PWMU.CO – Cerai tak boleh pengaruhi perlindungan anak. Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati.
Dia menyampaikan hal itu dalam diskusi Hak Perempuan dan Anak dalam Perkawinan yang diselenggarakan oleh Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah bekerja sama dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHAMKA via Zoom, Senin (24/8/2020).
Menurutnya perlindungan anak seharusnya tidak terpengaruh dengan situasi perkawinan orangtuanya.
Orangtua Punya Kewajiban Asuh
“Anak sampai kapanpun memiliki ikatan dengan orangtuanya walaupun perkawinan orangtuanya berakhir. Mantan suami atau istri memang ada, tetapi mantan anak dan orangtua tidak ada,” ujarnya.
Semua orangtua, sambungnya, bertanggung jawab untuk memenuhi hak akses, hak pengasuhan, sekaligus hak nafkah kepada anak. Walaupun ikatan perkawinan dengan pasangan telah berakhir.
“Jika orang rebutan hak asuh maka sesungguhnya semua pihak memiliki kewajiban asuh. Kedua orangtua harus sama-sama bekerja sama dalam mengasuh dan mendidik anak walaupun mereka sudah mengakhir hubungan,” tegasnya.
Posbakum Aisyiyah
Sementara itu Ketua PP Aisyiyah Prof Dr Hj Masyitoh Chusnan MAg saat membuka acara menyampaikan Aisyiyah memiliki Pos Bantuan Hukum (Posbakum).
“Saat ini kita memiliki 24 Posbakum dari total 34 provinsi. Posbakum Aisyiyah memiliki tugas untuk mensosialisasikan peraturan perundangan terkait perkawinan agar perempuan dan anak terlindungi hak-haknya,” ungkapnya.
Keluarga Pilar Pembangunan Bangsa
Dalam kesempatan itu Dekan FKIP Uhamka Dr Desvian Bandarsyah MPd menyampaikan pidato kunci. Menurutnya keluarga merupakan pilar pembangunan bangsa. Harapan besar kepada keluarga agar menjadi penopang kehidupan bangsa.
“Keluarga merupakan situasi di mana individu ada dan mengada. Keluarga diharapkan menjadi keluarga sakinah, saling menjaga, saling mendukung, dan saling mengedepankan keterbukaan untuk menjadi keluarga sakinah,” urainya.
Seringkali keluarga, sambungnya, lebih dilihat sebagai sebuah entitas target grup dalam kebijakan negara. “Padahal seharusnya pendekatan pembangunan keluarga harus melihat inner dan perkembangan keluarga, bukan hanya fisik target grup keluarga. Keluarga menjadi ketahanan suatu masyarakat dan bangsa,” jelasnya.
Data Bappenas, lanjutnya, menunjukkan perceraian meningkat tiga persen setiap tahun. Peningkatan tersebut bermakna bahwa kesadaran hukum perempuan meningkat untuk memastikan hak-haknya dalam perkawinan.
“Pada sisi yang lain adanya kebutuhan bimbingan perkawinan bagi pasangan muda agar menjadi bekal menjalani kehidupan keluarga. Dengan bekal tersebut diharapkan perceraian dapat diminimalisir,” terangnya.
Lindungi Perempuan dan Anak
Pembicara pertama Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Fal Arovah Windiani SH MH menyatakan perkawinan itu saling meminta. Seharusnya perkawinan adalah sah sesuai agamanya dan resmi dicatatkan kepada negara sesuai agamanya.
“Perkawinan yang sah bermakna melindungi hak perempuan dan anak. Cerai gugat berdampak pada hak nafkah yaitu nafkah muth’ah, nafkah iddah, dan hadhanah,” tegasnya.
Menurutnya hal ini seringkali membuat laki-laki menggantungkan perkawinan terhadap perempuan. Laki-laki menunggu istri yang mengajukan agar bebas dari hak-hak tersebut.
“Situasi tersebut banyak dialami perempuan. Padahal seharusnya laki-laki menyadari hak-hak perempuan yang harus dipenuhi ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri relasinya sebagai sebuah tanggung jawab. Bukan justru mereka meninggalkan tanggung jawabnya,” paparnya.
Anak Investasi Akhirat
Pemateri selanjutnya Dosen Program Studi PAUD Uhamka Khusniyati Masykuroh MPd menyampaikan banyak sekali dampak perceraian pada anak. Mulai dari tumbuh kembang anak yang terhambat, ekspresi remaja yang agresif, hingga sulit beradaptasi diri.
“Sehingga seharusnya orangtua memikirkan soal bagaimana nasib anak dalam relasi perkawinan. Karena sesungguhnya, anak adalah investasi akhirat orangtua,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.