Kisah Rezeki di Tangan Tuhan ditulis oleh Bahrus Surur-Iyunk, Guru SMA Muhammadiyah I Sumenep; penulis buku-buku motivasi Islam.
PWMU.CO – Suatu hari Abu Abdurrahman ibn Unwan Hatim Al-Asham mengutarakan keinginannya kepada istri dan sembilan putrinya.
Ulama zahid kelahiran Balkh yang masyhur di Baghdad pada abad ke-9 Masehi itu ingin pergi menuntut ilmu lagi. Mendengar hal itu istri dan anak-anaknya keberatan, karena siapa yang akan menafkahi mereka.
Namun, salah satu dari putrinya justru sebaliknya. Dengan meyakinkan dan menenangkan ia berkata, ”Biarkan ayah pergi. Beliau menyerahkan kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang Maha Pemberi Rezeki, dan tidak pernah Mati.”
Hatim pun pergi. Siang hari itu berlalu. Saat malam datang menjelang, mereka mulai lapar tetapi tidak ada makanan. Semua mulai memandang protes kepada putri 10 tahun yang telah mendorong kepergian ayah mereka.
Putri Hatim Al-Asham yang hafal al-Quran itu kembali meyakinkan, ”Beliau menyerahkan kita kepada Dzat Yang Maha Hidup, Yang Maha Pemberi Rezeki dan tidak pernah Mati.”
Kedatangan Tamu
Dalam suasana seperti itu, pintu rumah mereka diketuk. Salah seorang dari mereka membuka pintu. Di depan rumahnya tampak seorang penunggang kuda.
Orang itu bertanya, “Adakah air di rumah kalian?”
Penghuni rumah menjawab, “Ya kami memang tidak punya apa-apa kecuali air.”
Diambilnya air itu dan diberikan kepada para tamu penunggang kuda tengah malam itu.
Sang pemimpin penunggang kuda itu tiba-tiba bertanya, ”Rumah siapakah ini?”
Salah seorang putri Hatim menjawab, “Hatim Al-Asham.”
Penunggang kuda terkejut. “Hatim ulama besar kaum Muslimin itu?”
Penunggang kuda itu lantas mengeluarkan kantong berisi uang dan dilemparkan ke depan pintu rumah dan berkata kepada pengikutnya, “Siapa yang mencintai saya, lakukan seperti yang saya lakukan.”
Para penunggang kuda lainnya segera melempar kantong-kantong mereka ke rumah Hatim al-Asham, sehingga terkumpul kantong-kantong yang sangat banyak dirumah itu. Lalu, mereka pergi.
Melihat kejadian itu kini giliran putri Hatim al-Asham memandangi ibu dan saudara-saudaranya. Dia telah memberikan pelajaran akidah yang sangat mahal sambil menangis berkata, “Jika satu pandangan makhluk bisa mencukupi kita, maka bagaimana jika yang memandang kita adalah Yang Maha Pencipta.”
Belakangan diketahui bahwa penunggang kuda itu adalah Abu Ja’far Al- Manshur, sang khalifah.
Ingat Pesan Mertua
Kisah ini mengingatkan sebuah nasihat yang disampaikan oleh bapak mertua saya, Haji Musarraf.
Saat melihat saya dan istri sedang menghitung keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan komoditi polowijo, saudagar Muhammadiyah dan (kata masyarakat) orang terkaya di Kangean Sumenep pada masanya itu berujar:
“Sekuat apapun manusia berusaha, tetap saja yang menentukan dan memberikan rezeki itu hanyalah Allah. Ada orang yang kerjanya siang malam tanpa henti, tapi keadaannya juga begitu-begitu saja.
Tapi, ada orang yang sepertinya tidak bekerja dan kegiatannya hanya duduk-duduk saja, kayanya luar biasa. Makanya, bekerja sajalah ndak usah terlalu dihitung terlalu rumit.”
Kendati demikian, memasrahkan diri kepada Allah (tawakal) itu tidak berarti berdiam diri, tidak berikhtiar apapun. Ikhtiar itu ibarat sebuah gelas yang siap diisi dengan air atau rezeki oleh Allah.
Dalam sebuah hadis riwayat At-Tirmidzi dari Umar, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Andaikan kamu bertawakal (menyerahkan diri) kepada Allah dengan sungguh-sungguh, niscaya Allah akan memberi rezeki kepadamu. Sebagaimana burung yang keluar pagi dengan perut kosong (lapar) dan kembali senja hari dengan sudah kenyang.”
Artinya, keluar dari rumah di pagi hari saja sudah merupakan ikhtiar untuk menggapai rezeki-Nya. Wallahu a’lamu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.