Manusia (Tak Pernah) Merdeka! adalah kolom yang ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.
PWMU.CO – Adakah manusia merdeka? Ada. Pakailah kaos ‘Manusia Merdeka’ ala Muhammad Said Didu. Anda akan menjadi manusia merdeka, setidaknya dalam slogan!
Tapi tidak mudah menjadi manusia merdeka sejati—manusia yang tak terkungkung oleh belenggu kekuasaan.
Manusia merdeka tak pernah takut berbicara di depan kuasa kebohongan. Juga kesombongan. Seperti kelompok Petisi 50 di depan kekuasaan Soeharto yang pongah di masa Orde Baru. Tapi ada risiko. Mereka akan dibatasi. Dicekal. Rumahnya diawasi intel. Bisnis (keluarga)nya dihancurkan.
Apakah Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di masa rezim Joko Widodo—yang di dalamnya ada Said Didu, juga Din Syamsuddin dan aktivis kritis lainnya—akan bernasib sama dengan Petisi 50 yang di dalamnya ada M Natsir dan Ali Sadikin?
Risiko itu soal pilihan. Ada banyak orang yang tak merdeka pikiran dan ucapannya. Mereka di zaman Orde Baru dikenal sebagai ABS—asal bapak (Soeharto) senang. Tapi fisiknya ‘merdeka’. Mereka aman. Nyaman. Menikmat jabatan dan fasilitas.
Setiap zaman selalu melahirkan kekuasaan. Kekuasaan yang melampaui. Seperti era Demokrasi Terpimpin Soekarno. Tapi selalu pula lahir manusa merdeka. Mereka yang jiwanya kritis. Bersuara. Tapi fisiknya berpotensi dikerangkeng. Dipenjara. Diasingkan.
Batas Merdeka
Jadi, adakah manusia merdeka? Jika merdeka diartikan secara subjektif sebagai sebebas-besasnya bertindak, tentu tidak (boleh) ada manusia merdeka.
Sebab selalu ada batas yang berfungsi membatasi. Tapi apakah membatasi berarti mengekang? Mengekang kemedekaan?
Jurang dengan batas tepi, apakah mengekang? Atau justru menjaga? Pintu palang kereta api, mengekang atau menyelamatkan? Marka jalan, membatasi kebebasan?
Saya, termasuk yang terbantu oleh marka jalan. Terutama pada jalan-jalan yang lebar. Atau saat dalam perjalanan malam. Tanpa marka, saya gampang terlena. Dengan marka, saya akan terpandu ke jalan(an) yang benar.
Jadi, marka jalan bukan pengekang. Dia adalah batas minimal agar kendaraan tidak liar. Sebab jika di jalanan kendaraan bebas lepas, dia akan membahayakan kendaraan lain. Juga diri sendiri.
Lalu bolehkan kita melarang balita memegang api? Boleh, dan harus. Meski membatasi, tapi larangan itu menyelamatkan. Tangan balita akan terbakar jika kita tidak melarangnya.
Dengan analogi seperti itu kita berpikir positif tentang batas. Bahkan dalam batas ada kemerdekaan. Seperti pernikahan. Ada yang tadinya boleh menjadi tidak boleh. Tapi di sisi lain, yang awalnya tidak boleh menjadi boleh.
Dalam terminologi agama, batas disebut syariat. Ada halal, ada haram. Dalam terminologi lain, batas disebut hukum. Ada yang boleh dan ada yang tak boleh.
Tanpa batas, tanpa syariat, tanpa hukum, tatanan masyarakat akan kacau. Manusia bisa seenaknya, sekehendaknya. Korupsi adalah salah satu contohnya. Juga bully dan caci maki di era media sosial.
Nah, kekuasaan pun tak merdeka. Ada batas. Dan batasnya adalah orang-orang kritis yang tergerak menyuarakan nurani rakyat!
Maka jangan apriori pada batas! Dia justru menyelamatkan. (*)