Ironi Penjual Sayur di Kantor Bappeda, kolom ditulis oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Pagi itu posisi matahari sudah setinggi penggalah. Sinarnya menerobos celah jendela rumah-rumah warga dan kantor pemerintah. Seorang ibu setengah baya, duduk di trap depan pintu Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Di salah satu daerah.
Dengan raut muka yang kurang bergembira, ia menjaga aneka sayur mentah yang digelar di sekitar tempat duduknya. Ia pandangi setiap pegawai dan tamu yang lalu lalang di depannya. Hingga tempo yang sangat lama, tak seorang pun membeli barang dagangannya. Bahkan sekadar menawar jualannya pun tak ada.
Pemandangan ini mengundang perhatian serombongan tamu dari Surabaya. Mereka pun berhenti sejenak untuk mengamatinya. Dengan rasa iba, para tamu itu bergumam: kasihan ya!
Jadi Topik Diskusi
Disuksi kecil pun terjadi setelahnya. Topiknya dua, yaitu tentang nasib si ibu yang tidak laku dagangannya. Juga tentang protokol kantor pemerintah, yang bisa digunakan untuk jualan di depan pintu masuknya.
Sebagian anggota rombongan lantas melakukan analisis bak seorang peneliti ilmiah. “Boleh jadi kesedihan ibu pedagang sayur tadi mewakili sekian juta kaum wanita Indonesia, yang di tengah pandemi ini sangat tidak menentu nasib ekonominya,” kata salah seorang dari mereka.
Yang lain menimpalinya. “Ya, ada jutaan wanita Indonesia, yang menggantungkan nasibnya dengan cara serupa, karena suaminya baru saja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), akibat pademi virus Corona.”
Meski ada pula yang menilai dari aspek teknisnya semata. “Ah… itu karena keliru tempat berjualannya saja,” komentar lainnya.
Entahlah, realitasnya ada seorang ibu dibiarkan berjualan di depan pintu kantor Bappeda dan tidak ada yang peduli padanya.
Tidak kalah menariknya, komentar tentang protokol di kantor Bappeda. “Kok bisa ya, di depan pintu masuk kantor dipakai jualan oleh pedagang kaki lima?” ucap sebagian tamu bernada tanya: “Apa tidak ada aturannya?”
“Malah kalau di Pemprov biasanya ada orang yang jualan makanan masuk ruang-ruang kerja,” kata salah seorang yang barusan purna kerja. “Tapi di Pemprov kan tidak beber dagangan berupa barang mentah,” sahut kawannya.
Ketika para tamu sudah berhenti mendiskusikannya, si ibu tetap jualan tanpa ada pembelinya. Seiring matahari terus meninggi posisinya, si ibu mulai ngringkesi barang dagangannya. Kemudian dibawa pergi entah ke mana.
Kita juga tidak tahu bagaimana hari itu sang ibu bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Juga hari-hari lain esoknya. Sisa-sisa pertanyaan itu terus menggelayuti semua tamu yang melihatnya.
Nasib Ironis di Kantor Bappeda
Nasib ironis sang ibu justru terjadi di depan kantor pemerintah. Tempat merancang dan merencanakan pembangunan daerah, dengan dalih untuk kesejahteraan warganya. Saat para perancang dan penguasanya sudah sangat sejahtera, warga masyarakat seperti sang ibu yang sangat banyak jumlahnya. Tetap tidak berubah nasibnya.
Pertanyaannya, benarkah perencanaan pembangunan daerah itu diperuntukkan bagi kesejahteraan semua warga masyarakatnya? Ataukah untuk kepentingan segelintir orang yang punya akses ekonomi dan kekuasaan saja?
Kalau benar untuk kepentingan rakyatnya, mestinya elegi sang ibu tadi tidak pernah ada. Mereka telah lama merindukan bisa merdeka, dari kemiskinan dan penjajahan lainnya. Di kala anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terus naik jumlahnya, siapakah yang menikmatinya?
Mungkin yang bisa menjawab adalah para kandidat yang mau maju dalam Pilkada. Mereka biasanya punya janji-janji manis pada calon pemilihnya. Coba deh persoalan tadi masukkan dalam visi misi untuk merayu kaum ibu yang sangat banyak jumlahnya.
Mengeksploitasi keadaan untuk kontestasi Pilkada, itu sah-sah saja. Asalkan setelah terpilih nanti benar-benar mewujudkan janjinya. Bukan pemberi harapan palsu (PHP) belaka. Karena ingatlah, mem-PHP rakyat itu sakitnya bukan hanya di sini tapi di mana-mana. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.