Politik Vaksin, Rakyat Jadi Taruhan, kolom ditulis oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Temuan obat Covid 19 yang diumumkan Unair bersamaan dengan HUT Ke-75 RI seharusnya menjadi kabar yang disambut gembira di seluruh Indonesia.
Obat hasil racikan tim Unair yang disponsori oleh TNI AD dan BIN (Badan Intelijen Negara) itu juga disebut sebagai temuan pertama di dunia.
Tapi, alih-alih disambut gembira, Unair malah dihujani reaksi kritis dari penjuru negeri, baik dari kalangan sesama kampus maupun kalangan ahli pandemi.
Klaim Unair yang menyebut telah menemukan obat Covid 19 pertama di dunia jadi pertanyaan. Prosedur penelitian yang dianggap belum memenuhi standar ilmiah juga memantik pertanyaan.
Racikan Unair itu sudah diuji coba di asrama Secapa (Sekolah Calon Perwira) AD Bandung selama hampir sebulan sejak 7 Juli sampai 4 Agustus. Di asrama itu pula, kekira sebulan sebelumnya, secara misterius diumumkan munculnya klaster baru penularan Covid 19 yang menjangkiti 1.200 calon perwira.
Tim Unair Dipimpin Ahli Stem Cell
TNI AD dan BIN melakukan gerak cepat dengan mengontak tim Unair yang segera mengirim tim di bawah Dr Purwati, yang selama ini dikenal sebagai dokter ahli stem cell yang mengepalai unit pengembangan stem cell Unair.
Dr Purwati melakukan penelitian intensif di Secapa dengan mengujicobakan beberapa kombinasi obat, yaitu Lopinavir, Ritonavir dipadukan dengan Azithromycin. Kombinasi kedua adalah Lopinavir, Ritonavir dikombinasikan dengan Doxycycline, dan kombinasi ketiga adalah Hydrocloroquine dengan Azythromycin.
Kombinasi-kombinasi itu secara ajaib bisa menyembuhkan lebih dari seribu pasien di Secapa, dengan level penyakit yang bervariasi. Mulai yang ringan sampai berat. Tentu ini sebuah penemuan bersejarah yang sangat penting.
Dr Purwati dan tim kembali dari Bandung pada 4 Agustus, dan langsung ngebut menyelesaikan laporan untuk diserahkan kepada TNI AD dan BIN sebagai sponsor penelitian. Tidak tanggung-tanggung, KSAD Jenderal Andika Perkasa mengawasi langsung proses penelitian sejak di Secapa sampai saat pengumuman di Mabes TNI AD (15/8/2020).
Selang waktu yang hanya 11 hari ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai prosedur penelitian. Tapi Rektor Unair Prof Mohammad Nasih dengan pede mengatakan bahwa ini bukan proyek bikin tahu goreng yang bisa dilakukan dengan jalan pintas. Semua prosedur dan standar sudah dijalani. Begitu kata Nasih.
Tak menunggu lama, gelombang serangan muncul dari berbagai arah. Dan Unair pun kewalahan menangkis pelbagai serangan itu. Data-data penelitian yang semula ditampilkan di laman TNI AD menghilang di-take down, sehingga info lengkap tidak tersedia.
Dalam jeda waktu yang mepet sulit bagi Dr Purwati dan tim untuk menyempurnakan laporan penelitian, termasuk memublikasikannya di jurnal ilmiah klasifikasi Q untuk mendapatkan peer review.
Campur Tangan Politik
Tapi, rupanya ada campur tangan politik yang kuat yang menyebabkan proyek ini menjadi lahir prematur. Seharusnya proyek ini bisa melahirkan “Obat Merah Putih” untuk menyembuhkan Covid 19. Tapi tekanan politik menjadikan proyek ini terjebak kontroversi dan harus mundur beberapa langkah untuk menyempurnakan prosedur.
Campur tangan politik dalam upaya penanganan pandemi ini hal yang jamak terjadi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, Presiden Trump selalu berusaha melakukan intervensi politik. Mulai dari penetapan lockdown, pelaporan jumlah terjangkit, sampai proses penemuan vaksin maupun obat Covid 19.
Trump menjadi presiden yang paling keras campur tangannya terhadap tim penanganan Covid 19 yang dipimpin oleh Dr Anthony Fauci—yang disebut-sebut sebagai suhu dalam penanganan penyakit menular.
Reputasi Fauci di Amerika tidak ada duanya. Pun di dunia Fauci diakui kehebatannya. Toh begitu Trump hampir selalu menyangkal saran-saran Fauci. Untungnya Fauci, yang berbadan mungil, tidak takut menghadapi Trump yang bongsor. Berkali-lali Fauci menegaskan tidak akan tunduk terhadap tekanan politik Trump, dan tetap akan konsisten menerapkan standar kesehatan.
Contoh Amerika Serikat
Campur tangan politik dan perselisihan Trump dengan tim kesehatan menjadikan penanganan pandemi di Amerika tidak efektif. Dan Amerika menjadi negara dengan jumlah kasus tertinggi di dunia dengan 5,5 juta kasus dan 175 ribu korban meninggal.
