Jejak Khilafah, Jangan seperti Pegadaian tulisan Prima Mari Kristanto, aktivis Muhammadiyah di Lamongan.
PWMU.CO–Film Jejak Khilafah di Nusantara yang tayang pas 1 Muharram lalu masih memicu perdebatan. Kelompok kontra menyatakan film itu manipulasi sejarah karena tak ada data.
Kelompok pro menyebut banyak dokumen kerajaan nusantara mencatat hubungan dengan kekhalifahan Islam Umayah, Abbasiyah, hingga Turki.
Kata khilafah seperti telah menjadi mimpi buruk bagi pembecinya. Selalu membuat girab-girab kalau disebut. Sampai-sampai sekelompok anggota ormas pemuda sampai membentak-bentak ustadz yang dituduh mengajarkan paham khilafah.
Film Jejak Khilafah di Nusantara mengulang kembali lagu lama yang mempertentangkan khilafah dengan dasar negara Pancasila. Mestinya film ini bisa berdebat secara ilmiah dengan masing-masing menunjukkan bukti sejarah.
Kelompok pro buktikan khilafah sebagai solusi semua masalah. Jangan seperti slogan Pegadaian: mengatasi masalah tanpa masalah. Faktanya bunga pinjaman yang tinggi menciptakan masalah bagi nasabah.
Sementara kelompok kontra jangan pula asal tuduh omong khilafah sebagai makar dan usaha mengubah dasar negara Pancasila.
Istilah khilafah saat ini telanjur identik dengan kelompok Hizbut Tahrir (HT). Padahal khilafah dalam perbendaharaan politik Islam banyak variannya.
HT dalam misi dakwahnya menyebutkan khilafah adalah bentuk pemerintahan paling ideal dengan mengacu pada kejayaan Utsmaniyyah, Umayyah, Abbasiyah, khulafaurrasyidin, pemerintahan Madinah di masa Rasulullah saw.
Sebagian kelompok berpendapat, khilafah hanya ada pada masa Rasulullah dan khulafaurrasyidin. Sedangkan era Umayyah, Abbasiyah dan lain-lain hanyalah dinasti kerajaan.
Parahnya lagi perdebatan khilafah mengarah pada perpecahan rakyat. Ekses Pilpres belum hilang. Anti khilafah adalah para cebong. Pro khilafah dituding kelompok kampret. Sekarang sebutan itu diubah jadi kadal gurun alias kadrun. Mereka tak merasa bahwa sebutan ini sangat rasialis.
Piagam Madinah
Fakta sejarah pemerintahan Islam di Madinah berhasil mempersatukan penduduk suku-suku di kota itu seperti Bani Khazraj, Aus, Badui, Yahudi, dan muhajirin dari Makkah. Nabi Muhammad saw membuat Piagam Madinah sebagai dasar hak dan kewajiban rakyat.
Inilah model masyarakat Madaniyyah atau Madani. Model ini dilanjutkan dinasti Umayyah di Damaskus, dinasti Abbasiyah di Baghdad, dinasti Umayyah II di Cordoba sampai dinasti Utsmaniyah di Istanbul.
Jika istilah khilafah hanya mengacu pada kepemimpinan umat Islam yang satu, maka periode pemerintahan Islam di Baghdad dan Cordoba yang berdirinya hampir bersamaan bahkan bersaing ketat berlomba-lomba dalam kebajikan tidak layak disebut khilafah.
Tetapi jika dikembalikan pada substansi khilafah berupa lanjutan atau duplikasi dari peradaban Madinah yang berusaha mengamalkan Quran dan sunnah hakikatnya peradaban Islam yang berpusat di Baghdad dan Cordoba layak disebut sebagai khilafah atau negara Madani.
Demikian juga dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara. Kerajaan Aceh, Samudera Pasai, Malaka, Siak Sri Indrapura di Sumatera, Bone, Soppeng, Wajo di Sulawesi, Banten, Demak, Mataram sampai Surakarta, Mangkunegara, Ngayogyakarta Hadiningrat di Jawa, Ternate, Tidore di Maluku yang semuanya bercorak Islam apakah layak disebut khilafah?
Kemudian Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia setelah nusantara merdeka dari penjajahan apakah layak disejajarkan dengan Piagam Madinah?
Jika Pancasila bisa disamakan dengan Piagam Madinah sebagai rule of game atau aturan main dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara yang majemuk apakah Indonesia layak disebut khilafah?
Darul Ahdi wa Syahadah
Persyarikatan Muhammadiyah memandang dasar negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Negara hasil konsensus dan persaksian. Kurang lebih substansi dan fungsinya sama dengan Piagam Madinah. Aturan main yang fair dalam kemajemukan masyarakat, agama dan suku bangsa Indonesia.
Jika ada yang membantah bahwa Pancasila bukan Piagam Madinah, seratus persen pendapat tersebut benar. Karena bentuk, isi dan namanya jelas berbeda.
Tetapi jika kembali pada substansi untuk apa ada Pancasila, tujuannya dan cara mengamalkannya sudah pasti mengarah pada cita-cita mewujudkan masyarakat Madani sebagaimana di Madinah pada periode awal hijrah.
Khilafah, masyarakat madani, kerajaan, atau dinasti hanya istilah. Debat khilafah semestinya menuju persamaan persepsi dan substansi mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam suasana penuh ukhuwah. Jangan asal pokoknya. (*)
Editor Sugeng Purwanto