PWMU.CO– Anak Sunan Kalijaga bernama Pangeran Panggung ternyata perilakunya sangat ekstrem dan radikal. Menantang kemapanan agama Islam yang dipahami orang hanya luarnya.
Nama asalnya Syarif Abdurrahman. Pemahamannya tentang Islam dinilai sesat. Sama seperti Syekh Siti Jenar. Dia disidang oleh ulama dan dijatuhi hukuman mati. Ajaran anak Sunan Kalijaga ini berbeda dengan bapaknya yang akomodatif dengan tradisi.
Kisah ini ditulis oleh Widji Saksono dalam buku Mengislamkan Tanah Jawa. Pangeran Panggung, anak Sunan Kalijaga dengan Retna Siti Jenab, saudara perempuan Sunan Gunung Jati.
Dia berpaham tasawuf berguru kepada Syekh Siti Jenar. Menurut dia, beragama itu harus menangkap substansinya. Bukan syariat dan fikih semata.
Dia menjadi kritis dan beroposisi terhadap para wali dan Sultan Demak sejak gurunya Syekh Siti Jenar dihukum mati. Pesantren dan ajaran wihdatul wujud diteruskan olehnya. Cara dakwahnya radikal dan kasar seperti membawa anjing ke masjid.
Mengutip dari Babad Semarang yang diterjemahkan oleh DA Rinkes, mengisahkan, Pangeran ini punya dua anjing. Diberi nama Tokid dan Iman. Dua anjing ini dibawa masuk ke Masjid Jami Demak. Berlarian dan bermain di dalam masjid.
Akibatnya Kesultanan Demak geger. Karena perilakunya itu mengotori kesucian masjid, melanggar ajaran Islam, dan sembrono. Dia ditangkap lalu dihadapkan kepada sidang para ulama. Putusannya hukuman mati. Eksekusinya diserahkan kepada Sultan Demak.
Tapi dia lolos dari hukuman mati. Dia terus mengajarkan tasawuf di daerah Tegal dan Brebes hingga meninggalnya. Makamnya ada di Kelurahan Panggung, Tegal. Dari situlah dia mendapat sebutan Pangeran Panggung atau Sunan Panggung.
Kisah Pangeran Panggung
Teks babad yang ditulis ulang oleh DA Rinkes berkisah seperti ini
Kocapa jeng Sunan Kudus/tuwin sunggung para wali/matur Kanjeng Sultan Demak/perkawis kang paman menggih/Pangeran Panggung kersanya/sangat amurang agami/Sultan Demak ngandikarum/paran ta sulayaneki/jeng Sunan Kudus turira/menawi melebet masjid/sagawone kalih milwa/pun Iman kalawan Tokid/Guyon aneng jro masjid gung/saran dipun orak arik/Kanjeng Sultan angandika/para rembagira samai/kang para wali aturnya/prayogi dipun besmi/Kinisas neng alun-alun, Jeng Sultan sigra parentah/dumateng rekyana patih/sadya kayu duk lan lenga/tan adangu wus rumanti./
Jika diringkas artinya, Sunan Kudus dan para wali melapor kepada Sultan Demak tentang perilaku dan ajaran yang menodai agama Islam. Seperti masuk masjid dengan dua anjingnya yang dinamakan Tokid dan Iman. Bermain dalam masjid agung hingga porak poranda. Sultan meminta para wali bermusyawarah. Para wali mengatakan, harus dihukum mati di alun-alun. Sultan memerintahkan patih mengumpulkan kayu duk dan minyak tanpa belas kasihan lagi.
Dalam kisah lain disebutkan hukuman mati dibakar ini tak membuat Pangeran Panggung mati. Malah dia dan anjingnya bermain-main di bara api. Dalam api yang berkobar dia meminta kertas dan pena lalu menulis kitab bernama Suluk Malang Sumirang.
Suluk Sumirang dan Isinya
Isi suluk ini mengkritik orang Islam yang hanya patuh syariat dan suka mengafirkan orang yang tak mengerjakan syariat. Padahal substansi beragama itu mestinya paham tentang dzat Allah. Bukan pada teks.
Motif penulisan suluk ini hampir sama dengan Serat Darmogandul danGatholoco. Bedanya dua serat terakhir ini ditulis oleh kelompok pra Islam yang agamanya tersisih sejak berkembangnya agama Islam. Sedangkan Suluk Malang Sumirang karena perbedaan paham madzhab Islam.
Hilmy Firdausy dalam tulisannya tentang Suluk Malang Sumirang mencontohkan bait-bait sindiran itu seperti ini
Akathah wong ngrempelu/ tata lapal kang den rasani/ sembayang lan puasa/ kang tansah den-gunggung/ den senggih anyelamena/ sumbalinga awuwuh andurbalani/akeh dadi brahala.
Banyak orang omong kosong/makna harfiah yang diperhatikan/ sembahyang dan puasa/ yang senantiasa dihitung/ dianggap dengan itu menjadikannya Islam/ padahal itu dapat membahayakan/ sebab bisa menjadi berhala.
Dusa gung alit kang den ajrihi/ujar kupar kapir kang den gulang/ kalal karam kang denane/ sembayange tan surut/ puasane den ati-ati/ tan ayun kaselapan/ karingkes ing ukum/ kaya uga tumekaa/ sembah puji sembayange rina wengi/ pengrasane wus nata.
Dosa besar dan kecil yang ditakuti/ kata kufar kafir yang hanya dipelajari/ halal haram yang dijaga/ sembayang tidak berhenti/ puasa tertib dikerjakan/ tidak ingin melalaikan/ sibuk terjebak aturan/ seperti berharap segera tiba/ bersembayang siang-malam/ anggapannya sudah benar
Daluwange ana rong pedati/ dene mangsine rong genthong ana/ nora nana wekasane/ den alir dipun urut/ anggung gawe pating barigi/ arebut mumuradan/ tan ana kang mundur/ kupur kinupurken samya/ dangu-dangu salang gepyok ing kulambi/ dadi pinisah katah.
Kertasnya dua pedati/ tintanya dua gentong/ tidak ada batasannya/ diikuti dan dituruti/ terburu-buru dalam segala sesuatu/ Berebut tafsir/ tidak ada yang mengalah/ saling mengafirkan/ lama-lama bertikai/ dilerai banyak orang. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto