Mazhab Sutorejo ‘Padhang Wetan’, ditulis oleh Sholikh Al-Huda, Pengiat Majelis ‘Sinau'” Padhang Wetan UMSurabaya.
PWMU.CO – Majelis Sinau ‘Padhang Wetan’ merupakan wadah kesadaran kultural dan keilmuan yang lahir dari proses dialog, kegelisahan, dan kesadaran para dosen dan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya).
Yakni terhadap pentingnya membangun karakter moderasi dalam tradisi keilmuan, kultur keagamaan, dan pola kebangsaan di Indonesia yang diambil dari sumber nilai-nilai moderasi Muhammadiyah.
Majelis ini diinisiasi oleh para dosen UMSurabaya di antaranya Gus Rahmat, Gus Maulana, Kang Aris Setiawan (almarhum), Cak Charis, Cak Wahid, Cak Shohib. Juga Cak Haqiqi, Cak Fitroh, Pak Yarno, dr. Reza, Kang Panji, Gus Ruhul, Gus Mujib, Cak Mahmud, Gus Fajar, Cak Mukayat, Bu Imtah, Gus Mulyono dan lainnya.
Adapun tempat sinaunya di kampus UMSurabaya Jalan Sutorejo Kecamatan Mulyorejo Surabaya setiap bulan pekan keempat.
Majelis ‘Sinau” Padhang Wetan ingin membangun peradaban masyarakat untuk cinta terhadap keilmuan dalam rangka membangun peradaban iqra di Indonesia terutama di lingkungan Muhammadiyah.
Pembangunan kesadaran cinta sinau untuk mengembangkan tradisi keilmuan menjadi sangat penting dan strategis di kalangan umat Islam Indonesia terutama warga Muhammadiyah.
Sehingga untuk mewujudkan tradisi tersebut dibutuhkan bangunan kesadaran yang kuat dan utuh bagi para penggiatnya terlebih dahulu. Maka jika tradisi itu terwujud harapannya terbangun spirit kultur iqra yang membudaya dalam majelis ini. Kemudian diharapkan merembas ke Muhammadiyah dan bermuara ke umat Islam Indonesia.
Noto Tiga Kesadaran
Ada beberapa kesadaran yang dijadikan landasan filosofis-teologis Majelis “Sinau” Padhang Wetan.
Pertama, kesadaran teologis noto ati yang bermula dari inna ma ‘amalu bi an-niyat. Sesungguhnya semua perbuatan manusia tergantung dari niatnya, yang terletak didalam hati.
Noto Ati merupakan penataan kesadaran niat yang bersumber dari nilai keislaman. Bahwa tujuan akhir dari semua perbuatan Muslim adalah bermuara pada ridha Allah SWT (mardhatillah).
Artinya semua pergerakan yang dilakukan oleh pengiat komunitas ini bertujuan ibadah dalam rangka mendapatkan keridhaan Allah SWT. Sebagai wujud dari investasi kebaikan akhirat.
Kedua, kesadaran filosofis noto pikir. Sebuah kesadaran seorang Muslim akan kewajiban selalu sinau iqra dan mencintai ilmu. Kesadaran ini terinspirasi wahyu pertama yaitu Surat Al-Alaq 1-5.
Karena itu prinsip yang dipegang oleh pengiat adalah membaca, diskusi, dan riset. Ketiganya adalah tradisi yang harus terus dipelihara dalam komunitas.
Ketiga, kesadaran akhlak noto laku. Sebuah kesadaran tertinggi untuk selalu berusaha membangun prilaku kebaikan dimanapun, kapanpun, dengan siapapun tanpa pandang suku, agama, ras, dan golongan (SARA).
Dengan prinsip fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) maka komitmen yang dibangun penggiat Majelis “Sinau” Padhang Wetan adalah jangan malu berbuat baik dan tanam terus kebaikan.
Pentingnya Ilmu
Mengapa membangun tradisi dan kultur keilmuan menjadi sangat penting di kalangan umat Islam, terutama warga Muhammadiyah?
Dalam kitab Mawa’iz Al- Usfuriyah dikutip oleh Abu Bakar Aceh, dijelaskan dialog antara Ali ibn Abi Thalib dengan seorang sahabat terkait keutamaan ilmu.
Kata Ali ibn Thalib, ilmu itu pusaka para nabi dan rasul. Ilmu akan memelihara kehidupan di dunia dan akherat. Ilmu menyebabkan banyak teman. Ilmu, semakin dikeluarkan semakin bertambah.
Orang berilmu selalu dipangil secara mulia. Ilmu tidak ada pencurinya. Orang berilmu diberi syafaat di hari kiamat. Ilmu tidak akan habis walau tidak ditambah. Ilmu membuat hati terang benderang, harta sering membuat hati gelisah.
