Ulama Salaf Tajam Pena, Mubaligh Hanya Tajam Bicara tulisan Nurbani Yusuf, pengasuh pengajian Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Peradaban dibangun oleh budaya baca. Literat. Bukan pidato dan ceramah di panggung sambil jari menunjuk berharap aplaus. Lebih serem lagi, ngaku failasuf produksinya meme.
Peradaban Yunani kuno dibangun oleh kecerdasan Aristoteles, Socrates, Plato dkk. Buah pikirnya masih terus relevan. Demokrasi, Moobcrasi, Republik, Monarki, Oligarki, Diktatur, Gladiator, Zoon Politicon, dan lainnya. Ini adalah pikiran-pikiran bening yang terus diulang-ulang hingga hari ini karena tidak kehilangan relevansi.
Mereka adalah para pemikir, failasuf yang tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan. Tradisi baca tulis pada masa Yunani sungguh menakjubkan. Para failasuf itu layaknya nabi atau suluh yang mencerahkan. Dari para failasuf itulah peradaban modern berpijak.
Berbeda dengan tradisi Yunani Kuno, peradaban Microsoft sekarang justru sebaliknya. Walter J. Ong, penulis buku, Literaty and Orality, menyebut, kelisanan primer (primer orality) adalah peradaban paling bawah. Meski hidup dalam zaman Revolusi Microsoft tapi tetap saja menggunakannya sebagai bahasa cakap.
Tradisi share dan copas justru lebih mengemuka dibanding tradisi baca (iqra) dan tulis (qalam) sebagaimana diajarkan Islam. Tradisi baca dan tulis melahirkan peradaban. Tradisi copas dan share melahirkan kawanan hoax.
Menulis Kitab
Ulama salaf adalah para cendekiawan. Penulis dan pembaca yang baik. Mereka biasa berjam-jam dan berlama-lama di pespustakaan melakukan riset, tahqiq, mensyarah hingga menterjemah.
Ulama salaf menghasilkan kitab bukan meme. Setidaknya artikel, manuskrip atau suhuf yang dikodifikasi menjadi kitab. Ada ratusan kitab dan syarh lahir dari buah pikir ulama-ulama terdahulu, ulama mutaqodimin. Dari tulisan-tulisan merekalah peradaban Islam dibangun.
Kita mengenal ulama-ulama salaf dari tiga generasi emas pertama karena karyanya. Semisal Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit. Kemudian generasi Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Ghazali, Abu Hasan al Asyari, al Hasan Bashri, Nafi bin Hurmuz. Mereka disebut ada karena tulisannya bukan dari pidatonya. Kita bisa bayangkan, tanpa karya mereka entah darimana kita mengenal Islam.
Para ulama salaf mewakafkan dirinya menjadi bagian peradaban Islam mulia. Mereka tercerahkan (rausyanfikir) dengan tradisi literasi yang kokoh sebagai pusat episentrum kemajuan.
Para ulama salaf memberikan uswah tentang tradisi membaca dan menulis. Terbuka dan inklusif terhadap perubahan dan dinamika. Tidak taqlid dan fanatik buta pada masyayikhnya saja. Tradisi inilah yang menjadikan masa salaf menjadi generasi emas. Generasi teladan sebagai sumber moral dan etik.
Sebatas Orator
Kesalafan tidak dibangun sebatas simbol pakaian atau atribut, hanya agar bisa berlagak salaf. Perilaku nyalaf atau salafi hanyalah simbol bukan substansi.
Jargon salaf kembali pada al-Quran dan as-Sunah adalah kekokohan akademik, kekuatan literasi dan karya nyata sebagai bukti amal saleh. Puluhan perpustakaan, pusat riset dan nizamiyah kokoh berdiri menjadi bukti kerja keras para ulama salaf yang serius dan sungguh-sungguh.
Para salaf juga akrab dengan pikiran-pikiran dunia luar. Bahkan banyak menerjemahkan karya-karya failasuf Yunani. Mereka berdiskusi, memberi catatan, mentahqiq dan memberi syarh.
Tradisi ini kemudian menghilang dan berubah menjadi tradisi lisan dan visual yang rendah oleh para mubaligh. Hanya semacam kawanan orator yang sedang lomba pidato tapi miskin literasi. Maka betapapun ribuan atau jutaan aplaus yang didapat hanya riuh seperti buih tanpa bekas.
Dalam sebuah narasi yang bagus Buya Hamka bertutur indah.
Lapangan siasat bukan medanku
aku dikenal seorang pujangga
yang bersayap terbanglah laju.
Aku kan tetap pahlawan pena (*)
Editor Sugeng Purwanto