PWMU.CO – Peristiwa Penting sebelum Wahyu Pertama Turun. Apa yang menarik sebelum wahyu turun kepada Nabi Muhammad SAW? Kejadian apa yang perlu mendapat catatan penting seputar turunnya wahyu pertama?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dikemukakan, mengingat wahyu pertama adalah saat “peresmian” kerasulan Muhammad SAW.
Mimpi Kebenaran
Enam bulan sebelum wahyu pertama turun, Nabi Muhammad selalu mendapat mimpi-mimpi. Aisyah memberi keterangan, “Yang pertama sekali mendahului kedatangan wahyu kepada Rasulullah adalah mimpi-mimpi yang benar. Setiap mimpi beliau selalu terbukti (kebenarannya) secara nyata, seterang cahaya di pagi hari.
Setelah itu beliau terdorong untuk menyendiri (bersemedi), bertempat di Gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Dan kembali lagi kepada keluarganya untuk mengambil bekal bersemedi berikutnya. Hingga suatu ketika datang kepada beliau al-Haq, kebenaran mutlak, yaitu dengan datangnya malaikat yang menyampaikan “Igra’ dan seterusnya.” (HR Imam Bukhari)
Mengapa Nabi Muhammad SAW sering mendapatkan mimpi sebelum menerima wahyu pertama? Menurut para psikolog Muslim, mimpi-mimpi itu dimaksudkan untuk meyakinkan Nabi akan adanya informasi yang benar. Dan yang dapat diperoleh manusia melalui cara yang tidak biasa atau dengan kata lain adanya yang dinamai divine revelation.
Sebab, mimpi merupakan salah satu cara Tuhan untuk memberikan informasi kepada manusia, sebagaimana mimpi-mimpi Nabi Ibrahim dan Nabi Yusuf (baca Yusuf dan as-Shafat 102-103).
Beberapa waktu menjelang turunnya wahyu pertama, Nabi Muhammad SAW sering kali mendengar suara yang berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah pesuruh Allah (Rasulullah) yang benar.”
Tafsir Mimpi
Dan ketika Nabi mengarahkan pandangan mencari sumber suara itu, beliau mendapati seluruh penjuru telah dipenuhi oleh cahaya yang gemerlap dan hal ini mencemaskan beliau sehingga dengan tergesa-gesa beliau menemui istri tercinta, Khadijah.
Khadijah menyarankan Nabi menemui Waraqah bin Naufal, seorang tua yang mempunyai pengetahuan tentang agama-agama terdahulu.
Dalam pertemuan tersebut terjadilah dialog. “Dari mana engkau mendengar suara tersebut?” tanya Waraqah.
“Dari atas,” jawab Nabi.
Waraqah berkata lagi, “Yakinlah bahwa suara itu bukan suara setan, karena setan tidak akan mampu datang dari arah atas, tidak pula dari arah bawah. Suara itu adalah suara dari malaikat.” (Baca: M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Pustaka Hidayah. Jakarta: 1997).
Dalam al-Quran surat al-Araf ayat 17 disebutkan sumpah iblis untuk mengoda manusia dari empat penjuru: muka, belakang, kanan, dan kiri. Tanpa menyebutkan arah atas atau bawah.
Arah atas diartikan oleh sebagian ulama sebagai arah ketinggian dan keagungan Tuhan serta rahmat-Nya. Arah bawah sebagai lambang kerendahan dan ketaatan manusia dalam memperhambakan diri kepada-Nya.
Seseorang tidak akan terkecoh dan dipengaruhi oleh rayuan setan selama ia menengadah ke atas mengakui Kemahaagungan Allah SWT atau sujud di tanah mengakui kelemahan dan kebutuhan kepada Zat Yang Mahatinggi itu.
Menyendiri di Hira
Sejarah mencatat, sebelum menerima wahyu pertama Nabi Muhammad SAW punya kebiasaan melakukan tahannuf atau tahannuth (berasal dari kata hanif yang berarti ‘cenderung kepada kebenaran’). Yaitu kebiasaan mengasingkan diri dari keramaain orang.
Dalam ber-tahannuth itu Nabi ber-khalwat dan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan bertapa dan berdoa. Dengan tahannuth beliau melakukan perenungan tentang alam dan kekuatan besar yang ada di baliknya.
Nabi juga memberi makan orang-orang miskin yang datang kepadanya. Initnya beliau dalam proses pencarian kebenaran.
Apa yang menarik dari perilaku menyendiri beliau di Gua Hira’ itu? Pertama, kata kuncinya adalah “jiwa suci”. Wahyu, Nur Ilahi, atau ilham baru bisa didapat oleh orang yang jiwanya telah suci.
Kedua, “jiwa suci” baru didapatkan seseorang jika ia mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, mendekatkan diri kepada Tuhan baru bisa dilakukan jika seseorang “menjauhi” hiruk-pikuk kebendaan.
Kematangan Usia
Sejarah mencatat, saat menerima wahyu usia beliau mencapai empat puluh tahun. Apa maknanya? Usia empat puluh tahun adalah puncak kematangan seseorang. Oleh karena itu, konon, para rasul diutus pada usia tersebut.
Kematangan usia ini didukung pula oleh kematangan pribadi yang telah diuji oleh terbentuknya keluarga yang telah dijalani beliau sejak usia dua puluh lima tahun, dengan mempersunting Khadijah dan kemudian dikaruniai anak-anak.
Apa maknanya? Pertama, seorang bisa dikatakan matang (untuk memimpin), jika ia sudah teruji dalam kepemimpinan di keluarga. Bagaimana ia akan memimpin umat, memimpin dunia, jika ia belum teruji dalam kepemimpinan keluarga.
Kedua, keluarga adalah miniatur masyarakat. Seorang pemimpin akan menjadi contoh masyarakat tentang kehidupan yang baik. Bagaimana ia akan berbicara tentang istri shalihah, jika ia tidak beristri—sebagaimana konsep tidak kawinnya pendeta atau pastur. Sulit pula diterima akal jika seorang berbicara tentang pendidikan anak tanpa ia sendiri pernah melakukannya secara real.
Dalam perjalanan penerimaan wahyu, kita juga akan menemukan betapa peran penting Khadijah ketika Nabi Muhammad SAW sedang “terkejut” saat menerima wahyu.
Khadijah yang menghibur dan memberikan alternatif penyelesaian masalah dengan memberi saran untuk bertanya pada Waraqah bin Naufal.
Ini sekaligus memberi makna ketiga, bahwa dalam memperjuangkan risalah peran pendamping (suami/istri) memegang peranan penting. (*)
Peristiwa Penting sebelum Wahyu Turun; Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.