Tragedi Asysyura, Pesan untuk Penguasa tulisan Muhammad Fahmi, mahasiswa Imam Shafie College Yaman.
PWMU.CO-Tragedi Asysyura di Padang Karbala Irak yang terjadi 10 Muharram 61 H atau 10 Oktober 680 M menjadi sejarah kelam Islam. Betapa nafsu berkuasa membutakan mata dan mengabaikan syariah.
Pembunuhan cucu Nabi Muhammad saw, Husein bin Ali bin Abi Thalib, secara kejam oleh pasukan Yazid menunjukkan penguasa tak menghormati keluarga ahlul bait. Asal dianggap musuh, maka harus ditumpas habis.
Peristiwa ini seperti mengulang lagi pemberontakan ayah Yazid, Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam, kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peperangan dan permainan politik licik dimainkan Muawiyah untuk mendongkel kursi khalifah yang diduduki Ali.
Di masa tuanya Muawiyah rupanya menyesali perbuatan liciknya itu kepada Ali yang ahlul bait. Karena itu dia menasihati anaknya, Yazid, agar memperlakukan keturunan Nabi dengan baik.
Nasihat itu disampaikan karena melihat kekuatan Husein bin Ali di wilayah Hijaz dan Kufah cukup kuat. Dia khawatir jika dia meninggal terjadi pergolakan di wilayah itu menolak naiknya Yazid menjadi khalifah.
Sebagaimana dulu Hasan dan Husein didukung sahabat Nabi seperti Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Abu Bakar, dan Abdullah bin Umar menentang dia saat mengumumkan jadi khalifah. Bahkan Hasan akhirnya mati akibat ulah pendukung Muawiyah yang meracunnya.
Muawiyah masuk Islam saat penaklukan Mekkah pada 8 H. Sama dengan bapaknya, Abu Sufyan, yang sebelumnya jadi musuh besar Nabi. Tapi sumber lain menyebut Muawiyah mengaku masuk Islam setahun sebelum futuh Mekkah. Saking cintanya kepada Nabi, dia menyimpan kain bekas, potongan rambut dan kuku Nabi.
Nasihat Muawiyah untuk Anaknya
Tak ingin mengulang sejarah dia memberi wasiat kepada Yazid agar menghormati ahlul bait. Seperti dikisahkan dalam kitab Nihaya wa Bidayah karya Ibnu Katsir.
”Wahai Yazid, jika nanti tiba ajalku, suruhlah orang yang ahli fiqh untuk memandikanku. Karena Allah lebih memuliakan ahli fikih dari selainnya,” kata Muawiyah.
”Wahai anakku, jika nanti tiba ajalku ambillah secarik kain yang aku letakkan di lemari. Jadikan kain bekas baju Rasulullah itu sebagai kafanku, dan taruhlah seikat kain yang di dalamnya ada rambut dan kuku Rasulullah di dalam kafanku,” tuturnya.
”Yazid, tetaplah kamu berbakti kepada orang tua. Ketika kau letakkan jasadku ini di liang lahat, cepatlah kamu selesaikan. Biarkan aku sendiri menghadap Dzat Maha Pemurah,” ujarnya.
” Yazid, perhatikan Husein. Ia adalah orang yang paling dicintai muslimin. Sambunglah tali silaturahmi dengannya, karena dengan begitu segala urusanmu akan lancar. Jangan sampai terulang kejadian yang telah menimpaku,” pesannya.
Muawiyah meninggal pada hari Jumat, 8 Rajab 60 Hijriah di Damaskus, ibukota Syam. Dia terkena penyakit obesitas. Karena badannya terlalu gemuk.
Pembantaian Husein
Benarlah yang dikhawatirkan Muawiyah. Sepeninggal dia, Yazid naik jadi khalifah langsung mendapat tentangan dari Husein dan pendukungnya di Madinah dan Kufah.
Menghadapi penentangnya, Yazid lupa dengan pesan ayahnya. Dia serahkan urusan ini kepada gubernur dan panglima pasukannya. Dia hadapi Husein secara represif dan ancaman. Jika tak mau baiat kepadanya maka diperangi.
Maka terjadi tragedi Asysyura di Padang Karbala itu. Pengawal Husein dan anggota keluarganya berjumlah 71 orang yang hendak menuju Damaskus diperangi oleh pasukan Yazid sebanyak 4.000 tentara.
Pasukan Yazid ini dipimpin panglima Syamir bin Dziljauzan, orang yang tak pernah mengenal Nabi, ahlul bait, dan sahabat. Dia tentara yang berprinsip setia kepada tuan yang mengangkatnya. Yang dipikirkan adalah Husein musuh khalifah yang harus dimusnahkan. Tak pelak dibantailah Husein dan pasukannya dalam perang yang tak seimbang.
Inilah tragedi Asysyura yang menjadi pengingat untuk para penguasa. Jangan umbar nafsu kekuasaan hingga mengabaikan rasa kemanusiaan dan membantai musuh dengan kejam. Padahal mereka mengaku Islam. (*)
Editor Sugeng Purwanto