PWMU.CO – Era Malik Fadjar kampus sudah merdeka dalam hal otonomi dan demokratisasi. Keduanya mendapat porsi lebih besar tanpa banyak campur tangan kementerian.
Demikian pernyataan Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra dalam Zoominar Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) bertema Mengenang Prof Abdul Malik Fadjar, Kamis (10/9/20).
Dalam kegiatan virtual melalui Zoom dan streaming YouTube tersebut, Prof Azra, panggilan akrabnya menyatakan, pemikiran Prof Malik Fadjar dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal. “Pertama tentang reformasi pendidikan. Kedua adalah multikulturalisme. Dan ketiga yaitu pengarus-utamaan pendidikan tinggi agama Islam,” ujarnya.
Otonomi Kampus Era Pak Malik
Dalam reformasi pendidikan misalnya, kata Prof Azra, saat Pak Malik menjabat Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) beliau menekankan pada tiga hal, yaitu pemberian otonomi kampus yang lebih besar, demokratisasi, dan akuntabilitas.
“Pemberian otonomi yang lebih besar bisa dilihat dari tidak banyak campur tangan dari kementerian, termasuk dalam hal demokratisasi pemilihan rektor. Senat universitas diberikan kewenangan seutuhnya,” ungkapnya.
Dalam hal akuntabilitas, lanjut dia, Pak Malik tidak hanya menekankan pada administratif, namun juga pada nilai moral dan etis.
“Jadi misalnya, ada seorang pejabat yang bepergian dengan surat tugas fiktif maupun SPPD (surat perintah perjalanan dinas) yang tidak dilakukan. Nah, pada era Pak Malik ada penekanan pada akuntabilitas moral dan etik, bukan hanya administratif,” paparnya.
Penyerderhanaan Kurikulum
Reformasi pendidikan, terutama di pendidikan tinggi, ungkap Prof Azra, selanjutnya adalah tentang penyerderhanaan kurikulum. “Pak Malik itu ingin kurikulum di bidang pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi disederhanakan. Maksudnya, mata pelajaran atau mata kuliah ‘recehan’ itu dihapuskan aja,” ungkapnya.
Dia lalu mencontohkan pasca kepemimpinan Pak Malik, apa yang dipikirkan Kemendikbud seperti bela negara menjadi kurikulum pelajaran. Contohnya kewajiban bela negara yang akhirnya menjadi kurikulum.
“Maka tak heran, jika anak didik kita menjadi ‘mencret’ alias stres. Kerjaannya menjadi perundung dan mem-bully teman-temannya atau tawuran. Pak Malik mintanya disederhanakan, yaitu cukup tiga sampai empat mata kuliah saja dalam satu semester. Sehingga belajar itu menjadi menyenangkan, bukan penyiksaaan,” paparnya.
Memerdekakan Kampus Swasta
Azra lalu menyebut sumbangsih lainnya dari Prof Malik Fadjar adalah memerdekaan perguruan tinggi swasta dengan tidak perlu mengikuti ujian tinggi negeri. “Dulu kampus swasta itu ‘disiksa’ oleh yang namanya Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) dan Kopertais (Koordinasi Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta),” ungkapnya.
Menyiksanya, kata dia adalah dengan ujian negara. Dan itu diharuskan membayar dan memberikan semacam servis dan pelayanan. Ijazahnya juga membayar dan ditandatangani rektor dari perguruan tinggi negeri.
“Nah, itu dihapuskan semua oleh Pak Malik. Jadi ijazah kampus swasta cukup ditandatangani oleh rektor perguruan tinggi swasta itu. Tidak ada lagi ujian negara, cukup ujian lokal masing-masing. Tapi tetap melaporkan dengan parameter yang harus tetap dicapai dalam ujian tersebut. Itulah sumbangsih Pak Malik, luar biasa itu,” terangnya.
Terjadi ‘Kolonialisasi’
Sepeninggal Pak Malik dari Mendiknas, ungkap Azra, ada semacam ‘kolonialisasi’ yang dialami dosen di perguruan tinggi. “Setelah Pak Malik tidak menjabat, terjadi birokratisasi luar biasa di perguruan tinggi. Semua dosen harus fingerprint. Itulah ‘kolonialisasi’, dijajah oleh kementerian baik Kemendikbud maupun Kementerian Agama.
Pemilihan rektor tidak lagi sepenuhnya otonom, tapi ada 35 persen suara menteri sampai sekarang. Kalau di Perguruan Tinggi Agama Negeri itu malah 100 persen ditentukan oleh menteri agama. Lebih gila lagi. Lebih tidak ada lagi otonominya,” ungkapnya.
Maka menurutnya, perguruan tinggi di Indonesia tidak akan maju jika masih seperti itu. Apalagi yang disampaikan Kemendikbud sekarang tentang Kampus Merdeka, itu hanya jargon dan gimmick, tidak jelas arahnya. “Apa yang dimaksud kampus merdeka juga tidak jelas. Padahal katanya membebaskan para dosen dari birokratisasi, ternyata sudah satu tahun berjalan tidak ada perubahan apa-apa. Tetap saja para dosen disiksa Kemendikbud dan Kemenag. Itulah nasib kita pasca Pak Malik,” ujar dia.
Solidaritas Multikulturalisme
Pemikiran kedua Pak Malik adalah penekanan pada multikulturalisme. Azra menuturkan, walaupun latar belakangnya Muhammadiyah, tapi Prof Malik Fadjar sangat inklusif. “Beliau sering mengundang saya dalam seminar-seminar multikulturalisme dan pendidikan. Bagaimana membangun solidaritas multikulturalisme itu diantara suku yang beragam dan majemuk,” kata Azra.
Menurutnya ini agak aneh, karena biasanya kelompok yang dominan itu biasanya enggan bicara multikulturalisme, karena itu dapat mengurangi hak mayoritas.
“Di Amerika itu, mereka yang mayoritas disebut WASP (White Anglo-Saxon Protestant). Mereka cenderung menolak multikulturalisme. Nah, Pak Malik latar belakangnya kaum muslimin, Islam mayoritas di Indonesia. Kalau bergerak di bidang multikulturalisme, maka bergerak menghargai hak-hak minoritas,” jelasnya. Pak Malik, sambungnya, tidak mengalami ketakutan seperti halnya yang dialami mayoritas Amerika maupun Eropa itu.
Pengarus-utamaan PTAIN
Sementara pemikiran ketiga adalah tentang pengarus-utamaan perguruan tinggi agama Islam. Dulu, anggaran satu IAIN itu sama dengan satu fakultas di Universitas Indonesia (UI). Pak Malik-lah yang memperjuangkan perbaikan anggaran itu ketika beliau menjadi Dirjen pada 1996-1997,” ungkap dia.
Termasuk, kata Azra, dalam hal pembebasan kampus cabang perguruan tinggi agama. Seperti STAIN yang kemudian berkembang menjadi IAIN. Dalam hal UIN itu Pak Malik yang memperjuangkan. Mulai dari membawa surat-suratnya ke Menpan, Menag, hingga ke Presiden Ibu Megawati.
“Dimulai dari UIN Jakarta, lalu Yogya, Semarang, dan Malang, di situlah terjadi pengarus-utamaan perguruan tinggi agama Islam, yang tadinya hanya belajar agama, sekarang juga belajar umum. Maka terjadi integrasi ilmu agama dan umum. Dengan adanya UIN itulah mahasiswa tidak hanya belajar ilmu agama, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi bangsa dan negara,” ujarnya. (*)
Era Malik Fadjar Kampus Sudah Merdeka. Penulus Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni