PWMU.CO – Aktivis Muhammadiyah dan Aisyiyah Solokuro, Kabupaten Lamongan, bertekad untuk mengubah wajah daerahnya. Solokuro, dulu sering dikaitkan dengan berita tentang terorisme akibat keterlibatan beberapa warganya dalam aksi terorisme dan bom bunuh diri di sejumlah daerah. Kini warga Solokuro terus berbenah untuk mengubah citra negatif itu. Dunia harus mengenal Solokuro sebagai daerah yang religius, toleran, dan berbudaya. Warga Solokuro harus maju dan ramah dengan perbedaan.
Itulah bagian komitmen yang dikemukakan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Solokuro, Achmad Nafik SH MPd. Pernyataan senada juga dikemukakan Ketua Pimpinan Ranting (PRM) Solokuro, Drs Lukman Hakim SH. Penegasan dua pentolan Muhammadiyah Solokuro ini disampaikan dalam rangkaian pembukaan Musyawarah Ranting (Musran) bersama Pimpinan Ranting Muhammadiyah dan Aisyiyah Solokuro pada Ahad (2/10).
(Baca: Inilah Empat Syarat Dakwah yang Ramah)
Acara yang dihelat di kompleks Perguruan Muhammadiyah Solokuro ini dihadiri sekitar 500 peserta. Hadir juga utusan ranting di daerah sekitar. Tampak hadir Ustadz Jakfar Shodiq, Mudir Pondok Pesantren Al-Islam, Tenggulun. Ustadz Jakfar ini adalah kakak dari Imam Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron. Publik tentu sangat mengenal tiga figur ini karena nama mereka dulu menghiasi media massa dalam pemberitaan terorisme.
Untuk meminimalkan wajah kelam Solokuro, aktivis Muhammadiyah memelopori pendidikan seni dan budaya di sekolah. Hasilnya, anak didik Muhammadiyah dan aktivis Nasyiatul Aisyiyah (NA) begitu piawai menampilkan aneka musik dan budaya Islami. Bahkan aktivis NA kini memiliki grup paduan suara; Dinar Voice. Grup paduan suara ini begitu terkenal di Kecamatan Solokuro dan sekitarnya.
(Baca juga: Dituding Sektarian, Ternyata Mendikbud sudah Lama Praktikkan Sikap Multikultural)
Hadir memberikan tausiah Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim, Dr Biyanto. Dalam tausiahnya, Biyanto menyambut baik komitmen aktivis Persyarikatan untuk menampilkan wajah Muhammadiyah yang lebih berbudaya. Biyanto mengingatkan, Muhammadiyah sejatinya merupakan gerakan dakwah. Dan, karakter gerakan dakwah seharusnya mengajak. “Dakwah Islam harus disampaikan dengan mudah dan mengembirakan. Dengan begitu, dakwah Muhammadiyah tidak boleh disampaikan dengan cara menakut-nakuti atau membuat umat semakin jauh dari majelis taklim,” ajak Biyanto.
Dosen UINSA Surabaya ini menambahkan, pilihan aktivis Persyarikatan Solokuro menampilkan wajah Islam yang berbudaya terasa sangat tepat. Bukan hanya menghilangkan kesan masa lalu Solokuro dengan insiden radikalisme dan terorisme, melainkan untuk memperkokoh dakwah kultural Muhammadiyah.
(Baca juga: Dirobohkannya Masjid Kami, Sebuah Kisah Nyata Intoleransi Mayoritas pada Minoritas)
“Teladan Solokuro untuk menampilkan wajah Muhammadiyah yang ramah dengan kebudayaan ini bisa menjadi inspirasi aktivis Persyarikatan daerah lain. Jika virus dakwah kebudayaan Solokuro tersebar, maka Muhammadiyah tidak lagi dipandang sebagai gerakan antikebudayaan,” kata Biyanto.
Harus diingat, kata Biyanto, Muhammadiyah juga merupakan gerakan kebudayaan. Maka, yang harus dikedepankan adalah mengganti kebudayaan lama yang tidak Islami menjadi kebudayaan baru yang lebih Islami. “Langkah ini penting karena umat begitu merindukan tampilnya budaya Islami.” (MN)