Trump secara terbuka menyarankan orang untuk mengonsumsi Hydrocloroquine untuk mengusir Covid 19. Ia mengaku tiap hari mengonsumsinya, meskipun WHO tidak merekomendasikan obat itu. Trump bahkan menyarankan orang agar suntik deterjen untuk mencegah penularan Covid 19. Sontak para ahli medis menolak saran Trump dan menyebutnya sangat berbahaya.
Tentu Trump tidak sembarangan mengonsumsi obat. Tim dokter kepresidenan Amerika pasti sudah mempunyai standar tinggi untuk menjaga keselamatan dan kesehatan presidennya. Karena itu, diam-diam sebagian dokter menyetujui tindakan Trump yang mengonsumsi Hydrocloroquinne.
Dr Purwati termasuk yang setuju dengan pemakaian Hydrocloroquine, dan menerapkannya dalam penelitiannya di Secapa. Dan hasilnya relatif positif.
Terlepas dari beberapa kealpaan, temuan Dr Purwati layak diapresiasi sebagai sebuah invovasi. Dalam standar ilmiah inovasi bisa dibangun melalui “hybridization of ideas” (hibridisasi beberapa gagasan). Yaitu mengombinasikan temuan-temuan yang sudah ada menjadi pola baru yang lebih inovatif. Prof Martin Weitzman dari Harvard menyebutnya “Recombinant Growth“.
Hydrocloroquine vs Cloroquine
Tiongkok termasuk negara yang keras menolak pemakaian Hydrocloroquine untuk Covid 19. Sebaliknya Tiongkok mengendorse pemakaian Cloroquine—yang selama ini dipakai untuk menyembuhkan malaria—untuk mengobati Covid 19. Ilmuwan top Tiongkok Prof Zhang Nanshan tegas menolak Hydrocloroquine dan menyarankan Cloroquine sebagai pengganti.
Tiongkok merekomendasikan kombinasi Lopinavir, Ritonavir, dan Ribavirin. Juga menyetujui paduan Interferon dan Arbidol.
Tiongkok juga menolak merekomendasi pemakaian Remdesivir yang dikembangkan oleh Amerika, yang selama ini dianggap manjur menyembuhkan Covid 19. Remdesivir dipakai luas di Amerika, Eropa, dan Hongkong.
Sebagai bagian perang dagang Amerika vs Tiongkok, sangat mungkin Remdesivir akan secepatnya dilarang di Hongkong.
Tiongkok juga tidak merekomendasikan Dexamethasone yang dikembangkan oleh Universitas Oxford dan sudah terbukti mencegah kematian pasien parah Covid 19.
Perang dagang ini akan mengimbas ke Indonesia. Penelitian Unair memang tidak ada urusan dengan Tiongkok. Tapi imbas perang dagang akan membawa dampak politik, akankah Indonesia berani menentang Tiongkok dengan memproduksi obat racikan Unair yang mengandung Hydrocloroquine.
Vaksin Merah Putih asal Tiongkok
Sekarang Indonesia tengah mengujicobakan vaksin anti-Covid 19 buatan Tiongkok. Menarik untuk dilihat bagaimana obat anti Covid “made in Unair”, yang nota bene ditolak Tiongkok, beredar di pasaran bersanding dengan vaksin “made in China”.
Presiden Jokowi beberapa kali menyebut proyek vaksin ini sebagai proyek “Vaksin Merah Putih” yang ditarget siap sebelum akhir tahun. Dibanding dengan “Obat Merah Putih” Unair, “Vaksin Merah Putih” ini juga tidak kalah kontroversial.
Ujicoba klinis tahap tiga yang sekarang tengah dilakukan di Indonesia memicu kontroversi. Pemerintah dianggap tidak cukup memberi informasi mengenai risiko yang dihadapi para relawan.
Vaksin buatan Sinovac, Tiongkok, ini diujicobakan di Indonesia, Brazil, Bangladesh, dan Uni Emirat Arab, tapi tidak diujicoba di Tiongkok. Hal ini memantik tanda tanya.
Komunitas internasional menyebut Tiongkok dan Rusia sebagai negara yang pragmatis dan berisiko tinggi dalam upaya memenangkan lomba penemuan vaksin.
Beberapa hari yang lalu Rusia mengumumkan penemuan vaksin anti Covid 19 yang sudah siap edar. Presiden Putin mengatakan putri kandungnya sudah mendapatkan suntikan vaksin itu. Presiden Filipina Rodrigo Duterte dengan takzim mengatakan siap disuntik vaksin itu dan siap mengedarkannya di Filipina.
Vaksin yang dinamai Sputnik V itu mengingatkan kenangan lomba senjata era Perang Dingin. Sikap megalomania para politisi bisa membahayakan nyawa rakyat.
Di Indonesua, tekanan politik agar vaksin siap edar sebelum akhir tahun juga membawa risiko yang mengkhawatirkan. Jalan pintas akan diambil untuk memenuhi desakan politik itu.
Nyawa rakyat akan jadi taruhan. (*)
Politik Vaksin, Rakyat Jadi Taruhan; Editor Mohammad Nurfatoni.