Buzzer, Influenzer, dan Manipulator Media, kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior tinggal di Surabaya.
PWMU.CO – Buser adalah tim buru sergap yang biasanya diasosisikan dengan kepolisian atau tentara. Buzzer adalah pendengung, mereka yang muncul di akun media sosial tanpa identitas yang jelas, dan mendengungkan berbagai macam hal.
Ada buzzer gratisan, buzzer perjuangan, buzzer ideologis, buzzer lillahi ta’ala, dan macam-macam lainnya. Ada pula buzzer pengangguran yang tidak punya kerjaan lain kecuali mendengung-dengung setiap saat. Untuk pekerjaan mendengung ini kelompok buzzer ini dapat bayaran.
Ini jenis buzzer pengangguran tapi dapat bayaran. Kerja mereka cepat dan cekatan, memburu menyergap setiap saat. Begitu ada order, mereka gercep dan GPL (gak pake lama) target akan dihujani dengan berbagai perundungan (bullying), ancaman, dan doxing alias pengobralan data pribadi.
Para buzzer ini bekerja laksana tim buser, memburu dan menyergap dalam senyap. Diam tapi bisa mematikan lawan-lawan yang berseberangan.
Para buzzer bekerja mandiri, perorangan, tanpa koordinasi, tapi siap menerima perintah dan order. Tapi, ada pula para buzzer buser yang terkoordinasi dengan rapi, dibiayai dengan anggaran yang cukup, mendapat order yang jelas, dan mempunyai pimpinan atau kakak pembina.
Buzzer Bayaran
Para buzzer buser ini disewa seperti pasukan bayaran, atau pembunuh profesional dengan target menghabisi orang-orang tertentu, dan tentu saja, dengan tarif tertentu.
Order buzzer buser ini bisa datang dari mana saja, kalangan bisnis yang ingin kaya mendadak, selebritas yang mau cepat ngetop, atau lembaga pemerintahan yang lagi kepepet oleh serangan opini publik.
Order jenis terakhir ini terbukti yang paling bikin ngiler. Laporan ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan bahwa pemerintah menghabiskan Rp 90 miliar lebih untuk menyewa para buzzer.
Bukan hanya para buzzer yang kebagian order itu. Anggaran ini dibagi juga untuk para influencer, orang yang punya pengikut banyak di media sosial. Para influencer ini identitasnya lebih jelas, dan mereka berani terang-terangan muncul di publik.
Denny Siregar adalah contohnya. Dia salah satu influencer yang banyak didengar oleh followers, pengikutnya, sekaligus juga dimusuhi oleh haters, pembenci-pembencinya. Semua influencers ideologis punya followers sama banyak dengan haters-nya, di sisi manapun dia berada.
Denny muncul menjadi pembela para buzzer dan influencer yang tengah disorot karena bancakan duit rakyat puluhan miliar itu. Dia menganggap belanja besar itu sesuatu yang wajar karena zaman telah berubah dan pola konsumsi orang terhadap informasi juga sudah berubah.
Menggeser Media Mainstream
Dulu orang mendengarkan media perdana (mainstream) sebagai sumber berita utama. Sekarang media alternatif dan para influencer dan selebritas media sosial menggeser posisi media perdana sebagai sumber informasi utama.
Ketergeseran ini membuat media perdana kehilangan kekuatan pengaruh sosial politik dan kehilangan kejayaan ekonomi karena pemasukan iklan yang makin merosot tersedot media alternatif.
Media perdana mahal, boros, tidak efektif, dan tidak mau diatur. Sebaliknya media sosial murah, tepat sasaran, dan sesuai order.
Karena itu anggaran iklan dan sosialisasi kebijakan banyak mengalir ke aktivis media sosial. Media perdana terancam gulung tikar dan hidup kembang kempis, lalu menyalahkan serta memusuhi influencer dan para buzzer.
Meyakinkan tapi menyesatkan. Seperti tukang jual obat, argumen ini berbuih-buih tapi tidak berisi.
Media perdana atau media massa tidak sama dengan media sosial. Media massa adalah media yang berhubungan dan bertanggung jawab terhadap massa, khalayak, dan mempunyai misi sosial untuk hanya memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan.
Media massa diatur oleh seperangkat etika jurnalistik yang ketat, dan dalam menjalankan aktivitasnya dilindungi oleh undang-undang sebagai produk dari masyarakat demokratis.
Karakter Media Sosial
Media sosial, meskipun disebut media sosial tapi ia adalah media pribadi, privat, tidak terikat oleh tanggung jawab kepada khalayak. Ia bisa bicara apa saja tanpa ikatan kode etik apapun. Batasannya adalah undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronika) yang melarang ujaran kebencian yang definisinya mulur mengkeret seperti karet.
Media massa mempunyai privilige mengontrol kekuasaan melalui mekanisme social control. Privilege ini didapat melalui konsensus demokrasi, dan karenanya media massa disebut sebagai pilar keempat demokrasi, the fourth pillar of democracy.
Pemerintah manapun yang mengaku komit terhadap demokrasi harus menunjukkan komitmennya terhadap media massa untuk tetap eksis sebagai penyeimbang tiga pilar demokrasi Trias Politika, eksekutif, legislatif, judikatif.
Media sosial adalah media privat, satu arah, tidak ada perdebatan wacana, dan bersifat echo chamber, mendengarkan pendapat kelompoknya sendiri. Para influencer menyampaikan pesan-pesan pribadi maupun pesan sponsor, dan para follower-nya pun sami’na wa atha’na, kami dengar, kami ikut.
Media sosial mengokupasi ruang privat. Sedangkan media massa beroperasi di ruang publik, public sphere, yang menampung semua perdebatan publik terhadap rencana kebijakan. Dari berbagai macam diskusi publik, pro dan kontra itulah pemerintah membuat kebijakan publik.
Ruang publik ibarat obrolan di warung kopi dengan bermacam argumen yang harus didengar dan ditampung. Ribet memang. Tapi itulah mekanisme demokrasi yang sehat.
Pemerintahan yang tipis kuping, mudah marah dan main tangkap. Pemerintah yang tebal kuping, tidak mau mendengar kritik. Pemerintah yang tidak punya kuping akan menabrak apa saja di depannya.
Pemerintah yang punya komitmen terhadap demokrasi akan bertanggung jawab menjaga eksistensi dan independensi media. Dan karena itu pula pemerintah mengeluarkan anggran besar untuk membiayai media yang sehat untuk menyegarkan demokrasi. Maka pemerintah Inggris membiayai BBC tapi tidak mengontrolnya. Demikian juga Amerika dengan VOA, dan Australia dengan ABC.
Dunia Tak Sama
Perkembangan teknologi digital seolah menjadi lonceng kematian bagi media arus utama. Tepat 10 tahun yang lalu ketika Steve Jobs me-launching produk I-Phone, dunia berubah dan tidak pernah menjadi sama lagi.
Android merajai dunia. Sepertiga penduduk dunia tekoneksi melalui Facebook, Google, dan Amazon yang menjadi “unholly trinity” trinitas tidak suci. Facebook menguasai media sosial, Google menguasai mesin pencari, search engine, dan Amazon menguasai perdagangan online.
Google menjadi news aggregator yang bisa menyedot semua berita dari semua media perdana secara gratis tanpa kompensasi apapun. Secara bersamaan Google menyedot habis sumber iklan dari media arus utama yang menjadikan media-media itu kehabisan napas dan sebagian besar gulung tikar.
Unholly Trinity ini menjadi pembunuh media dan sekaligus menjadi ancaman bagi demokrasi. Mekanisme pasar tidak boleh dibiarkan beroperasi sendiri tanpa campur tangan politik pemerintah. Posisi tawar media perdana sangat lemah vis a vis para raksasa itu. Hanya campur tangan pemerintah yang bisa mengimbangi tangan gaib, invisible hand, kapitalisme yang rakus.
Influencer dan buzzer itu pemain amatir kelas receh. Angka Rp 90 miliar itu kecil jika dibanding perolehan iklan media cetak di masa kejayaan 10 tahun silam. Angka itu bisa diraup dengan mudah dalam sebulan.
Zaman berubah. Kejayaan itu berakhir. Tapi eksistensi media perdana yang kredibel tetap harus dijaga. Masyarakat dan pemerintah yang komit terhadap demokrasi berkewajiban untuk menjaganya.
Kembali ke Berta Kredibel
Influencer dan buzzer bayaran tak bisa bertahan lama. Orang bosan dengan berita hoax dan berita yang tidak kredibel. Orang akan kembali mencari berita yang kredibel dari media arus utama.
Ini bukan argumen oligarki media. Ini adalah argumen akal sehat masyarakat demokratis. Justru kekuasaan oligarkilah yang sekarang mengandalkan influencer untuk mempertahankan kekuasaannya.
Orang akan semakin tahu belang para manipulator media itu. Pemerintah yang sekarang memberi makan terus-menerus kepada manipulator media sama saja dengan memberi makan monster, feeding the monster, yang terus-menerus mangap karena lapar.
Pesan media manipulator paling top zaman ini, Ryan Holiday (2010), satu kata kunci, “Trust Me I’m Lying“. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.