G30S, awalnya ingin memutasikan Panglima AD tapi kemudian ditumpangi kepentingan menyingkirkan jenderal anti komunis.
PWMU.CO-Zaman Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, kondisi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak solid. Pro komunis dan anti komunis. Belum lagi intrik dan kubu di masing-masing angkatan.
Perpecahan ini dituturkan dalam buku Gestapu 65 tulisan Salim Said, wartawan yang terjun meliput peristiwa tahun 1965. Dia menceritakan, setelah partai-partai anti komunis seperti Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 1960, maka yang anti komunis di pemerintahan tinggal Angkatan Darat.
Celakanya anti komunis itu berarti berhadapan dengan Presiden Sukarno yang juga memegang Panglima Tertinggi ABRI. Maka hubungan pimpinan Angkatan Darat dengan Sukarno pun memburuk. Anti komunis berarti anti Nasakom. Padahal ini program presiden.
Celakanya lagi di Angkatan Darat ada kelompok Nasution yang amat kritis terhadap sikap lunak kelompok Ahmad Yani kepada Sukarno. Juga ada kelompok Kostrad pimpinan Soeharto yang merasa dianggap remeh oleh kelompok Ahmad Yani.
Belum lagi kelompok perwira progressive revolusioner binaan Biro Khusus PKI yang juga punya pengaruh di Kodam seperti Kodam Diponegoro. Perwira ini loyal kepada Sukarno.
Kepolisian juga terpecah sehingga tidak bisa satu komando. Hanya Angkatan Udara pimpinan Marsekal Omar Dani yang relatif sangat loyal kepada Panglima Tertinggi ABRI siap berhadapan dengan Angkatan Darat.
Angkatan Laut di bawah pimpinan Laksamana Madya Martadinata berhasil menjaga hubungan baiknya dengan Angkatan Darat terutama karena Nasution, teman lama Martadinata di Bandung pada zaman Jepang.
Martadinata menjaga Angkatan Laut agar tidak diadu dengan Angkatan Darat tidaklah mudah. Di sini banyak juga pengikut fanatik Sukarno. Yang paling mencolok adalah Panglima Korps Komando Letnan Jenderal KKO Hartono. Ketika posisi presiden makin terdesak setelah
Gestapu, Jenderal KKO Hartono berkata menantang dan mengumumkan dukungannya kepada Sukarno. ”Putih kata Bung Karno, putih kata KKO, hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO.”
Pergantian Jabatan Militer
Tahun 1960, Sukarno berniat mengganti Abdul Haris Nasution dari jabatan Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Tapi mutasi pimpinan militer di zaman itu tak semudah tanda tangan SK. Nasution menolak. Dia mendapat dukungan para perwira senior Angkatan Darat. Tahun itu gagal.
Tapi pada Juni 1962 akhirnya berhasil dengan taktik halus. Sukarno menjanjikan Nasution menjadi Panglima ABRI. Nasution bersedia menyerahkan jabatan kepada Ahmad Yani sesuai keinginan Sukarno. Karena Yani sikapnya lebih lunak kepada Sukarno.
Namun saat mau mengangkat Nasution menjadi Panglima ABRI, Sukarno berkilah pimpinan angkatan lain tidak siap berada di bawah pimpinan seorang jenderal Angkatan Darat. Bilang begitu sambil menunjukkan surat Panglima Angkatan Udara Omar Dani. Nasution sadar dia terkecoh dengan omongan presiden.
Akhirnya dia harus menerima menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) tanpa garis komando ke pasukan. Hanya mengurusi adminsitrasi. Fungsi Panglima ABRI akhirnya dipegang Sukarno. Markasnya pun di istana.
Tahun 1965, Presiden Sukarno melihat Ahmad Yani makin keras menolak Nasakom. Keputusan Konfrontasi dengan Malaysia dijalankan setengah hati oleh Yani. Sebab keputusan itu usulan Subandrio yang komunis. Nasution ikutan memperkeruh keadaan dengan campur tangan mengirim pasukan ke Kalimantan Utara. Akhirnya konfrontasi ini gagal.
Presiden dengan pengaruh Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen Subandrio dan Ketua PKI DN Aidit berkesimpulan waktunya mengganti Ahmad Yani yang tak sejalan dengan misi Nasakom.
Calon penggantinya Pranoto Resksosamodra, dari Divisi Diponegoro, jenderal pro PKI. Namun muncul kekhawatiran terjadi penolakan seperti zaman Nasution. Mau melakukan taktik seperti tahun 1962, situasinya sudah lain. Tak bisa dilakukan.
Kesaksian Ajudan Presiden
Bagaimana cara mengganti Ahmad Yani dapat membaca buku The Devious Dalang tulisan Bambang Widjanarko, ajudan Presiden Sukarno pada tahun 1965.
Menurut penuturan Widjanarko, pada 4 Agustus 1965, Presiden Sukarno memanggil komandan pengawal Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung, untuk menerima perintah melaksanakan sebuah rencana. Rencana itu ternyata menculik pemimpin tentara. Itulah yang kemudian terjadi di malam G30S/PKI.
Kesaksian Widjanarko itu hasil interograsi terhadapnya. Kesaksian ini secara resmi tidak pernah diumumkan. Tidak pernah dipakai untuk menuduh Sukarno terlibat Gestapu. Bahkan sama sekali tidak pernah dipergunakan di pengadilan. Tapi dokumen itu bocor ke luar negeri kemudian diterbitkan di negeri Belanda.
Kepala Intel Kostrad tahun 1965 Yoga Sugama yakin PKI ada di balik aksi penculikan dalam G30S/PKI itu. Indikatornya Letkol Untung adalah perwira komunis sejak lama. Panglima Kostrad Letjen Soeharto bertanya, apakah presiden terlibat dalam gerakan tersebut, Yoga dengan yakin,”Ya.”
Kesimpulannya itu berpegang pada keyakinan Pangad Jenderal TNI Ahmad Yani bahwa PKI tidak akan berani melawan Angkatan Darat karena presiden ada di belakang Angkatan Darat. Dengan demikian, PKI baru berani bergerak kalau presiden berada di belakang mereka.
Latar belakang mutasi Menpangad hanya satu momen. Kemudian kesempatan itu ditunggangi oleh kepentingan pimpinan PKI yang ingin melenyapkan militer anti komunis semuanya. Kemudian PKI ingin menjadi dominan memerintah negeri tanpa ada saingan lagi. Tapi skenario ini gagal. Setelah G30S, keadaan berbalik menghantam orang-orang komunis. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto