PWMU.CO – Bukan Rahib, Ulama Boleh Menikah …. Ulama bukan malaikat. Mereka manusia biasa. Jika memiliki kedudukan khusus di mata umat Islam, itu karena ilmunya. Seperti arti kata ulama, jamak dari kata alim, yang bermakna orang-orang yang berilmu.
Soal sehari-hari, mereka adalah manusia biasa. Butuh makan dan lain-lain termasuk menikah. Jangankan ulama, nabi pun manusia biasa—yang kata al-Quran juga butuh ke pasar dan makan.
Perhatikan ayat ini: Dan mereka berkata pula, “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan jalan-jalan di pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya malaikat untuk memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?” (al-Furqan: 7)
Tapi di beberapa agama, pemimpin spiritual mereka tidak boleh menikah. Mereka menjalani kehidupan—apa yang disebut—rahbaniyyah. Derajat mereka sedikit “lebih tinggi” dari manusia. Sebab jika manusia menikah mereka tidak boleh. Mirip malaikat saja!
Tiga Kisah Pengamalan Kerahiban
Untuk menjelaskan bagaimana ajaran Islam menolak kerahiban, ada baiknya kita baca tiga kisah ini.
Kisah pertama. Istri ‘Utsman ibn Mazh’un bertandang ke rumah para istri Nabi SAW dan mereka ini melihatnya dalam keadaan yang buruk.
Maka mereka bertanya kepadanya: ‘Apa yang terjadi dengan engkau? Tidak ada di kalangan kaum Quraysh orang yang lebih kaya dari suamimu!’
la menjawab: ‘Kami tidak mendapat apa-apa dari dia. Sebab malam harinya ia beribadat, dan siang harinya ia berpuasa!’
Mereka pun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut. Maka Nabi pun menemui dia (‘Utsman bin Mazh’un), dan bersabda: ‘Hai ‘Utsman! Tidakkah padaku ada contoh bagimu?!’
Dia menjawab: ‘Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian.’
Lalu Nabi bersabda: ‘Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan tidak tidur (beribadat) setiap malam?’
Dia menjawab: ‘Aku memang melakukannya.’
Nabi bersabda: ‘Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu punya hak atas engkau! Maka sembahyanglah dan tidurlah, puasalah dan makanlah!’
Agama Hanifiyah as-Samhah
Kisah kedua. ‘Utsman ibn Mazh’un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadat.
Berita itu datang kepada Nabi SAW, maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawahnya ke pintu keluar rumah di mana ia tinggal, dan beliau bersabda:
‘Wahai ‘Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan ajaran kerahiban.’ (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu bersabda lebih lanjut), ‘Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah hanifiyat al-samhah (semangat pencarian Kebenaran yang lapang).’
Kisah ketiga. Berita sampai kepada Nabi SAW bahwa segolongan sahabat beliau menjauhi wanita dan menghindari makan daging. Mereka berkumpul, dan kami pun bercerita tentang sikap menjauhi wanita dan makan daging itu.
Maka Nabi pun memberi peringatan keras, dan bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah haniffiyah as-samhah (semangat pencarian Kebenaran yang lapang).”
Sisi Kemanusiaan
Makna apa yang terkandung pada hadits-hadits yang dikutip oleh Jamal al-Din Abu AI Faraj Abd-al-Rahman dalam kitabnya, Tablis Iblis, seperti dinukil Nurcholish Madjid dalam tulisan “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang’?
Jika boleh disimpulkan, maka hakikat terpenting yang dapat dipetik dari hadits di atas ialah Nabi Muhammad SAW (agama Islam) hendak menempatkan manusia—tentu, bukan hanya Utsman ibn Mazh’un— pada posisi kemanusiaannya. Bahwa manusia itu bukan malaikat, yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan bendawi (makan, tidur, atau berhubungan seksual).
Kecenderungan pada haI-hal bendawi ini sangatlah alamiah, terutama jika dikaitkan dengan salah satu unsur pembentuk manusia yang berasal dari materi (tanah) (al- Mukminun:12 dan al-Hijr: 28).
Unsur materi inilah yang dalam proses metabolisme tubuh (fisik) manusia membangunkan keinginan-keinginan—bahkan kesadaran-kesadaran—bendawi manusia.
Misalnya, ketika kerongkongan kering, maka timbul kesadaran untuk minum; ketika lambung kosong, maka muncul kesadaran untuk makan; ketika badan lelah maka muncul kesadaran untuk istirahat (tidur), dan seterusnya.
Oleh karena makan, minum, tidur, atau berhubungan seksual adalah hal-hal yang alamiah (fitrah) pada diri manusia. Sebaliknya adalah penghianatan jika keinginan-keinginan tersebut dikubur dalam-dalam.
Maka Nabi Muhammad SAW memperingatkan dengan keras kepada Utsman ibn Mazh’un, “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan ajaran kerahiban.”
Islam Anti-Kerahiban
Ajaran kerahiban (rahbaniyyah atau monastisisme), sangat ditentang oleh Islam karena kerahiban adalah bentuk pengamalan keagamaan yang tidak wajar, tidak alami, dan tidak sejalan dengan fitrah manusia—dengan akibat pengingkaran hak kemanusiaan diri dan orang lain.
Istilah kerahiban sendiri dipakai karena dalam tradisi kerahiban dikenal perilaku sikap hidup menghindar dari dunia atau mengingkari pemenuhan kebutuhan alami atau biologis manusia.
Misalnya dengan tidak beristri, atau pada tingkat ektrem tertentu melakukan pertapaan, sebagai simbolisasi atau usaha meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan dunia, yang dalam pandangan mereka hanyalah sebuah penderitaan.
Karena hidup di dunia adalah penderitaan, dan penderitaan lahir karena keinginan-keinginan (bendawi: biologis dan alami), maka bunuhlah keinginan-keinginan itu! Jangan beristri/bersuami, jangan makan-minum, jangan berdandan (berpakaian pantas)!
Islam menolak keras sistem kerahiban.“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal kami tidak mewajibkan kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah …” (aI-Hadid:27).
Nabi Muhammad SAW sendiri, meskipun, sekali lagi, seorang nabi, yang mulia dan suci, tetap menyandang sisi kemanusian. “Hai Utsman! Tidakkah padaku ada contoh bagimu?” katanya, seolah menegaskan betapa seorang nabi pun tetap bergelut dengan sisi-sisi kemanusiaan; beristri dan memberikan hak-hak istrinya; berbuka (tidak terus-menerus berpuasa), dan juga bisa tidur.
Jika nabi saja masih seperti ilu, lantas manusia shaleh macam apa yang hendak diharapkan Utsman ibn Mazh’un; atau dengan kata lain Utsman hendak mencontoh siapa? Padahal, Nabi Muhamamd SAW adalah sebaik-baik teladan (aI-Ahzab: 21).
Maka belia pun mengingatkan, “Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu punya hak atas engkau! Maka sembahyanglah dan tidurlah, puasalah dan makanlah!”
Jadi manusia—termasuk ulama—itu bukan malaikat, bukan pula jin. Jangan pula jadi rahib dan pastor. Tetapi, jadilah manusia sejati. Manusia yang memiliki kecenderungan alami; manusia yang dekat pada fitrahnya.
Lalu bagaimana jika menyimpang dari fitrah itu? Lihatlah kasus-kasus pelecehan seksual di kalangan mereka—yang sampai saat ini terbongkar satu per satu! (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni.