Kehausan yang Mencekik Tiga Pasien Covid-19. Ditulis oleh Nasrullah, warga Kota Malang.
PWMU.CO – Ini kisah nyata dari tiga orang pasien Covid-19 yang sangat saya kenal. Yang seorang meninggal, yang lain masih isolasi di rumah sakit—keduanya sahabat saya. Satu lagi pasien pulih, yaitu kakak saya..
Saat dirawat, ketiganya punya keluhan serupa: kehausan. Sangat haus. Keajegan mendapatkan air ini perlu jadi perhatian rumah sakit.
Bagi pasien, tidak selalu mudah mendapatkan asupan air. Karena kondisi pasien berbeda-beda. Ada yang bisa melayani diri sendiri, yakni yang bergejala ringan. Tapi, banyak yang tergolek di ranjang tanpa bisa menggerakkan tubuh, karena kesakitannya berat.
Kehausan yang Mencekik
Tentang pasien yang meninggal, menimbulkan rasa penyesalan dari atasannya. Karena dia terlambat merespon pesan WhatsApp yang dikirimkan si pasien. “Pak, saya sangat haus. Saya butuh perawat untuk membawakan air,” tulis si pasien.
Rupanya, malam itu tombol untuk minta bantuan perawat di kamar pasien macet. Si atasan memang punya akses ke pimpinan rumah sakit itu.
Atasannya baru melihat pesan WhatsApp itu menjelang Subuh. Dilihatnya pesan itu dikirim pukul 02.00 dini hari. Dua setengah jam sebelum terbaca. Yang bikin trenyuh, setelah pesan minta tolong itu, ada pesan dua jam berikutnya, “Semua kesalahan saya mohon dimaafkan.” Ketika si atasan mengontak rumah sakit, si pasien itu sudah wafat.
Cepat sekali wafatnya. Hanya tiga hari setelah dia masuk ICU. Penurunan kesehatannya cukup cepat. Dia tak bisa bangun—meski jemarinya masih bisa mengetik untuk kirim WhatsApp.
Sekitar lima jam sebelum masuk ICU dia sudah terlihat agak berat bernafas. Yakni saat menjadi pemateri dalam webinar pemungkasnya sebagai akademisi kawakan. Kabarnya almarhum juga punya komorbid gangguan nafas.
Komplikasi Diare
Kakak saya juga merasa mudah kehausan. Dia dirawat di rumah sakit cukup lama karena Covid-19. Sepekan di Puskesmas, sepekan di RS swasta, dan sebulan lebih di RS daerah. Nyaris dua bulan!
Komorbidnya gangguan jantung dan pernafasan. Ketika toraksnya dirongsen, sebagian besar paru-parunya sudah memutih. Kondisi nafasnya berat. Dia harus dibantu ventilator.
Kakak saya juga kena diare hebat. Diare ini jelas menguras cairan dari tubuhnya. Maka, setidaknya setiap dua jam sekali dia merasa sangat haus. Butuh minum. Asupan air hangat sangat mengurangi rasa sesak yang menindih dadanya.
Saya maklum, perawat sangat berat bila harus melayani minum setiap jam atau setiap saat ketika pasien Covid-19 kehausan. Tenaga medis banyak yang keletihan, karena pasien Covid-19 terus berdatangan. Apalagi selama bertugas, mereka harus memakai APD—alat pelindung diri—yang sumuk.
Karena itu, ketika masih di RS swasta, keluarga kami meminta izin rumah sakit agar istrinya boleh mendampingi di ruang isolasi. Untuk melayani minum air hangat dan keperluan lain kakak saya. Risikonya memang tidak diperbolehkan keluar sama sekali dari kamar isolasi, diperlakukan sebagaimana pasien Covid-19.
Ketika pindah rumah sakit, istrinya tak diizinkan mendampingi. Suatu kali kakak sempat kolaps, kritis. Akibat terlalu memaksakan diri menjangkau air di meja sebelah bed-nya. Beruntung bertepatan dengan jadwal kunjungan perawat dan segera memperoleh pertolongan.
Karena kejadian itu, akhirnya dengan APD seperti perawat, dia diizinkan mendampingi suaminya. Tugas utamanya, ya meminumkan air itu. Penting juga, menemani berinteraksi, dan membersihkan suaminya yang kena diare hebat.
Hasil ikhtiar ini kami anggap keajaiban. Kakak saya sembuh dan sudah pulang ke rumah. Alhamdulillah. Padahal, semua pasien kondisi berat yang masuk ke rumah sakit itu wafat.
Istrinya sempat ikut positif Covid-19, tapi tanpa gejala atau tidak sakit. Dia tidak punya komorbid, dan imunitasnya kuat. Tes swab dia (dan anak-anak) ternyata negatif setelah isolasi mandiri 14 hari di rumah dengan disiplin ketat.
Pengalaman Isolasi Kawan
Pengalaman gampang haus ini juga dialami kawan saya yang sedang isolasi di rumah sakit. Kondisinya bisa gerak bebas di kamarnya, bisa melayani diri sendiri. Gejala yang paling beratnya adalah sering batuk. Batuknya kering dan ngikil (sering timbul dan berkepanjangan).
“Kalau tidur, sekitar setiap dua jam saya terbangun. Mulut terasa terkatup lengket, seperti dilem. Tenggorokan sangat kering. Sangat haus. Begitu minum air hangat, saya lega. Saat tidak tidur juga sering kehausan,” kata kawan saya, lewat video conference yang kami adakan dengan 14 kawan untuk menemaninya.
Karena sering minum itu, maka dia sering kencing sebagai keseimbangan normal metabolisme.
Perbaikan Prosedur
Dari pengalaman pasien yang sangat gampang haus itu, mestinya bisa untuk memperbaiki prosedur penanganan pasien Covid-19.
Caranya sederhana: Pertama, membolehkan kerabat dekat menjaga untuk melayani minum setiap pasien Covid-19 haus (dan menjadi teman berbincang, agar pasien tak kesepian). Terutama untuk pasien yang tak bisa melayani diri sendiri (sakit berat).
Kedua, atau menyediakan botol besar atau jeriken air minum (kalau bisa hangat) dalam jumlah cukup di dekat ranjang pasien. Dan, dihubungkan dengan selang kecil di dekat mulut pasien. Sehingga kalau haus tinggal menyedot. Wadah air minum ini kalau bisa sejajar dengan ranjang pasien, agar tidak terlalu berat untuk menyedot.
Ketiga, menyediakan penampungan kemih pasien yang lebih besar untuk mengantisipasi sering kencing.
Dalam tulisan ini nama pasien dan rumah sakit saya rahasiakan untuk menjaga privasi. Sebab yang terpenting dari hikmah kisah ini adalah membantu pasien-pasien Covid-19 yang lain.
Yakni agar bisa mengatasi masalah kehausan yang menyesakkan itu. Air memang bahan pokok kehidupan. Begitu sunatullahnya. (*)
Kehausan yang Mencekik Tiga Pasien Covid-19, Editor Mohammad Nurfatoni.