Nabi Hijrah ke Madinah, Umat Cemas Menunggunya datang. Sebab Nabi keluar dari Mekkah dikejar orang-orang kafir yang hendak membunuhnya.
PWMU.CO-Mendengar kabar bahwa Nabi hijrah meninggalkan Mekkah, kaum muslimin anshar dan muhajirin di Madinah begitu lepas shalat Subuh selalu menuju gerbang kota menantikan kedatangannya.
Hingga matahari naik yang ditunggu belum tampak. Mereka berteduh di bawah pohon, atau masuk ke rumah. Tapi mata dan telinga masih terus menyalang pada garis horizon. Berharap-harap ada sosok bayangan yang muncul.
Begitu terus yang dilakukan kaum muslimin beberapa hari dengan harap-harap cemas menunggu munculnya Rasulullah dari hijrah. Tiba-tiba seorang Yahudi dari loteng rumahnya berteriak keras.”Hai Bani Qailah (merujuk satu bani kaum anshar), orang yang kalian tunggu sudah datang…..”
Kontan saja teriakan itu membuat seluruh orang kampung keluar rumah langsung berlari menuju padang pasir. Begitu melihat ada bayangan penunggang unta di kejauhan, mengabaikan panas matahari mereka berlarian menyongsong Nabi hijrah meskipun jarak masih jauh.
Dua penunggang unta yang dituntun seorang pemandu itu kemudian berteduh di sebuah pohon kurma. Orang-orang langsung merubungnya.
Sebagian besar kaum anshar belum pernah mengenal Rasulullah sehingga belum tahu yang mana Abu Bakar dan mana Rasulullah. Saking banyaknya orang berkerumun sehingga pohon kurma itu tidak bisa menaungi Rasulullah lagi.
Melihat situasi itu satu di antara penunggang unta kemudian melepas jubahnya dan menaungi temannya. Baru dari situ kaum anshar tahu orang yang dinaungi itu adalah Rasulullah dan yang menaungi Abu Bakar.
Menengok Rumah Penampungan
Mereka lantas beramai-ramai mengiringi Rasulullah dan Abu Bakar berjalan memasuki desa Quba. Dalam Nabi hijrah ini menyempatkan singgah di beberapa rumah yang menampung sahabat muhajirin.
Mula-mula menengok rumah Kultsum bin Hidam. Kemudian keluar lagi menuju rumah Sa’ad bin Khaitsamah yang menampung muhajirin bujangan. Di desa Bani Amr bin Auf ini Rasulullah menetap beberapa hari. Dalam Nabi hijrah ini sempat membangun masjid kecil untuk shalat berjamaah. Masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Quba.
Rasulullah kemudian keluar dari desa itu disertai kaum muhajirin dan anshar menuju kota Yatsrib pada hari Jumat. Saat tiba di perkampungan milik Bani Salim bin Auf waktu sudah memasuki Duhur sehingga Rasulullah mengajak shalat Jumat.
Tempatnya shalat di sebuah lembah bernama Ranuna. Ini shalat Jumat pertama yang dilakukan di awal pertama hijrah. Kaum anshar dan muhajirin berkumpul untuk shalat berjamaah siang itu.
Pilihan Unta
Usai shalat, utusan kabilah-kabilah menyambut kedatangan Nabi hijrah dengan suka cita. Pertama kali datang adalah Utbah bin Malik bersama kaumnya dari Bani Salim bin Auf. Mereka meminta Rasulullah menetap di desanya.
”Wahai Rasulullah, menetaplah di tempat kami yang banyak penduduknya, lengkap peralatan perangnya dan terlindungi.”
Rasulullah menjelaskan, dirinya akan tinggal di tempat unta itu berhenti. ”Biarlah unta ini bebas berjalan karena dia diperintah,” kata Rasulullah.
Orang-orang Bani Salim pun membiarkan unta yang ditunggangi Rasulullah itu berjalan terus keluar kampung hingga pupuslah harapan warga setempat tinggal satu kampung bersama Rasulullah.
Kemudian unta melewati permukiman Bani Bayadhah. Orang-orang setempat pun menghentikan Rasulullah dan meminta menetap di situ dengan jaminan banyak penduduknya, lengkap peralatan perang dan desanya terlindungi. Tapi Rasulullah mengatakan terserah dimana untanya berhenti, di situ akan tinggal.
Mereka pun melepaskan unta Rasulullah hingga terus keluar kampung menuju permukiman Bani Saidah. Warga setempat pun menghentikan Rasulullah dengan harapan yang sama. Namun Rasulullah menjawab, biarkan unta ini bebas berjalan karena dia diperintah.
Unta itu terus saja berjalan hingga melewati desa Bani Al Harits. Masih terus berjalan melintasi permukiman Bani Adi bin Najjar, tempat tinggal paman-paman Nabi dari garis ibu.
Di setiap desa yang dilewati, warga setempat selalu menghentikan dan meminta Rasulullah agar memilih kampungnya sebagai tempat tinggal. Tapi Rasulullah mengatakan tidak berhenti sampai untanya berhenti. ”Biarkan unta ini berjalan karena dia diperintah,” jawabnya.
Hingga sampailah unta memasuki kampung Bani Malik bin Najjar. Tiba-tiba saja unta itu berhenti lalu duduk di tanah tempat penjemuran kurma. Rasulullah masih diam di atas pelananya. Ternyata unta itu bangkit lagi dan berjalan pelan.
Tidak seberapa jauh unta menoleh ke belakang lalu kembali lagi ke tempat semula. Berdiri tenang kemudian merebahkan diri dan tidak bangkit lagi. Melihat itu warga kampung Bani Malik bin Najjar bersorak girang karena kampungnya terpilih menjadi rumah Rasulullah.
Membangun Rumah dan Masjid
Rasulullah segera turun dari punggung unta lalu bertanya, tanah penjemuran kurma itu milik siapa. Muadz bin Afra, warga setempat, menerangkan, tanah itu milik dua anak yatim Sahl dan Suhail yang masih kerabatnya dan berada dalam asuhannya.
”Saya akan meminta kerelaan keduanya agar mau melepaskan tanah itu sebagai rumah Rasulullah dan masjid,” jawab Muadz.
Kaum anshar dan muhajirin kemudian bergotong royong membangun masjid dan rumah Rasulullah. Di tanah itu terdapat beberapa pohon kurma dan kuburan. Pohon kurma lantas ditebang dan batangnya dijadikan tiang masjid. Kuburan pun dipindahkan ke tempat lain.
Selama pembangunan berlangsung, Rasulullah tinggal sementara di rumah Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Rumah Abu Ayyub bertingkat dua. Tapi Rasulullah memilih tidur di lantai bawah. Tentu saja Abu Ayyub menjadi sungkan karena tidur berada di atas Rasulullah.
”Ya Nabi Allah, sesungguhnya aku sungkan berada di atasmu dan engkau di bawahku. Silakan engkau di lantai atas dan aku pindah di bawah,” kata Abu Ayyub.
Rasulullah berujar,”Hai Abu Ayyub, sambutan terbaik terhadap kami dan orang-orang bersama kami adalah kami berada di lantai bawah.”
Tentu saja situasi ini membuat Abu Ayyub dan istrinya sangat kikuk terhadap Rasulullah. Suatu ketika guci air di loteng pecah. Cepat-cepat Abu Ayyub mengambil selimut satu-satunya untuk mengelap air agar tidak menetes mengenai Rasulullah. Karena selimut basah, Abu Ayyub dan istrinya tidur tanpa selimut. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto