Jangan Asal Tuding Pembangkang kepada Jamaah tulisan Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung.
PWMU.CO-Tulisan Dr Sholikh al Huda tentang Erosi Loyalitas Warga Muhammadiyah menguraikan pembangkangan warga persyarikatan untuk mematuhi fatwa wabah corona dari tinjauan ideal organisasi.
Secara psikologis tampaknya situasi pandemi tidaklah menakutkan lagi bagi warga pada umumnya. Orang yang dianggap tidak taat organisasi tersebut sampai saat ini tetap menjadi jamaah Muhammadiyah.
Adalah benar bahwa ada ketidaktaatan warga Muhammadiyah dalam menjalankan maklumat PP Muhammadiyah, namun dalam perspektif warga akar rumput (khususnya pedesaan) sebenarnya bukan karena erosi ideologis akibat perselingkuhan manhaj, namun lebih banyak karena faktor teknis. Karena itu hati-hati, jangan asal tuding pembangkang kepada warga akar rumput.
Warga terkepung dalam lingkungan jamaah kelompok lain yang apatis terhadap protokol kesehatan yang nyatanya selamat juga dari pandemi, paling tidak sampai saat ini. Sedangkan warga Muhammadiyah yang menjalankan protokol kesehatan dengan ketat sebagian malah terpapar covid 19.
Menurut saya ada beberapa hal kenapa terkesan ada pembangkangan di warga Muhammadiyah khususnya terkait edaran atau maklumat PP tersebut. Pertama, maklumat tersebut sebenarnya memuat tiga pokok penting yaitu, ritual, sosial dan kesehatan.
Dalam gerakan sosial yang dikomandani MCCC (Muhammadiyah Command Covid-19 Center), warga cukup taat membangun solidaritas dengan berpartisipasi dalam donasi. Begitu pula dalam protokol kesehatan, warga cukup taat dengan selalu memakai masker, menyediakan tempat cuci tangan, tidak keluar rumah kecuali terpaksa, menjaga jarak dan membawa hand sanitizer.
Namun dalam hal ritual ibadah mereka banyak melakukan pelanggaran. Paling mencolok tetap melakukan tarawih di masjid dan mendirikan shalat Jumat dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat. Soal pengajian dan tidak memobilisasi massa hampir semua patuh tidak mengadakan.
Jarak Sosial
Kedua, warga Muhammadiyah serasa menjadi pemain tunggal dalam melawan covid-19, bahkan menjadi tampak aneh bagi tetangga sebelah yang tetap santai dengan kehidupannya. Menjadi semacam ’ejekan’ ketika mereka pergi ke sawah dan tempat kerja lainnya dengan memakai masker.
Khotbah ideologis maqashid syariah dalam hifdh al nafs, logika qias dan siaran covid setiap hari di TV yang diulang-ulang tidak menyentuh kehidupan pedesaan yang terhimpit oleh interaksi sosial yang cair dengan tetangga sebelah.
Apalagi tidak semua memiliki media sosial untuk membaca edaran-edaran yang ada, sementara berkumpul dilarang. Sebagai pelaku kajian ranting, saya bisa memaklumi, diterangkan langsung secara rutin mingguan dan intensif saja sering tidak paham, apalagi cuma dikasih edaran. Kegagapan teknologi ikut menyumbang ketidakpahaman warga terhadap maklumat PP tersebut.
Ketiga, minimnya keteladanan dari para pengurus dalam ritual keagamaan dalam mengelola masjid sebagai basis penguatan ideologis. Sejauh yang saya tahu, hampir semua pimpinan ranting memiliki masjid dan jamaah yang jelas. Begitu pula beberapa pimpinan cabang. Namun yang tampak agak kurang adalah pimpinan daerah dan pimpinan wilayah, bahkan mungkin pusat.
Para pengurusnya yang didominasi para akademisi lebih banyak tinggal di perumahan yang bukan basis warga Muhammadiyah. Bagaimana bisa memahami problem keumatan jika hidupnya jauh dari umat yang dibinanya.
Hal ini menjadi rasan-rasan yang tajam ketika pandemi berlangsung, ketika para pengurus yang tidak punya masjid ini dengan keras bersuara bahkan mau melakukan pemecatan keanggotaan.
Warga Muhammadiyah yang mengelola langsung masjid banyak yang bilang, ”Ya pantas saja mereka keras terhadap jamaah, lha mereka memang tidak pernah ditangisi jamaah yang tidak bisa baca Fatihah, tidak tahu problem umat secara langsung, dan sebelum pandemi pun jarang nongol di masjid.”
Hadapi Dua Tekanan
Ironi memang, tapi itulah fakta yang harus diverifikasi kebenarannya. Sejujurnya para pengelola masjid dan mushala juga tidak berdaya di antara dua tekanan. Tekanan dari struktur Muhammadiyah di atasnya dan tangisan warga yang membutuhkan bimbingan.
Di belakang para takmir itu ada gerbong yang harus diperhatikan dan dirawat dengan welas asih. Mereka bukannya tidak takut terhadap covid-19, namun situasi yang membuatnya bersikap yang berbeda dengan maklumat PP.
Di beberapa tempat sikap ekstrem takmir masjid benar-benar membuat sebagian jamaah lari ke masjid sebelah untuk menjalankan ibadah. Apa kita juga akan memecat mereka?
Selanjutnya, pemahaman terhadap maklumat yang berlaku secara umum tanpa memandang kewilayahan. Warga di puncak gunung yang tidak pernah bersinggungan dengan dunia luar, dan warga kota yang riuh dengan lalu lalang orang disamakan dalam menjalankan maklumat tersebut.
Terkesan harga mati tanpa toleransi dan kebijaksanaan. Warga dengan logika sederhananya (meskipun dianggap salah) membandingkan masjid, pasar dan tempat wisata. Jika illat-nya adalah berkumpul sebagai sarana penyebaran, warga melihatnya sebagai ketidakadilan yang nyata.
Asal Justifikasi
Jika sebuah aturan hukum tidak diikuti bukan berarti 100 persen kesalahan warga yang harus dicap dengan predikat pembangkang. Banyak faktor yang harus dilihat, mungkin isi aturannya, sosialisasinya, situasinya dan lain sebagainya.
Saya sepakat denga Dr Sholikh bahwa telah terjadi erosi ideologi di Muhammadiyah oleh paham-paham lain yang terus menggerogoti jamaah, dan itu telah terjadi secara masif sejak awal reformasi hingga hari ini.
Namun khusus kasus pandemi covid-19 agaknya butuh penelitian yang lebih dalam dan luas supaya tidak terjebak pada justifikasi yang menyakiti warga sendiri. Jangan asal tuding pembangkang kepada jamaah.
Tulisan ini sama sekali bukan untuk mendegradasi maklumat PP Muhammadiyah yang memang bertujuan baik melindungi warganya dan ikut memutus mata rantai penyebaran covid. Karena yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah sangatlah luar biasa.
Namun lebih pada kritik dan evaluasi bahwa sesuatu yang baik terkadang terkendala oleh faktor-faktor teknis yang serius. Jika salah penanganan justru memperlemah jamaah yang pada gilirannya tergiur oleh ideologi lain yang dianggap lebih bijaksana dalam menangani masalah.Wallahu’alam bi al shawab. (*)
Editor Sugeng Purwanto