Penumpang Gelap Hijrah mengisahkan orang-orang yang memanfaatkan momen revolusi untuk mencari kekuasaan bagi keuntungan sendiri.
PWMU.CO-Di saat pergolakan politik memuncak di Mekkah, Rasulullah memerintahkan kaum muslim hijrah ke Madinah. Baiat Aqabah menjadi jaminan pengikut Nabi diterima oleh warga Madinah.
Gelombang migrasi pun berlangsung dari orang-orang Islam yang tertindas di tanah kelahirannya berhijrah ke tanah harapan baru. Tanah yang menjadi persemaian kekuatan Islam.
Di antara kaum muhajirin yang mengungsi ini, ternyata ada penumpang gelap hijrah. Orang-orang yang mempunyai niat lain. Motif mencari keuntungan pribadi. Yaitu mengejar perempuan dan mencari pekerjaan.
Dia juga telah tiba di Madinah. Lelaki yang mengejar seorang janda bernama Ummu Qais. Dia berharap bisa menikahinya dan hidup di negeri hijrah.
Lelaki ini dilaporkan kepada Nabi Muhammad saw yang juga sudah datang ke Madinah. Mendengar laporan ini Rasulullah lantas berkata,
Sesungguhnya amal itu dengan niat. Dan sesungguhnya setiap orang mendapat apa yang diniatkan. Maka barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya sampai kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa berhijrah karena mencari keduniaan atau wanita yang hendak dinikahi maka hijrahnya mendapatkan apa yang diniatkan.
Begitulah. Di setiap peristiwa selalu ada orang yang ingin menjadi penumpang gelap. Memanfaatkan momen untuk mendapatkan keuntungan. Dia mengikuti arus. Di saat yang tepat dia ambil kesempatan untuk keuntungan dirinya.
Di zaman perjuangan Nabi menegakkan Islam, para penumpang gelap itu sudah menyelip di antara kaum muhajirin. Orang-orang seperti inilah jika tak disingkirkan bakal menjadi duri dalam daging. Ibaratnya menggunting dalam lipatan. Merusak keutuhan jamaah dan bisa melencengkan tujuan.
Revolusi Kedua
Dalam perjalanan Reformasi Indonesia tahun 1998 juga banyak terselip penumpang gelap. Orang-orang yang awalnya pendukung rezim Soeharto langsung berbalik berkhianat kepada tuannya lalu berbalik mendukung reformasi.
Sayangnya M Amien Rais yang menjadi tokoh sentral tidak menyingkirkan orang-orang munafik ini. Semua dirangkul dengan niat tulus demi keutuhan bangsa. Mereka diberi kedudukan. Tapi lambat laun merekalah yang membelokkan tujuan reformasi untuk kepentingan sendiri.
Amien Rais makin tersingkir ke pinggiran. Diolok-olok sebagai pecundang dan tukang rombeng yang tak laku oleh orang-orang yang dilahirkan dari rahim reformasi. Mereka yang awalnya bukan siapa-siapa, kini bisa menjadi penguasa. Revolusi memang kejam. Dia bisa memakan bapaknya sendiri.
Syaikh Said Hawa dalam bukunya Jundullah Tsaqafan wa Akhlaqan menjelaskan, revolusi selalu berjalan dalam dua tahap. Revolusi pertama, kaum intelektual menggalang kekuatan rakyat menjadi hizbullah untuk menghancurkan penguasa dholim.
Pengambilalihan kekuasaan akan memunculkan orang-orang munafik di antara teman dan anak-anak yang terlibat dalam revolusi. Orang-orang ini mencari untung dan menyebar fitnah. Kalau kondisi ini terjadi maka mau tak mau harus digalang revolusi kedua membasmi para munafik dan pengkhianat.
Kolonial Baru
Di Indonesia para munafik dan pengkhianat ini sudah mapan. Mengorupsi kekayaan dan kekuasaan negara. Menangkapi rakyat yang bersuara kritis.
Kondisi ini bakal mendorong gerakan revolusi kedua. Bakal muncul intelektual baru menggalang kekuatan rakyat menjadi hizbullah lagi. Melawan penguasa munafik dan pengkhianat. Untuk mengembalikan tujuan reformasi menyejahterakan rakyat.
Sebagaimana hijrah yang dilakukan Nabi. Di fase awal meleburkan kaum muhajirin dan anshar di Madinah dengan ikatan persaudaraan. Menciptakan tatanan masyarakat baru yang egaliter. Masyarakat tanpa membedakan ras, keturunan, warna kulit, kaya dan miskin.
Tatanan baru ini menjadi kekuatan besar yang mampu mengubah wajah dunia. Melawan penguasa dholim. Menciptakan kesejahteraan ekonomi di antara rakyatnya.
Hijrah sangat berbeda dengan migrasi orang Eropa ke benua Amerika untuk mencari emas. Juga berbeda dengan pelayaran orang Eropa ke Asia untuk menemukan kebun rempah-rempah. Migrasi orang Eropa itu menciptakan kolonisasi, eksploitasi, dan penindasan kapitalisme terhadap rakyat.
Pengkhianat Reformasi 1998 di negeri ini telah mengundang kapitalisme. Menciptakan kolonisasi asing atas nama investasi dan tenaga kerja. Membungkam suara rakyat dengan para buzzer dan aparat. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto