Tiga Sejarawan Belanda Menyoal Proklamasi 1945 artikel opini ditulis oleh Rosdiansyah, peneliti JPIP, alumnus ISS Den Haag
PWMU.CO-Gaung proklamasi masih terasa sepanjang tahun 1945. Bagi orang-orang Belanda baik yang berada di perantauan Australia maupun yang masih di sejumlah kota di nusantara, gaung itu jelas mengherankan. Sebab, tidak ada transfer kekuasaan, yang ada hanyalah pernyataan sepihak dari sejumlah elite Indonesia.
Di antara sikap heran itu terlihat dari tulisan tiga sejarawan Belanda ini. Pertama sejarawan Bernard Vlekke. Ia mengupas ihwal proklamasi dalam artikel bertajuk Progress Toward Self-Government (Perkembangan Menuju Pemerintahan Mandiri).
Tulisan Vlekke ini termuat dalam jurnal Far Eastern Survey yang terbit pada 5 Desember 1945. Begitu herannya Vlekke, sehingga ia menumpahkannya nyaris dalam seluruh paragraf tulisan. Ia beranggapan balatentara Jepang sengaja membiarkan terbentuknya ”Pemerintahan Republik Indonesia”.
Sebagai pihak yang kalah perang, seharusnya Jepang tetap menunggu di Indonesia sampai pasukan Sekutu tiba. Vlekke menganggap Indonesia merupakan wilayah layaknya pampasan perang. Harus diserahkan pada pihak yang menang.
Bahkan Vlekke terang-terangan menyebut terjadinya pelanggaran atas kondisi menyerah tanpa syarat balatentara Jepang kepada Sekutu. Tidak ada syarat apapun yang diberikan kepada Jepang. Alih-alih mempersiapkan kedatangan Sekutu, pihak Jepang malah menganggap kondisi tanpa syarat memberi peluang Jepang memfasilitasi persiapan kemerdekaan Indonesia. Vlekke heran, kenapa justru situasi itu tidak disikapi tegas oleh para pimpinan sekutu di Asia Tenggara.
Standar Ganda Jepang
Selain itu, Vlekke menuding para pimpinan sekutu membiarkan Jepang memberi kelonggaran pada Sukarno dan rekan-rekannya untuk mengambil-alih pemerintahan. Menurut Vlekke, setidaknya, ada dua faktor penyebab kenapa proklamasi itu bisa terjadi. Pertama, sikap standar ganda balatentara Dai Nippon yang sudah menyerah. Sembari menunjukkan sikap menyerah pada Sekutu, tapi memberi angin pada kaum nasionalis Indonesia.
Kedua, tulis Vlekke, Sukarno tahu kondisi pasukan Sekutu belum sepenuhnya pulih dari serangkaian perang melelahkan selama berbulan-bulan di Asia-Pasifik. Vlekke mengakui kejelian kaum nasionalis ini membaca situasi geopolitik kala itu. Namun kejelian itu merupakan watak aji mumpung. Anehnya, dalam tulisan itu pula, Vlekke mengaku pihaknya sama sekali tak tahu rincian peristiwa yang terjadi pada bulan-bulan menjelang proklamasi.
Bagi Vlekke, Sukarno jelas figur utama pemantik serangkaian aksi setelah proklamasi dikumandangkan. Kerusuhan yang terjadi saat pasukan Sekutu pertama kali mendarat di Batavia pada 1945 disebabkan oleh agitasi Sukarno, tulis Vlekke. Peristiwa kekerasan terhadap orang Belanda di Depok, misalnya, adalah dampak agitasi tersebut.
Suasana Depok sangat tegang, warga pribumi terus memonitor gerak-gerik orang-orang Belanda yang baru bebas dari penjara Jepang. Sentimen patriotik pribumi begitu tinggi, sehingga pecah kerusuhan. Vlekke menuding kaum Muhammedan Depok terpengaruh agitasi Sukarno. Kelihatannya, Vlekke masih sangat dipengaruhi cara pandang orientalis terhadap muslim. Ia menyebut muslim Depok sebagai Muhammedan (pengikut Muhammad).
Sebagai sejarawan pada lembaga pemerintah Belanda untuk kajian sejarah di Roma, Italia, Vlekke jelas punya pengaruh luas. Bukan saja di pemerintahan administratif Belanda di pengasingan (Australia), namun juga pada kalangan Belanda terdidik yang bertahan di Indonesia.
Apalagi, Vlekke telah menulis sejarah nusantara beberapa tahun sebelumnya. Sebagai pejabat, pandangan Vlekke mencerminkan sikap resmi pemerintah kolonial Belanda yang belum rela melepaskan zamrud khatulistiwa, Indonesia.
Mitos Proklamasi
Sikap serupa juga diperlihatkan sejarawan Belanda, PJ Drooglever. Dalam artikelnya yang dimuat jurnal Bijdragen edisi tahun 1997, Drooglever mengupas awal mula munculnya konstitusi Indonesia tahun 1949.
Bagi Drooglever, dan juga pandangan warga Belanda umumnya, pernyataan Proklamasi Kemerdekaan 1945 di Indonesia merupakan fait accompli terhadap situasi saat itu yang dianggap vakum kekuasaan. Jepang sudah menyerah, namun sekutu belum tiba. Karenanya, konstitusi 1945 yang sudah ada saat itu dipandang Drooglever sebagai konstitusi prematur, sebab kehadiran Indonesia sebagai negara berdaulat belum memperoleh pengakuan dari Belanda. Sang bekas penjajah.
Walau tidak tersurat, tapi tersirat, sejarawan Belanda lainnya, Hermanus Johannes de Graaf alias HJ de Graaf malah begitu rinci menggambarkan keterlibatan Jepang dalam Proklamasi 1945. Tulisan de Graaf dalam jurnal Bijdragen edisi 1 Januari 1959 menyebut siapa saja tokoh penting Jepang dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.
Selain menggambarkan peran Laksamana Tadashi Maeda, de Graaf juga merujuk pada sumber-sumber Jepang lainnya. Ia juga merekam detik demi detik perkembangan menuju perumusan Proklamasi 1945. Bagi de Graaf, penentuan 17 Agustus 1945 tak lebih sebagai fase penting pembentukan mitos.
Tiga sejarawan Belanda ini pendapatnya tak beda dengan para politikus dan pejabat Belanda yang syok dalam Perang Dunia II ini tiba-tiba mereka kehilangan Hindia Belanda. (*)
Editor Sugeng Purwanto