PWMU.CO – Hj Fauziah AKM Beraisyiyah tak kenal lelah. Tahun 1971, putri Ustadz Abdul Kadir Muhammad (AKM) ini telah memegang kendali Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Sumenep.
Dalam kegiatan Aisyiyah, Fauziah kecil yang masih duduk di bangku sekolah setingkat SD telah aktif di Nasyiatul Asiyiyah (NA) yang dirintis R Musaid Werdisastro dan ayahnya, AKM. Tahun 1962, dia telah mengikuti latihan kepemimpinan se-Madura yang diadakan oleh Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Timur di Bangkalan.
Hingga akhir hayatnya, Hj Fauziah AKM tetap aktif sebagai penasihat PDA Sumenep. Di samping senantiasa mengikuti kegiatan yang diadakan PDM dan PDA Sumenep, ia tetap aktif mengisi pengajian di PCA-PCA dan di lingkungan birokrasi pemerintah. Meski sering sakit dan bahkan opname di rumah sakit, namun ia tidak mengenal kamus lelah dalam mendakwahkan Islam melalui Persyarikatan, khususnya Aisyiyah.
Mengalir Darah Muhammadiyah
Hj Fauziah menikah tahun 1963 dengan R Abdul Said, seorang pegawai pemerintah daerah yang juga seorang aktivis Muhammadiyah. Keduanya dikarunia putra Muh Al-Ghazali, Moh Ismail Saleh, dan Nur Hayati.
Dia memegang puncakpimpinan PDA Sumenep pertama setelah tahun 1971 ada kebijakan PWA Jatim yang mengubahkembangkan cabang menjadi daerah. Sepanjang masa hidup Hj Fauziah inilah kendali Ketua PDA nyaris tidak pernah berganti tangan.
Tahun 1969, Allah SWT memberi cobaan. Suami Hj Fauziah meninggal dunia. Di pernikahan kedua dengan R Abd Ghani tahun 1975, memaksa dia harus pindah ke Kertosono Nganjuk. Jabatan Ketua PDA Sumenep akhirnya diserahkan kepada Hj Zahiriyah Alwi.
Darah Muhammadiyah mengalir dalam diri Hj Fauziah. Di Kertosono, beliau menghidupkan kembali Pimpinan Cabang Asiyiyah Kertosono yang sedang sekarat hampir mati. Bahkan, beliau sendiri yang mengurus dan meminta SK Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Kertosono ke PDA Nganjuk.
Seiring berjalan waktu, tahun 1983 Fauziah kembali ke kampung halamannya, Sumenep. Tampaknya jabatan Ketua PDA Sumenep menempel pada diri Hj Fauziah. Musyawarah Daerah Aisyiyah Sumenep tahun 1985 mengamanatkan kembali posisi Ketua PDA kepadanya hingga 2000. Masa kepemimpinan di PDA beliau terhitung paling lama sebelum tongkat Kedua PDA berganti ke tangan Hj Sulusiyah Maksum yang diputuskan dalam Musyawarah Daerah Aisyiyah 2000.
Membidani Lahirnya BKIA
Rentang panjang kepemimpinan Hj Fauziah melahirkan beberapa gagasan dan amal usaha Aisyiyah. Pada 11 Mei 1975 Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) berdiri yang perizinannya diurus sendiri ke Surabaya.
Pada awal berdiri, BKIA Aisyiyah yang terletak di Desa Karangduwak ini terbilang cukup maju. Dalam sehari, pasien bisa mencapai 100 orang. Dokter pun melakukan sebagai tenaga medisnya. Sementara itu, ibu-ibu Aisyiyah bertugas di bagain pelayanan administrasinya.
Belum adanya posyandu dan puskesmas yang representatif dalam pelayanan kesehatan, BKIA Aisyiyah setiap hari sibuk dengan pemeriksaan, pengobatan, penimbangan, serta pemerikasaan kesehatan anak dan balita.
Turba Isi Pengajian
Pada periodenya, Hj Fauziah menghidupkan cabang. Tidak tanggung-tanggung, beliau turun ke cabang-cabang setiap pekan sekali. Dalam setiap turba (turun ke bawah) dia selalu mengisi pengajian. Sebagai seorang ibu yang aktif, beliau seringkali membawa putra-putrinya ke cabang-cabang, terutama saat mengisi pengajian. Kadang memaksanya untuk bermalam di kecamatan-kecamatan yang lokasinya tergolong jauh.
Hj Fauziah merintis hubungan kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten. Model hubungan ini mengarah pada sayap organisasi istri pegawai negeri sipil, Pertiwi—sekarang Darma Wanita.
Sebagai salah satu anggota Pertiwi, Fauziah menggerakkan kegiatan pengajian di lingkungan Pertiwi. Konsekuensi logisnya, Hj Fauziah harus bersedia mengisi pengajian tersebut dari Pertiwi satuan kerja yang satu ke satuan kerja yang lain. Lagi-lagi, Hj Fauziah menjadi penceramah agama wanita tunggal di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sumenep.
Pionner Bidang Pend moidikan
Di bidang pendidikan, PDA pada masa periode Hj Fauziah berhasil mendirikan beberapa TK ABA. Seperti di PCA Kota Sumenep, PCA Pragaan, dan PCA Pasongsongan.
TK ABA Pasongsongan yang hingga kini masih hidup dan maju merupakan ‘perpindahan tangan’ dari TK ABA Kota Sumenep yang mati dan tidak laku. Dalam masa perintisan TK ABA Pragaan, beliau mengirimkan adiknya sendiri, Zuhriyah, untuk menjadi pionner dan tinggal di Desa Prenduan Pragaan.
Bagi saya yang terhitung masih muda, kadang merasa malu jika melihat Ibu Hj Fauziah yang cukup senja di usianya tapi masih terus aktif ber-Aisyiyah.
Keteladanan beliau dalam hal keikhlasan berjuang, kegigihannya berdakwah, dan kekuatan komitmennya membangun dan melayani umat, tampaknya perlu direnungkan dan diingat kembali agar ghirah berorganisasi kita tetap terjaga.
Dengan demikian, semoga kita beraisyiyah tidak sekadar sak isone lan sak sempate (hanya pada saat bisa dan sempat saja). Wallahu a’lam. (*)