Merdeka ala Gus Baha’ ditulis oleh Ali Murtadlo, jurnalis tinggal di Surabaya.
PWMU.CO–Tidak jadi apa pun, tidak masalah
Tidak kenal orang, tidak masalah
Tidak diakui keberadaannya, tidak masalah
Tidak dihormati, tidak masalah
Hidup tidak usah dibuat sulit
Hidup tidak usah ruwet
Asal tidak melanggar perintah Tuhan
Asal tidak mengganggu orang lain
Apalagi bisa membahagiakan orang lain
Itu sudah cukup
Asal tidak maksiat
Pribadi yang menyenangkan
Bermanfaat
Tidak mengusik orang lain
Itu sudah cukup
Itulah resep hidup merdeka ala Gus Baha’ panggilan KH Bahauddin Nursalim. Kiai muda NU asal Rembang yang dijuluki Ustadz Adi Hidayat sebagai Manusia Quran ini memang menjalani hidup ini dengan rileks, dengan santai.
Mengantar anaknya beli mainan ke pasar naik motor, sesuatu yang biasa dilakukan. Tidak ada ewuh pakewuh. Tak ada perasaan: ustad kok keluyuran pakai motor.
Saat diwawancara Najwa Shihab tentang HP-nya yang jadul, santri kesayangan Mbah Maemoen Zubair Sarang Rembang ini menjawab rileks. ”Saya pakai HP hanya untuk telepon dan SMS,” kata ulama yang hafal Quran kelahiran Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah ini.
”Kalau gitu Gus Baha’ tidak pakai WA, IG, FB,” tanya Nana, panggilan Najwa. ”Memang tidak ada WA dan lain-lainnya. Waktu saya sudah habis untuk ngaji dengan para santri,” kata ahli tasir yang 14 Juli lalu diundang Universitas Muhammadiyah Malang ini.
”Lha kalau gitu bagaimana ngecek youtubenya yang bertebaran di mana-mana,” kejar Nana. ”Saya tidak tahu kalau youtube saya di mana-mana, dan saya tidak mementingkan itu. Saya tidak berharap terkenal. Yang penting bagi saya, saya mau ceritakan kepada banyak orang betapa indahnya al-Quran,” kata pengasuh pondok pesantren Tahfidhul Quran LP3IA Rembang meneruskan ayahnya yang sudah wafat ini.
Hidup Sederhana
Nana seperti biasa tampil bersama ayahnya, Prof Dr Quraisy Shihab, mengundang Gus Baha’ sebagai tamu khususnya. Tak hanya Nana yang memuji kedalaman ilmu Gus Baha’, Prof Quraisy yang dikenal ahli sekaligus pengarang tafsir Quran juga menyanjungnya.
”Sulit menemukan orang yang memahami Quran hingga detail-detail fikihnya seperti Pak Baha,” kata Prof Quraisy. Bahkan di UII, Gus Baha’ dipercaya sebagai ketua Tim Lajnah Mushaf UII dengan anggota Prof Dr Quraisy Shihab, Prof Zaini Dahlan, Prof Shohib, dan Dewan Tafsir Nasional lainnya. Padahal Gus Baha’ tidak menyandang gelar akademik apa pun. Mondoknya pun tidak sampai ke luar negeri seperti Al Azhar Mesir. Bahkan hanya di dua tempat. Pondok ayahnya sendiri dan pondok Al Anwar Mbah Maemoen.
Ketika UII menawari Gus Baha’ gelar doktor honoris causa dalam bidang tafsir Quran, kiai kelahiran 1970 ini menolaknya dengan halus. ”Biarlah saya begini saja.”
Contoh hidup merdeka ala Gus Baha’ lainnya, saat lamaran dengan calon istrinya, keluarga Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Usai lamaran dia mendatangi calon mertuanya dan mengatakan mohon dipikirkan lagi apakah dia akan menjadi calon menantu yang cocok.
”Saya ini hidupnya sederhana, Pak,” katanya. Jawabnya? ”Ya sudah klop, cocok,” kata calon mertua. Tak hanya di kata-kata, ketika akad nikah, Gus Baha’ membuktikannya dengan datang ke Sidogiri mengendarai bus umum, bahkan sampai ganti dua kali.
Apakah Anda sudah semerdeka Gus Baha’? Mengonsep hidup ini sederhana saja? Tidak mempersulit diri? Tidak ruwet? Memang, bahagia atau tidak bahagia, senang atau tidak senang, sehat atau tidak sehat, sering sekali ditentukan oleh sikap hidup kita sendiri. Gus Baha’ memilih hidup merdeka. No rumit. No ruwet! Salam!
Editor SugengPurwanto