PWMU.CO– Dongeng Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang disampaikan Bung Karno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat membuat Bung Hatta kecewa.
Bung Hatta menyebutnya dongeng proklamasi karena ceritanya tidak sesuai dengan fakta yang terjadi saat itu. Buku itu ditulis oleh Cindy Adams dari hasil wawancara dengan Sukarno tahun 1966. Tahun di masa akhir kekuasaannya. Setelah proklamator ini mengalami pasang surut dinamika politik, konflik, dan peristiwa G30S/PKI yang menguras perasaan dan pikirannya selama memimpin negara.
Yang dipersoalkan Hatta narasi di halaman 331-332 yang bercerita suasana Proklamasi Kemerdekaan di rumah Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Bung Karno kepada Cindy Adams mendongeng, ”Sekarang, Bung, sekarang….!” Rakyat berteriak.
”Nyatakan sekarang…” Setiap orang berteriak kepadaku. ”Sekarang Bung…ucapkan pernyataan kemerdekaan sekarang ..ayo, Bung Karno, hari sudah tinggi, hari sudah mulai panas…” Rakyat sudah gelisah, rakyat sudah berkumpul. ”Ucapkanlah proklamasi.”
Badanku masih panas akan tetapi aku masih dapat mengendalikan diriku. Dalam suasana di mana setiap orang mendesakku, anehnya aku masih dapat berpikir dengan tenang.
”Hatta tidak ada,” kataku. ”Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada.”
Tidak ada orang yang berteriak,”Kami menghendaki Hatta.” Aku tidak memerlukannya. Sama seperti juga aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi. Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri, dan memang aku melakukannya sendirian.
Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada. Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Sukarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan pemimpin ini karena satu pertimbangan.
Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatra dan di hari-hari yang demikian itu aku memerlukan seorang dari Sumatra. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia. Dalam detik yang gawat dalam sejarah inilah Sukarno dan tanah air Indonesia menunggu kedatangan Hatta.
Ucapan Seorang Diktator
Menurut Bung Hatta seperti ditulis dalam buku Sekitar Proklamasi, itulah ucapan seorang diktator Sukarno yang mengagungkan dirinya sendiri dan lupa daratan. Berlainan sekali dari Sukarno dahulu, pemimpin rakyat di masa proklamasi dan sebelumnya.
Dia menuturkan, berangkat dari rumah menuju Pegangsaan Timur pukul 10 kurang 10 menit. Lima menit sudah sampai ke tempat proklamasi.
”Orang tahu bahwa saya selalu tepat waktu sebab itu tidak ada orang yang gelisah, takut kalau-kalau saya terlambat datang. Sukarno pun tidak kuatir karena ia tahu kebiasaan saya,” kata Hatta. ”Sebab itu lucu juga mendengar dongeng yang ditulis Sukarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat itu.”
Sukarno-Hatta dikenal sebagai pemimpin dwitunggal di masa perjuangan dan awal kemerdekaan. Tapi hubungan itu retak dengan mundurnya Hatta sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Hatta tidak sepakat dengan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yang diberlakukan Sukarno.
Menurut Hatta, praktik dwi tunggal merupakan kebulatan keduanya dalam memimpin perjuangan dan negara saling mendukung dalam pembuatan kebijakan dan tindakan. Banyak dokumen negara yang ditandatangani berdua.
Tapi jika salah seorang tidak ada di Jakarta maka tindakan dan keputusan yang dibuat salah satunya akan didukung oleh lainnya. Contoh, Hatta mengeluarkan Maklumat No. X ditandatangani sendiri karena Sukarno mendukung putusan KNIP berwenang sebagai badan legislatif dan pendirian partai politik. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto