Money Politics Vs Jihad Politik Muhammadiyah tulisan Ardi Firdiansyah, kader IMM Renaissance Universitas Muhammadiyah Malang
PWMU.CO-Money politics atau politik uang menjadi masalah setiap Pemilihan Umum (Pemilu). Bahkan di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) juga. Beragam cara tim sukses melakukan transaksi politik uang untuk membeli suara. Mulai bagi-bagi sembako sampai uang tunai yang mereka sebut sebagai sedekah politik.
Money politics sebenarnya menunjukkan kontestan tak mempunyai kecakapan dan daya tarik. Maka pilihan membeli suara rakyat yang paling mudah dilakukan. Ironisnya masyarakat pun pragmatis menerima cara buruk ini. Akibatnya yang terpilih adalah pemimpin dan wakil rakyat berkualitas rendahan.
Calon kepala negara, kepala daerah, dan wakil rakyat yang ikut dalam kontestasi Pemilu idealnya minimal punya tiga modal. Pertama, modal sosial. Seorang pemimpin mampu berbaur dengan seluruh lapisan masyarakat. Kedekatan ini memberi peluang dukungan.
Kedua, modal intelektual. Pemimpin yang cerdas, berintelektual terbukti membawa kemajuan bagi rakyat. Ada gagasan untuk membangun daerahnya. Sebaliknya pemimpin bodoh mudah disetir orang di sekelilingnya yang mencari keuntungan dengan usulan sesuai kepentingannya.
Ketiga, modal ekonomi. Kemapanan kontestan itu perlu untuk membiayai pentas politik liberal yang mahal. Kontestan miskin ketika berkuasa hanya mikir cara korupsi agar balik modal atau dikendalikan bandar yang membiayainya.
Pilkada Serentak
Desember 2020 bakal digelar Pilkada serentak. Bisa dilihat siapa saja calon pemimpin yang punya tiga modal ini maka dia yang layak dipilih. Karena pemimpin yang memenuhi syarat ini cenderung independen dan memberi harapan. Bukan hanya janji kosong.
Pilkada serentak patut diduga masih banyak praktik money politics yang akan terjadi. Apalagi di tengah wabah corona banyak warga butuh duit karena ekonomi yang makin sulit.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, Pilkada serentak masih terdapat banyak celah bagi setiap kandidat melakukan praktik money politics. Meskipun ada bupati, walikota ditangkap karena korupsi tak membawa efek jera bagi koleganya. Itu dianggap nasib apes saja.
Celah itu karena aturan mengenai praktik money politics masih lemah. Yang ditangkap sebatas pelaku di lapangan. Bandarnya bebas berkeliaran karena kesulitan pembuktian.
Jika ingin mendapatkan pemimpin berkualitas maka Pilkada harus bersih dari money politics dan kampanye hitam. Rakyat mestinya menolak kalau diberi sesuatu oleh kontestan maupun tim suksesnya.
Kampanye harus dilakukan secara baik tanpa ujaran kebencian dan menyebar fitnah pesaingnya. Apalagi memicu konflik horizontal lewat dukungan anggota ormas dan tokoh agama.
Jihad Politik
Pengalaman Pemilu 2019 jadikan pelajaran. Masyarakat terbelah antara cebong dan kampret yang belum lebur hingga hari ini. Para buzzer pendukung masih saling serang di dunia medsos. Umpatan dan makian banyak tertulis di FB, Twitter, dan WA.
Melihat kesemrawutan kondisi politik ini, Muhammadiyah pada Maret 2018 mengeluarkan maklumat jihad politik. Mewakafkan kader-kader terbaiknya terjun dalam politik praktis memperjuangkan moral berpolitik yang baik dan benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat.
Jihad politik Muhammadiyah mendorong kader-kadernya mengikuti kontestasi politik Pemilihan Legislatif (pileg). Langkah ini sebagai upaya mencegah lahirnya pemimpin yang korup dan haus kekuasaan. Dipahamkan kekuasaan itu amanah yang wajib dijalan dengan lurus.
Menghadapi Pilkada serentak Desember 2020, alangkah eloknya jihad politik Muhammadiyah digaungkan kembali. Memberi pilihan calon terbaik dari kader-kadernya. Juga mengampanyekan tolak money politics.
Susah memang berlaku jujur di tengah pragmatisme politik rakyat. Malah bisa dicap sebagai kandidat kere karena tak punya uang. Karena yang berlaku di dunia politik sekarang adalah NPWP. Nomer Piro Wani Piro. Semuanya serba duit.
Tapi jangan putus asa. KH Ahmad Dahlan dulu berjuang meluruskan kiblat masjid banyak ditentang. Bahkan Langgar Kidul sampai dirobohkan. Namun seratus tahun setelah itu, pemikiran Kiai Dahlan akhirnya diterima rakyat. Takmir masjid banyak yang meluruskan arah kiblatnya sekarang.
Maka perjuangan meluruskan tatanan politik Indonesia tak usah pantang surut dan kecewa. Muhammadiyah terus kobarkan jihad politik dengan memperjuangkan politik nilai. Ini ladang dakwah juga. Mengajak pada kebaikan moral politisi, mencegah kemungkaran politik. (*)
Editor Sugeng Purwanto