan,” ungkap Nadjib.
Sejatinya Belum Muhammadiyah
Selain akidah yang kuat, ciri penganut ideologi Islam berkemajuan adalah ibadah ritual dan sosialnya yang berjalan seimbang. Dalam bahasa lain, shalih secara ritual dan sosial. Juga berwawasan luas dan berorientasi ke depan, sehingga toleran, bijak, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
“Dalam konteks ini, seseorang yang berpikiran maju, walau mungkin belum punya KTA (NBM) bisa dikategorikan sebagai Muhammadiyah. Sebaliknya, walau sudah punya KTA tapi pikirannya jumud, sejatinya belum Muhammadiyah,” papar Nadjib.
Dalam kesempatan itu, dia juga menyinggung berkembangnya Muhammadiyah di daerah-daerah itu bukan semata karena ceramah. “Tapi karena tingkah laku serta keikhlasan Kiai Dahlan dan tentu saja dengan kedalaman ilmunya,” ungkap Nadjib sambil menceritakan bagaimana Kiai Dahlan bertemu Kepala Stasiun Malang, yang dikemudian hari menjadi cikal bakal berkembangnya Muhammadiyah di Malang.
Maka, Nadjib mengatakan, tidak bisa menanamkan ideologi itu pada orang lain semata dengan berceramah. “Ideologi tidak untuk diceramahkan. Karena penanaman ideologi pada siapapun tidak cukup hanya melalui ceramah. Tapi harus kita mulai dari diri sendiri. Bahwa kita harus punya akidah yang kuat dan melalui proses yang panjang. Bahwa kita juga harus punya spirit berbagi, tanggungjawab sosial, dan semua itu harus didasari dengan keikhlasan,” ungkapnya.
Nadjib lalu melanjutkan, cara paling efektif untuk penanaman ideologi sekaligus perkaderan selain melalui pelatihan adalah dimulai dari diri sendiri, melalui pemberian teladan dari pribadi masing-masing.
“Penting juga kita libatkan anak-anak kita untuk mau bersama dalam aktivitas Aisyiyah dan Muhammadiyah. Melalui pelatihan atau beragam kegiatan yang bernuansa perkaderan,” pesan dia.
Dengan cara itu, sambungnya, anak-anak bisa meneladani orangtuanya. “Keteladanan menjadi kunci bagi anak-anak dan keluarga kita untuk mau terlibat lalu mendakwahkan ideologi Muhammadiyah. Tanpa dilibatkan dan diberi keteladanan, hanya disuruh atau diceramahi, maka tidak mudah untuk berharap efektivitasnya,” pungkas Nadjib. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.