Surat adh-Dhuha, terdiri dari 11 ayat. Berikut terjemahannya:
Demi waktu matahari sepenggalahan naik (1); dan demi malam apabila telah sunyi (gelap) (2); Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu (3); Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) (4).
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas (5); Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? (6); Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk (7).
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan (8); Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang (9); Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. (10); Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan (11).
PWMU.CO – Surat adh-Dhuha membawa pesan moral kepada umat Islam untuk memedulikan wong cilik dan membebaskan mereka dari kesewenang-wenangan atau kelaliman.
Dengan pesan moral itu—mengutip KH Sjahroji Bisri— untuk menjadi ‘sosialis’, tak perlu jauh-jauh belajar pada Che Guevara. Tapi cukup mengkaji dan mengamalkan al-Quran, khususnya surat adh-Dhuha.
Che Guevara adalah pemimin gerilya dari Kuba, yang oleh anak-anak muda sekarang dijadikan idola sebagai tokoh pembebasan. “Tapi misi Islam beda dengan teologi pembebasan. Islam mengenalkannya sebagai jihad fi sabilillah. Bedanya, ada pedoman syariat yang dicontohkan Nabi Muhammad,” kata Sjahroji Bisri.
Teologi Pembebasan Islam
Menurut dia, ayat ke-9 dan ke-10 adh-Dhuha adalah tafsir pembebasan Islam untuk wong cilik itu. Faammalyatima fala takhar, maka adapun pada anak yatim janganlah kamu merasa memiliki kekuasaan penuh (sewenang-wenang). Yakni dengan cara mengambil hartanya atau selain itu. Waammassaila fala tanhar, dan adapun terhadap orang yang meminta-minta jangan kamu mencampakkan (menghardik).
Pada dua ayat ini anak yatim dan peminta-minta adalah simbol dari orang-orang yang lemah. Bahasa ideologinya, wong cilik.
Mengapa dua ayat itu (9-10) didahulukan, baru perintah dakwah pada ayat 11? Menurut Sjahroji Bisri karena sedekah lebih utama. “Maka harus didahulukan. Sedangkan hak Tuhan (dakwah) dilakukan belakangan, karena (sebenarnya) Tuhan tidak butuh,” ujarnya.
Maka pada ayat ke-11, Faamma binikmati rabbika fahaddist, dia menerjemahkan, “Adapun dengan nikmat (kelebihan) Tuhanmu, maka ceritakan atau akhbir (kabarkan).”
Menurutnya, ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mendakwahkan atau mengabarkan risalah kenabian. Yang dimaksud nikmat di sini adalah risalah kenabian (alaika binnubuwwah).
Memang ada yang menafsirkan nikmat di sini berupa kelebihan harta benda, sehingga cara menceritakannya adalah dengan menyedekahkan sebagian nikmat itu pada yang lain. “Tafsir itu juga boleh,” katanya.
Shalat Dhuha dan Tahajud
Surat adh-Dhuha merupakan surat ke-10 berdasarkan turunnya wahyu. Turun saat Nabi SAW dan Sahabat masih dalam masa penindasan. Surat ini didahului dengan sumpah terhadap waktu pagi (adh-dhuha) dan waktu malam (al-lail).
Mengutip Tafsir Jalalain, adh-Dhuha, kata Sjahroji Bisri, berarti waktu saat matahari sudah ada. Waktu dhuha itu dijanjikan. “Seperti ketika Allah menolong Nabi Musa saat berhadapan dengan tukang sihir. Itu terjadi saat dhuha,” jelasnya. “Artinya ini waktu pertolongan Allah. Karena itu perbanyaklah shalat Dhuha. Insyaallah banyak rejekinya.”
Sedangkan wallaili, demi malam, bermakna jika malam telah hening, sunyi. “Itu saat shalat malam,” dia menafsirkan. Sjahroji Bisri menympulkan, shalat malam adalah tharikat Rasululullah. “Tharikat Rasulullah itu sederhana. Tidak menarik perhatian. Itulah shalat malam,” katanya. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.