PWMU.CO– Maeda Tadhasi. Perwira tinggi Kaigun (Angkatan Laut) Jepang berpangkat laksamana muda. Nama ini populer dalam sejarah kemerdekaan Indonesia karena menyediakan rumah dinasnya untuk rapat anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di tengah malam.
Keputusannya itu penuh risiko. Sebab dia melanggar perintah militer Jepang yang harus mempertahankan kondisi status quo negeri yang dikuasainya hingga pasukan Sekutu datang mengambil alih.
Dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno, Shigetada Nishijima, ajudan Maeda, menceritakan, ketika pasukan Sekutu datang ke Jawa, dia dan atasannya ditangkap tahun 1946 di Salemba.
Maeda dituduh menyalahi perintah status quo. Membantu memberi fasilitas kemerdekaan Indonesia. Namun dia menolak tuduhan itu. Dia dipenjara selama setahun hingga 1947. Akhirnya dibebaskan dan pulang ke Jepang.
Tapi di negerinya, laksamana ini berurusan lagi dengan pengadilan militer dengan tuduhan yang sama. Bersyukur Mahkamah Militer Jepang memutuskan dia tak bersalah hingga bebas.
Akrab dengan Pimpinan Pergerakan
Bagi pimpinan pergerakan Indonesia yang pernah sekolah di Belanda, nama Maeda sudah akrab dikenal. Dia diplomat militer yang bertugas sebagai atase Kedubes Jepang di Den Haag dan Berlin pada tahun 1930an.
Ketika di Den Haag, dia beberapa kali berkomunikasi dengan pelajar Indonesia seperti Nazir Pamuntjak, Achmad Subardjo, Mohammad Hatta, dan AA Maramis. Orang paling akrab dalam komunikasi dengan Maeda adalah Achmad Subardjo.
Sewaktu Jepang menguasai Indonesia dan mengusir Belanda lewat perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942, dia ditempatkan di Jakarta menjadi kepala kantor penghubung Kaigun dan Rikugun.
Di kota ini dia bertemu lagi dengan mahasiswa Indonesia yang kini telah menjadi pimpinan di negerinya. Mereka langsung akrab dan aktif membangun komunikasi. Dia juga tahu banyak tentang aktivitas pergerakan kemerdekaan di Jawa.
Karena itu ketika Hotel des Indes tak mengizinkan sidang PPKI di tengah malam 16 Agustus 1945 setelah peristiwa penculikan Rengasdengklok, Subardjo menawarkan rumah Maeda di Jl. Meiji Dori 1 (Jl. Imam Bonjol 1) sebagai pilihan. Malam itu dia menelepon teman akrabnya itu meminjam rumahnya dan diizinkan
Maeda punya simpati terhadap pergerakan kemerdekaan. Tahun 1944, dia mengusulkan pendapat panglima Kaigun agar menyampaikan kepada pemerintah Tokyo supaya Indonesia diberi kemerdekaan. Usulannya itu baru direspon Agustus 1945 menjelang kekalahan Jepang dari AS.
Cerita Anaknya
Nishimura (73), anak Laksamana Tadashi Maeda, menceritakan, setelah kembali ke Tokyo, ayahnya menghadapi pengadilan militer. Ayahnya dinyatakan tidak bersalah. Kemudian memilih pensiun menjadi warga sipil.
Dia menyatakan, ayahnya
diseret
ke Mahkamah Militer bukan semata
tuduhan membantu
kemerdekaan Indonesia. Tapi diincar untuk dijadikan kambing hitam kekalahan militer Jepang.
”Ayah saya diperkarakan bukan karena membantu Indonesia,
tapi dari dulu ditarget sebagai petinggi militer
dan harus dipersalahkan,” tutur Nishimura pada Agustus 2015 diundang ke Jakarta untuk
napak tilas proklamasi di rumah dinas ayahnya. Rumah itu sekarang menjadi
Museum Proklamasi.
Setelah Indonesia merdeka hubungan Maeda dengan pimpinan Indonesia tetap terjalin. Dia beberapa kali bertemu dengan Sukarno saat menjadi presiden.
Bahkan Sukarno juga menyambangi Maeda saat berkunjung ke Tokyo. ”Ketika umur 70 tahun, bapak saya sakit dan Sukano datang menjenguk ke Tokyo. Orang tua saya juga beberapa kali datang ke Jakarta bertemu Sukarno,” cerita Nishimura
Pada perayaan kemerdekaan 17 Agustus 1977, Pemerintah Indonesia menganugerahkan bintang jasa kepada Maeda, empat bulan sebelum meninggal. Pemberian bintang dilakukan oleh Duta Besar RI di Tokyo, Witono.
Kesaksian Subardjo
Dalam buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksiaan, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang, Subardjo menuturkan, pada detik-detik terpenting dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Laksamana Maeda menunjukkan sifat samurai Jepang yang mengorbankan diri dengan rela demi tercapainya cita-cita rakyat Indonesia, yakni Indonesia merdeka.
Maeda, sambung dia, pernah mendesak pimpinan Angkatan Laut Jepang di Jakarta Laksamana Yachiro Shibata agar berani mengabaikan perintah Sekutu soal status quo dengan membiarkan rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Komandannya itu sependapat.
Tapi ketika usulan itu disampaikan kepada komandan pemerintah militer Gunseikan Jenderal Yamamoto tidak sependapat. Walaupun begitu Maeda nekat menampung anggota PPKi rapat di rumahnya tengah malam. Dia menyatakan, selama berada di rumah dinas Kaigun dijamin aman karena ini dibawa wewenangnya. Tapi di luar rumah ini dibawa kekuasaan Gunseikan yang dipegang Rikugun (Angkatan Darat).
Subardjo mengungkapkan, Maeda pernah berkunjung ke rumahnya di Jl. Cikini Raya 82 Jakarta. Dalam pertemuan itu dia bercerita, waktu dituduh Belanda telah membantu kemerdekaan Indonesia, Maeda membantah dengan mengatakan tidak mungkin orang seperti dirinya mampu menggerakkan 80 juta rakyat Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan.
Maeda lalu mengaitkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan prinsip yang pernah dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat Wilson, bahwa setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri.
Padahal sebenarnya dia memang simpati dan mendukung para aktivis pergerakan untuk memerdekakan Indonesia. ”Nasib saya sendiri tidak penting, yang penting adalah kemerdekaan bangsa Indonesia,” kata Maeda.
Laksamana Muda Tadashi Maeda lahir di Kagoshima, 8 Maret 1898. Meninggal pada 13 Desember 1977 di usia 77 tahun di Jepang. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto