Perubahan Sunnatullah oleh Qada Tasyrii ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.
PWMU.CO – Untuk menunjukkan kemahabesaran-Nya, Allah menurunkan ayat-ayat-Nya. Baik yang tertulis dalam Kitab Suci maupun yang tak tertulis, yang terhampar di alam semesta. Kedua ayat ini saling berkaitan, integral, tak bisa dipisahkan, dan punya hubungan kausalitas.
Ayat-ayat yang tertulis—meminjam Jalaluddin Rakhmat—disebut pula qada tasyri’i yang memiliki ciri yang khas. Di antaranya kita tidak bisa mengubahnya. Terhadap hukum-hukum Allah yang telah disyariatkan, kita tidak bisa mengubahnya. Namun begitu kita diberi kebebasan untuk taat atau melanggarnya.
Seperti shalat Subuh dua rakaat. Itu qada tasyri’i. Kita tak bisa mengubahnya—misalnya karena ingin lebih lama dalam bermunajat pada Allah—menjadi delapan rakaat.
Atau haji tempatnya sudah ditetapkan di Mekkah dan sekitarnya (Mina, Arafah). Tidak bisa kita mengubahnya, misalnya agar lebih eksotik dilakukan di Gunung Bromo.
Ambil contoh lainnya soal hukum pernikahan. Kita tidak dapat mengganti hukum pernikahan dengan perkawinan sejenis. Sebab hukum pernikahan sudah qath’i (ditetapkan syariat). Tidak bisa diubah misalnya karena dianggap sudah ketinggalan zaman. Tapi mari kita perhatikan, banyak yang taat untuk mengikuti hukum itu, tapi banyak pula yang melanggarnya.
Sementara itu, ayat-ayat tak tertulis disebut qada takwini. Kebalikan dari qada tasyri’i, kita tidak bisa melanggar qada takwini. Kita terseret oleh ketentuan ini, mau tidak mau. Tidak ada pilihan taat atau melanggar. Itulah hukum-hukum Allah pada alam semesta, yang sudah pasti, terukur, dan objektif.
Misalnya api itu membakar; air akan mendidih dalam suhu 100 derajat celsius dalam tekanan 1 atm; benda akan jatuh terseret gravitasi bumi. Dalam pembahasan lain, inilah yang disebut sunnatullah. Dia bersifat tetap dan tidak berubah
Namun begitu, kita bisa “memengaruhi” Allah untuk mengubah sunnatullah atau qada takwini. Misalnya dengan doa atau dengan ketataan atau pelanggaran kita terhadap qada tasyri’i. Itu akan memengaruhi baik tidaknya qada takwini dalam kehidupan kita.
Api yang bersifat membakar itu ternyata tidak membakar Nabi Ibrahim, karena kekuasaan dan rahmah Allah pada kekasihnya itu: Ibrahim sang khalilullah. “Kami berfirman: ‘Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.'” (al-Anbiya: 69).
Itulah yang disebut mukjizat, yang sebenarnya bukan bentuk perubahan sunnatullah. Baca Mukjizat, Menyalahi Sunatullah?
Kausalitas Qadha Tasyri’i dengan Qadha Takwini
Hubungan kausalitas qada tasyri dengan qada takwini ini rumusnya bisa kita dapatkan dalam al-Quran, misalnya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (at-Taubah 96)
Beriman dan bertakwa adalah cermin ketaatan pada qada tasyri’i. Ketaatan itu akan berbuah pada qada takwini yang baik, berupa limpahan berkah dari langit dan bumi.
Contoh lainnya kita dapati dalam Ibrahim 7: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku). Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'”
Bersyukur adalah tanda ketaatan pada qadh tasryi’i, dia akan menyebabkan tambahan nikmat. Sebaliknya kufur adalah pelanggaran terhadap qada tasyri’i, dan dia akan menyebabkan datangnya azab.
Bercermin Umat Terdahulu
Nah, mari kita perhatikan bagaimana sejarah peradaban umat-umat terdahulu yang hancur oleh pelanggaran-pelanggaran terhadap qada tasyri’i. Kaum Nabi Luth yang melangar syariat pernikahan dengan melakukan perkawinan sejenis, maka Allah mengazab mereka.
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini karena mereka berbuat fasik.” (al-Ankabut 34)
Demikian juga kaum Madyan yang Allah telah mengutus Nabi Syu’aib. Tetapi karena mereka mendustakannya, maka Allah memberi azab berupa gempa.
“Maka mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka.” (al-Ankabut 37).
Kaum ‘Aad dan Tsamut juga mengalami nasib yang serupa. Mereka melanggar qada tasyri’i, mereka melanggar hukum-hukum syariat. Maka Allah akan mengubah qada takwini, yaitu hukum-hukumnya di alam, yang semula serasi menjadi bencana.
Tentu ini menjadi pelajaran bagi kaum beriman, bahwa ketataan atau pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah yang tertulis dalam al-Quran dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam as-Sunah akan sangat berpengaruh pada baik buruknya kehidupan kita.
Maka menjadi pertanyaan introspektif, apakah wabah Covid-19 ini bagian dari musibah qada takwini akibat ketidaktaatan kita pada qada tasyri’i?
Waalu a’lam! (*)
.