PWMU.CO – Muhammadiyah bukan Dahlaniyah. Yakni ajaran KH Ahmad Dahlan. Di Muhammadiyah yang dibangun bukan fanatisme tokoh, tetapi organisasinya.
Demikian pesan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Nadjib Hamid MSi, dalam Sekolah Ideologi Kader Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jatim yang digelar virtual via Zoom, Sabtu (23/8/20).
Menurut Nadjib, awal Muhammadiyah berdiri di masa penjajahan, fokus awal bagi gerakan Muhammadiyah adalah pendidikan dan pelayanan sosial. “Karena cara-cara itu dianggap sebagai media paling efektif untuk melawan penjajahan. Asumsinya adalah kalau masyarakat itu cerdas, pintar, sehat, dan sejahtera, maka bisa lebih gampang diajak berjuang,” ujarnya.
Nadjib lalu melanjutkan, tidak mungkin waktu awal berdirinya Muhammadiyah langsung menyatakan diri sebagai gerakan politik. “Karena akan berhadapan dengan penguasa penjajah yang kita tahu sangat kejam. Semua yang melawan bisa diberangus. Itulah strategi awal Muhammadiyah ketika didirikan,” tutur dia.
Bahkan termasuk, kata Nadjib, Muhammadiyah sejatinya di awal berdirinya juga tidak fokus pada persoalan-persoalan ibadah mahdhah. “Tetapi pikiran Muhammadiyah pada ibadah dan muamalah itu sudah melampaui zamannya, itu iya,” ungkapnya.
Dalam dokumen sejarah perjuangannya, sambung dia, Kiai Dahlan tidak fokus pada persoalan-persoalan khilafiyah. Tetapi lebih kepada membangun solidaritas bangsa yang mencerdaskan dan menyejahterakan. “Karena itu yang dibangun pertama adalah lembaga pendidikan, panti asuhan, rumah sakit, bukan partai politik,” kata Nadjib.
Mas Mansyur sang Ideolog
Karena dinamika di negeri ini begitu kuatnya, tutur Nadjib, Muhammadiyah tidak boleh hilang atau terberangus oleh dinamika yang ada di negeri ini semata. Maka, sejatinya sejak KH Mas Mansyur itu sudah ada khittah perjuangan yang dirumuskan dengan Langkah Dua Belas.
“Tapi orang lebih sering tidak menyebutnya itu sebagai khittah perjuangan. Mas Mansyur itu disebut sebagai ideolog Muhammadiyah, yang membangun budaya organisasi adalah Mas Mansyur. Luar biasa beliau, pikiran-pikirannya memang sangat cemerlang,” papar Nadjib.
Bahkan saat periode Mas Mansyur terlibat dan belum menjadi pimpinan, ungkap Nadjib, Mas Mansyur-lah yang mengusulkan pentingnya Majelis Tarjih pada tahun 1927. Itulah yang kemudian, soal-soal yang berhubungan dengan ibadah mahdhah ditata dan ditertibkan.
“Jadi kalau misalnya ada gosip, fitnah, atau apa saja yang mengatakan Kiai Dahlan sejatinya penganut paham keagamaan tradisional. Shalatnya pakai qunut, tarawihnya berjumlah 23 rakaat, maka bisa saja itu terjadi,” jelas dia.
Karena pada saat itu, ungkap Nadjib, Kiai Dahlan tidak fokus pada aspek khilafiyah. “Tetapi tidak bisa dikatakan, pelanjutnya pengikutnya itu dianggap melawan atau melanggar pendiri Muhammadiyah. Karena di Muhammadiyah, yang dibangun bukan fanatisme tokoh, tetapi organisasinya. Pikiran-pikiran yang tercermin dan menjadi keputusan organisasi itulah yang menjadi pegangan bersama,” terang Nadjib.
Karenanya kemudian, lanjut dia, pikiran Muhammadiyah terutama yang terkait dengan keagamaan selalu dievaluasi dari waktu ke waktu.
“Di Muhammadiyah tidak mengenal Dahlaniyah. Kalau menurut pemikiran pelanjutnya ada yang dipikirkan atau digagas Kiai Dahlan itu dianggap tidak tepat, maka akan dievaluasi. Karena Kiai Dahlan sendiri, membangun Muhammadiyah itu juga dengan spirit perubahan,” tutur Nadjib. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni