PWMU.CO– Noer Sidik, perobek bendera di Hotel Yamato. Cerita itu semula tak diketahui oleh Sri Soekarti (70). Dia tak mengira ayahnya itu salah satu pelaku perobekan bendera Belanda di hotel yang sekarang bernama Hotel Majapahit Jl. Tunjungan Surabaya. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 19 September 1945.
”Saat saya kecil, bapak sering bercerita kisah para nabi. Tak pernah bercerita tentang peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato itu,” kata Sri Soekarti ketika ditemui di rumahnya Kaliasin VIII pekan lalu.
Ia baru mengetahui setelah guru mengajinya di Masjid Sholeh, Mat Yasin Wisatmo, yang bercerita peran bapaknya di peristiwa itu. Mat Yasin Wisatmo adalah aktivis Muhammadiyah Surabaya menantu Kiai Usman, pendiri masjid di Kaliasin itu.
Hingga kini perobek bendera di Hotel Yamato diklaim pelakunya hanya Hariyono dan Koesno Wibowo. Hariyono pengawal Residen Sudirman dan Koesno Wibowo, aktivis pemuda dari Peneleh Surabaya. Dalam foto dokumentasi tampak ada empat orang di menara tempat bendera hotel. Salah satu di antara orang-orang itu adalah Noer Sidik, arek Muhammadiyah Kaliasin.
Dia menikah dengan Mustama, anggota Aisyiyah. Dari pernikahannya mereka dikaruniai lima anak. Yaitu Sri Soekarti, Hartono, Vamuji, Mamik Nuriyati, dan Man Hadi.
Jatuh dari Hotel Yamato
Mukti Hari, sesepuh kampung Kaliasin, menceritakan, pada masa pendudukan Jepang, Noer Sidik aktif sebagai pemuda Masjid Sholeh. Dia ikut latihan bela diri bersama pemuda-pemuda lainnya di Kaliasin dengan guru silat Kiai Usman.
Saat perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, sambung dia, Pak Noer Sidik terjatuh waktu turun. Lantas dibawa ke Rumah Sakit Simpang. ”Lukanya cukup parah. Ada patah tulang. Butuh waktu lama untuk menyembuhkan. Sampai akhir hayatnya, dia masih merasakan rasa nyeri bekas lukanya,” tutur Mukti Hari.
Dia menjelaskan, cerita ini harus dibuka agar banyak orang tahu bahwa arek Muhammadiyah Kaliasin juga berada di atas Hotel Yamato ikut merobek bendera Belanda menjadi merah putih. Jadi bukan hanya dua orang, Haryono dan Koesno Wibowo. Ada Noer Sidik agar namanya ditulis dalam sejarah.
Dia menegaskan mendapat cerita itu dari bapaknya, Mat Yasin Wisatmo. “Bapak saya ikut hadir di peristiwa 19 September itu dan menyaksikan sendiri Noer Sidik naik menara bersama pemuda lainnya,” tandasnya.
Menurut dia, Noer Sidik lahir di Mojokerto pada tahun 1910. Saat remaja, dia merantau ke Surabaya mengikuti saudaranya. Ia bekerja sebagai sopir di Kantor Gubernur Jawa Timur. Hingga akhirnya dia bertugas menjadi sopir Gubernur R Soerjo.
Tahun 1950-an ia pindah menjadi sopir di perusahaan koran yang bernama Djava Post di Kembang Jepun. Sekarang menjadi Jawa Pos. Ini tempat kerjanya terakhir hingga meninggal dunia karena penyakit jantung tahun 1965. (*)
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto