PWMU.CO – Pembelajaran era pandemi perlu pendekatan kultural. Yakni pendekatan pada murid berbasis value yang mindful, meaningful, dan joyful.
Demikian paparan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti dalam webinar Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim bertema Rekonstruksi Kurikulum Sekolah Muhammadiyah di Masa Pandemi, Kamis (17/9/20).
Dalam kegiatan virtual via Zoom dan streaming YouTube tersebut, Abdul Mu’ti berpesan agar sekolah-sekolah Muhammadiyah Jatim tidak sekadar bertahan, tapi juga meningkatkan kualitas pendidikannya.
“Keterbatasan tidak boleh dijadikan alasan untuk menurunkan mutu dan kualitas. Keterbatasan harus bisa menjadi bagian dari peluang untuk bisa menemukan hal-hal baru, yang mungkin bisa menjadi model pembelajaran setelah Covid-19 ini berakhir,” ujarnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta tersebut mengungkapkan, rekonstruksi kurikulum mungkin merupakan solusi jangka pendek. Tapi hal tersebut dapat juga menjadi model ketika Covid-19 ini sudah berakhir. “Bisa menjadi model pembelajaran baru yang menawarkan solusi, bagaimana teknologi dapat memberi kontribusi di dalam melakukan pembelajaran yang efektif dan berkualitas,” ungkap Mu’ti.
PJJ Tak Sekadar Daring
Di dalam konsep yang telah dipahami selama ini, kata dia, kurikulum sebatas dimaknai sebagai muatan atau materi yang diberikan kepada murid. “Maka, bagaimana memang kita menciptakan sebuah konstruksi kurikulum yang diberikan itu. Tidak sekadar seperangkat materi yang selama ini sudah dirasakan sangat berat oleh murid,” tutur Mu’ti yang mengaku lebih senang menggunakan kata murid dari peserta didik, karena lebih filosofis.
Mengapa berat? Karena pembelajaran online dimaknai hanya sebatas sebagai daring. “Padahal pembelajaran jarak jauh itu tidak sebatas pembelajaran daring. Tapi bisa dalam bentuk lain misalnya modul atau penugasan-penugasan yang bisa diberikan pada murid, yang tetap dalam koordinasi dan kontrol guru dan sekolah,” papar dia.
Karena itu, sambungnya, murid tetap terkoneksi pada guru walaupun tidak ada sinyal. “Kita kan mesti mengatakan tidak ada sinyal maka tidak terkoneksi. Walaupun sebenarnya pembelajaran jarak jauh itu tetap bisa dilakukan meskipun tidak ada sinyal, kalau pemahaman kita mengenai pembelajaran jarak jauh itu tidak sebatas pada pembelajaran daring,” katanya.
Abdul Mu’ti mengatakan, kurikulum memang berisi seperangkat nilai pengetahuan dan keterampilan. Tapi yang jarang disebut adalah nilai yang melekat di antara tiga unsur kurikulum itu, yaitu materi, keterampilan, serta nilai.
“Maka kurikulum adalah seperangkat nilai pengetahuan dan keterampilan yang diterima oleh murid, sesuai dengan program atau perencanaan dari sekolah atau madrasah. Maka dari ketiga hal tadi ada nilai yang melekat,” ungkapnya.
Pembelajaran Era Pandemi Pendekatan Kultural
Maka, lanjut dia, dalam situasi sekarang ini sekolah-sekolah Muhammadiyah punya peluang untuk melakukan eksperimen atau inovasi.
“Bagaimana agar dalam situasi seperti ini, kita dapat menciptakan model-model pembelajaran baru yang menarik. Tentu kita tidak menyimpang dari ketentuan yang ada, karena seringkali ini menjadi persoalan dalam administrasi sekolah di Indonesia. Tapi dalam situasi seperti ini kita bisa lebih mengembangkan pendekatan-pendekatan yang bersifat kultural dalam pembelajaran kita,” terang Mu’ti.
Pendekatan yang bersifat kultural itu, ungkap dia, adalah mendekatkan murid dengan value atau nilai yang dimiliki. Kemudian juga dengan value atau nilai yang berkembang di masyarakat.
“Maka sikap itu menjadi penting, apabila bisa dijelaskan nilai dan arah yang menyertainya itu seperti apa yang diberikan. Sehingga pembelajaran itu tetap bisa menjadi pembelajaran yang mindful,” jelasnya.
Apa itu pembelajaran mindful? Pembelajaran yang tidak ada seseorang yang merasa tidak bermakna atau tidak dianggap keberadaannya.
“Tapi pembelajaran yang diberikan pada murid, untuk melihat persoalan dari sudut pandang yang mungkin secara kultural bisa mereka sampaikan, tanpa harus membaca teks,” kata Mu’ti.
Dia juga menambahkan, edaran Mendikbud bisa menjadi salah satu contoh kegiatan sehari-hari bisa menjadi bagian dari kurikulum. “Jadi bagaimana agar murid-murid itu tetap bisa belajar dengan kegiatan sehari-hari. Aktivitas di rumah bisa menjadi pembelajaran, kalau itu diarahkan guru-guru dengan perencanaan yang baik,” urainya.
Pembelajaran Bermakna
Yang menarik juga, kata Mu’ti, agar pembelajaran juga tetap meaningful atau yang punya makna. “Karena apa yang mereka lakukan dan pelajari itu mungkin bisa mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun dalam lingkup dan keterbatasan fisik yang pada saat ini memang harus kita patuhi,” paparnya.
Karena itu pembelajaran harus tetap menjadi pembelajaran yang joyful atau menyenangkan. Yakni ketika guru berusaha untuk merancang pembelajaran dalam berbagai bentuk yang se-variatif mungkin.
“Nah, terkadang dalam situasi Covid-19 mobilitas fisik itu sangat terbatas dan membuat orang merasa bête, beti, dan buntu. Nah, ini coba kita berikan ruang untuk bagaimana agar setiap kreativitas dan kegiatan itu bisa kita berikan makna, jika itu adalah bagian dari belajar,” pesan dia.
Sehingga, kata dia, para guru tidak merasa terkejar dan dikejar target ketuntasan minimal. “Karena selain itu tidak dituntut kebijakan pemerintah atau kementerian. Juga memang bagian dari kondisi yang memang harus kita ciptakan. Walaupun yang mereka pelajari itu sangat sedikit tapi itu meaningful, menjadi sesuatu punya makna,” jelasnya.
Mendorong Murid Belajar
Karena itulah, kemampuan untuk memilih dari sekian muatan yang ada di dalam kurikulum yang paling penting dan esensial, merupakan bagian dari upaya mendorong murid untuk belajar.
“Ini yang memang perlu upaya kreatif dari masing-masing guru di dalam satuan pendidikan. Memang ini tidak selalu mudah apalagi yang bersifat praktik atau keterampilan-keterampilan tertentu,” paparnya.
Maka dari itulah, sambungnya, kreativitas dari para guru untuk mencari sumber-sumber belajar kemudian saling berbagi pengalaman inilah yang diperlukan. Bagaimana praktik baik yang sudah berlaku dan berhasil di internal Muhammadiyah bisa menjadi bagian dari kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan kreativitas
“Sehingga tidak alasan dalam masa pandemi Covid-19 ini, menjadi pembatas kita untuk tidak melakukan kreativitas. Tetapi justru keadaan inilah yang menuntut kita untuk tetap bisa memberikan pendidikan yang bermutu, yang bisa memenuhi harapan masyarakat,” kata Mu’ti. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni