
PWMU.CO– Generasi terakhir pengikut Nabi Isa di Betlehem. Begitu orang-orang Kristen Palestina menyebut kondisi mereka hari ini. Jumlahnya terus menyusut. Tak banyak generasi baru yang lahir melanjutkan ajaran yang telah dianut 2000 tahun ini.
Pendudukan Israel atas Yerusalem tak hanya menyusahkan warga muslim. Penganut Kristen di sini juga merasakan pembatasan. Mereka merasakan seperti kembali di zaman Yerusalem dikuasai bangsa Rumawi. Yesus dan para pengikutnya diburu dan dibunuh.
Betlehem terletak di Tepi Barat yang kini diduduki Israel. Ada dua kamp pengungsi di batas kota. Permukiman Israel terus-menerus dibangun mendesak pribumi muslim dan Kristen. Tembok pemisah membentang makin membatasi gerak itu.
Banyak peziarah dari penjuru dunia datang ke Gereja Kelahiran dan Gereja Makam Suci. Namun para peziarah ini tak peduli dengan nasib Kristen Betlehem.
Dua situs bersejarah dalam kehidupan Nabi Isa itu menarik jutaan peziarah. Tapi dikelola oleh ordo Kristen luar negeri yang tak membawa manfaat bagi generasi terakhir pengikut Nabi Isa di negeri ini.
Menurut survei, orang Kristen Palestina yang tinggal di Israel dan Palestina sebelum tahun 1947 sebanyak 7,4 persen. Setelah negara Israel berdiri hingga tahun 2007 tinggal dua persen dari populasi Israel. Menurut Biro Pusat Statistik Israel, angkanya 177.000 orang. Dari jumah itu sebagian 40.000 orang tinggal di Tepi Barat dan 11.000 orang di Yerusalem. Sebagian lagi tinggal di Israel dan tersebar di kota-kota lain.
Kota Penjara
Pendeta Munther Isaac yang diwawancarai Middle East Eye mengatakan, merasa Betlehem adalah penjara besar dikelilingi tembok yang dibangun Israel memisahkan warga. Peziarah hanya datang mengunjungi gereja-gereja tua dan menginap di hotel-hotel. ”Apakah mereka peduli dengan orang Palestina?” tanyanya.
Kebanyakan turis, sambung dia, pengikut Isa seolah-olah berhenti sejarahnya pada tahun 70 Masehi. Mereka mengunjungi Tanah Suci tempat Isa melakukan mukjizat, tetapi mereka mengabaikan nasib pengikutnya saat ini .
”Saya merasa ini beban sejarah. Kami adalah generasi terakhir Kristen yang tinggal di negeri ini. Saya melihat jemaat saya. Kami ada 160 anggota. Banyak dari mereka yang berusia 50 tahun ke atas,” katanya.
Dia mengatakan, catatan gereja menyebut ribuan anggota jamaah tapi mereka tinggal di luar Palestina. Sebagian besar pergi menghindari diskriminasi di tangan Israel. ”Nasib orang Palestina, Kristen dan Muslim, sama di tangan Israel,” tandasnya.
Peristiwa Nakbah
Lima belas tahun lalu ada 4.000 orang Kristen di Gaza. Hari ini menurun jumlah tak sampai 1.000 orang. Mereka dibina Pastor Katolik Pastor Mario Da Silva di Gereja Keluarga Kudus. Gereja ini juga bersejarah. Tempat Yusuf dan Maria mengungsi dengan bayi Yesus saat melarikan diri dari pembantaian oleh Herodes.
Pastor Mario menceritakan, tiba di Gaza dari Roma dua hari setelah perang tahun 2012 yang menghancurkan kota ini. ”Saya datang dari Roma, kota yang sangat indah. Langkah demi langkah berharap di sini akan menjadi lebih baik. Tapi sekarang lebih buruk,” ujarnya.
Warga Kristen Palestina yang menjadi warga negara Israel nasibnya lebih baik terutama yang tinggal di pusat negeri itu. Mereka menerima pendidikan, kesejahteraan dan layanan kesehatan yang tidak tersedia untuk orang Palestina di Tepi Barat atau Gaza.
Diskriminasi ini terjadi sejak peristiwa Nakbah di awal pendirian negara Israel tahun 1947. Mereka diusir dari tanah kelahirannya. Kesulitan mendapatkan pekerjaan. Masjid dan gereja ditutup. Konstitusi Israel menyebut bahwa orang Arab Palestina bukanlah warga negara yang setara di negara mereka sendiri.
Meskipun di Knesset, parlemen Israel, ada dua orang Kristen, Aida Touma Suleiman dan Mtanes Shehadeh, tak banyak menolong nasib mereka. ”Kami adalah minoritas dalam minoritas. Sepanjang waktu saya harus memaksakan diri untuk menunjukkan bahwa saya bukan teroris,” kata pendeta Kristen warga Israel.
Hijrah
Di Nazareth, kampung halaman Yesus, mantan uskup Yerusalem, Riah Abu El-Assal, menceritakan, semua saudara laki-laki dan perempuannya telah beremigrasi. ”Kami mungkin generasi terakhir orang Kristen Palestina,” katanya dengan sedih.
Di atas Bukit Ucapan Bahagia, tempat Yesus menyampaikan Khotbah di Bukit dia melanjutkan kisahnya. ”Sebagian besar keluarga saya telah pergi ke Kanada dan Amerika. Mereka memohon saya untuk bergabung tetapi saya tidak akan meninggalkan tanah Yang Mahakudus ini,” tandasnya.
Saat dia berdiri ke Laut Galilea, dia berkata bahwa permukaan air turun sebagian karena air disalurkan oleh orang Israel ke wilayah gurun Negev.
”Jika semua orang Kristen pindah dari tanah Yang Mahakudus, akan mudah bagi Israel untuk menyingkirkan kita semua. Mereka akan menjadikan perjuangan perang agama antara Islam dan Yudaisme. Tanpa Kristen, mosaik Tanah Suci tidak akan lagi menjadi mosaik,” tuturnya.
Mengapa orang Kristen Palestina beremigrasi dalam jumlah besar dan begitu cepat? Di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem, mereka menderita tekanan yang persis sama dengan warga Palestina lainnya dalam hal diskriminasi dan pelecehan.
Lebih mudah bagi orang Kristen meninggalkan Palestina daripada muslim. Mereka lebih mudah diterima daripada muslim di negara Barat yang Islamofobia. Bisa berbicara bahasa Inggris lebih baik dan latar belakang mereka adalah kelas menengah.
Setelah pergi, mereka jarang kembali. Mereka yang tertinggal di Palestina merasa dikhianati oleh rekan-rekan Kristen yang hijrah ke luar negeri.
Salim Munayer adalah direktur dan pendiri Musalaha, sebuah kementerian yang bekerja menuju rekonsiliasi antara umat Kristen Israel dan Palestina mengatakan, warga Kristen Palestina diabaikan dunia. Banyak delegasi gereja datang berkunjung memberikan pernyataan dukungan ternyata sekadar pemanis bibir.
”Misalnya, pemerintahan Trump memotong dana bantuan untuk rumah sakit di Yerusalem Timur. Tidak mendengar gereja AS berteriak tentang ini,” tuturnya.
Zionis Injili
Orang Kristen Palestina mengatakan, merasa terancam oleh gerakan gereja Zionis Kristen yang disambut baik oleh pemerintah Israel.
Pendeta Munther Isaac mengatakan, ironi bahwa mereka peduli tentang masa depan Kekristenan di Timur Tengah seperti diungkapkan konferensi di Washington, kenyataannya ada pendudukan yang menyebabkan orang Kristen kehilangan tanahnya.
Memang benar ada Zionis Injili masuk Israel. Seperti Pendeta John Hagee dan Robert Jeffress. Mereka percaya masa depan Kekristenan bergantung pada orang-orang Yahudi yang kembali ke Israel untuk mewujudkan Kedatangan Kedua Kristus menjelang kiamat.
Pendeta John Hagee adalah orang-orang di balik lobi pertemuan pimpinan Uni Emirat Arab dengan PM Israel Benyamin Netanyahu.
Zionis Kristen menganggap ekspansi Israel ke Tepi Barat melalui permukiman ilegal sebagai perkembangan positif dan bahkan mendukung ekspansi Israel ke Tepi Timur Yordania.
Editor Sugeng Purwanto