Moderasi Muhammadiyah
Adapun nilai-nilai moderasi Muhammadiyah adalah karakter dasar bahwa Islam merupakan rahmat bagi semua alam yang penuh damai dan seimbang.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir, moderasi Islam berarti membumikan Islam sebagai ajaran yang moderat untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Banga Indonesia sanagt moderat. Hal itu terpotret dari realitas kemajemukan SARA yang kemudian berkonsensus melahirkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.
Pancasila menjadi titik temu semua ideolog, paham, dan orientasi semua komponen bangsa Indonesia. Modal dasar Pancasila ini menjadi kekuatan untuk merancang Indonesia dan ke Indonesian yang moderat dengan cara moderat.
Sementara, menurut Prof Din Syamsuddin, prinsip jalan tengah Islam (wasathiyah) yang menjadikan umat Islam sebagai umat tengahan (umatan wasthan) menekankan prinsip keseimbangan, toleransi, moderasi antiekstrimisme.
Begitu pula Pancasila adalah ideologi jalan tengahan. Posisi tengahan merupakan nilai keseimbangan antara orientasi ketuhanan dan kemanusiaan.
Nilai-nilai moderasi yang dibangun oleh Muhammadiyah tersebut dijadikan landasan oleh Majelis “Sinau Padhang” Wetan untuk menyemai dan menyebarkan gagasan dan gerakan moderasi di tengah masyarakat Indonesia.
Empat Agenda Padhang Wetan
Untuk membangun sikap moderasi itu, ada empat agenda besar Majelis “Sinau” Padhang Wetan.
Pertama, moderasi pemikiran keislaman. Sebuah kesadaran yang ingin mengembalikan kembali kajian-kajian keislaman secara terbuka. Dengan keseimbangan pendekatan metodologi antara keilmuan klasik dan kontemporer.
Hal ini menjadi penting di tengah penggiringan pemikiran Islam pada wilayah ideologi dan metodologi homogenitas-tekstualis. Sehingga mudah terjebak pada pengkultusan dan penyempitan kebenaran mutlak pada sebuah mazhab pemikiran Islam.
Situasi tersebut berbahaya bagi perkembangan pemikiran Islam dan muda terjatuh pada stagnasi dan kejumudan.
Kedua, moderasi kultur keagamaan. Sebuah kesadaran yang ingin membangun kehidupan keagamaan yang inklusif penuh kedamaian dan keseimbangan. Ini sangat penting di tengah arus kehidupan beragama yang saling ‘mengeras’, intoleran penuh konflik antar umat beragama di Indonesia.
Kondisi ini tentu sangat berbahaya bagi kelangsung kehidupan keagamaan yang majemuk. Sehingga diperlukan bangunan kultur moderasi keagamaan di Indonesia untuk keutuhan persatuan Indonesia.
Menjaga Pancasila
Ketiga, moderasi pola kebangsaan. Sebuah kesadaran yang ingin menjaga rumah besar Indonesia yang damai, toleran, nyaman, keseimbangan hak-kewajiban di bawah ideologi Pancasila.
Pancasila adalah ideologi final dan tengahan. Perekat dari semua elemen kebangsaan majemuk yang disepakati sebagai konsensus ideologi bernegara dalam kehidupan berbangsa.
Ini menjadi sangat penting di tengah maraknya sekelompok masyarakat yang berusaha ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, serta gerakan separatisme dan disintegarsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Keempat, moderasi kemuhammadiyahan. Sebuah kesadaran yang ingin menjaga ideologi dan paham moderasi keagamaan Muhammadiyah dari infiltrasi ideologi kelompok lain.
Juga mengembangkan tradisi keilmuan dalam rangka merawat ideologi pembaharuan (tajdid) yang hampir hilang. Hal ini sangat strategis di tengah arus maraknya gerakan inflitrasi ideologi radikal ke Muhammadiyah dengan beragam jalur.
Juga di tengah mengerasnya arus pemikiran keislaman di Muhammadiyah, sehingga hampir hilang elemen penting ideologi tajdid yang terbuka dan berdasar keilmuan, bergeser pada pola kejumudan dan ketertutupan khazanah pemikiran Islam.
Keempat moderasi itulah yang kemudian kita sebut dengan Mazhab Sutorejo, sebagai ijtihad yang ingin menyuburkan tradisi dan khazanah pemikiran dan sikap moderasi di kalangan umat Islam Indonesia terutama di Muhammadiyah.
Adapun kebenaran sejati hanya milik Allah SWT, adapun kita hanyalah berusaha menemukan kebenaran sejati. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni