PWMU.CO– Isu Dewan Jenderal makin panas setelah ditemukan dokumen Gilchrist. Dokumen yang disebut dari Duta Besar Inggris di Jakarta, Andrew Gilchrist, menceritakan sebuah rencana konspirasi AS, Inggris, dan teman tentara lokal (our local army friends).
Dokumen ini diterima Menteri Luar Negeri dan Kepala Pusat Intelijen Subandrio yang sudah berada di mejanya 15 Mei 1965. Dokumen ini ditemukan di rumah Bill Palmer, distributor film Amerika, di Bogor setelah digeledah Pemuda Rakyat. Subandrio menilai surat itu asli. Setelah peristiwa G30S/PKI kemudian terbukti dokumen Gilchrist itu palsu hasil permainan intelijen Sovyet dan Cekoslowakia.
Dari dokumen itulah PKI kemudian menggoreng isu bahwa desas-desus adanya Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat itu benar. Kelompok ini yang merencanakan kudeta terhadap Presiden Sukarno.
Victor M Fic dalam bukunya Kudeta 1 Oktober 1965 menyebutkan,orang pertama yang mengembuskan Dewan Jenderal adalah Ketua PKI DN Aidit pada bulan April 1965. Tuduhan Aidit itu setelah dia melihat aktivitas politik dan ekonomi kaum militer dari Jakarta ke daerah-daerah dan desa-desa dicurigai diarahkan secara terpusat dari suatu badan khusus yang didirikan oleh Staf Umum AD (SUAD) untuk tujuan ini.
PKI berpendapat bahwa pasti ada sebuah badan khusus di dalam staf umum yang memerintah segala operasi politik ini. Badan khusus ini memiliki sebentuk hubungan dengan suatu dewan tertentu, yang keanggotaannya terdiri dari beberapa jenderal. Karena keanggotaannya ini, Aidit menamakan dewan ini Dewan Jenderal, yang dianggapnya diberi tanggung-jawab dengan tugas untuk mengatur segala aktivitas politik ini.
Lima Jenderal Dituduh
Anggota Biro Khusus PKI Pono menyebut Dewan Jenderal itu terdiri dari Jenderal AH Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Sukendro dan S. Parman. Sedangkan MT Harjono, Sutojo dan DI Pandjaitan dianggap tidak loyal kepada presiden dan memiliki sikap anti-komunis yang fanatik.
Dalam isu itu dikatakan, setelah kudeta, Dewan Jenderal membentuk kabinet. AH Nasution akan menjadi perdana menteri, Ahmad Yani sebagai wakil perdana menteri dan menteri pertahanan, Hadisubeno jadi menteri dalam-negeri, Ruslan Abdulgani menjabat menteri luar-negeri.
Jenderal Sukendro sebagai menteri perdagangan luar-negeri, Jenderal S. Parman sebagai jaksa agung, KH Rusli dijadikan menteri agama, Jenderal Ibrahim Adjie diangkat sebagai panglima AD, Komodor Udara Rusmin Nurjadin menjabat Panglima AURI dan Jenderal M. Jasin kepala kepolisian. Anehnya, jabatan presiden tidak ada.
Ketika Aidit ditanya oleh anggota Rapat Politbiro PKI pada 28 Agustus 1965 mengenai asal-usul laporan adanya Dewan Jenderal dan rencana , ia mengatakan, memperoleh laporan-laporan ini dari beberapa sumber. ”Sumber paling tepercaya adalah Brigjen Polisi Sutarto, Kepala Staf BPI,” kata Aidit.
Dia menjelaskan, segala dokumen yang berkenaan dengan Dewan Jenderal yang diperolehnya dari berbagai sumber itu sudah dilaporkan kepada Presiden Sukarno, Subandrio dan Ali Sastroamidjojo.
Dewan Jenderal dalam Rapat KOTI
Kemudian dokumen Gilchrist menjadi agenda dalam rapat KOTI (Komando Operasi Tertinggi) di Istana Merdeka tanggal 26 Mei 1965 pukul 10.00. Hadir para panglima AD, AL, AU dan Kepolisian. Juga Presiden Sukarno dan Menlu Subandrio.
Presiden bertanya kepada Jenderal Yani tentang orang AD yang disinggung dalam dokumen itu, dan keberadaan serta aktivitas Dewan Jenderal.
Yani menjawab tidak ada perwira yang berhubungan dengan orang Inggris atau Amerika, selain yang telah diberi tugas khusus untuk itu. Mayjen Sukendro diberi kewenangan untuk berhubungan dengan Amerika, sedangkan Mayjen Parman dengan Inggris. Keduanya melaporkan hasilnya dalam diskusi-diskusi kepada Yani.
Lalu Presiden bertanya lagi, ”Bagaimana mengenai desas-desus tentang keberadaan Dewan Jenderal yang membuat penilaian tentang kebijakan saya?”
”Itu tidak benar,” jawab Yani. Dia menyebut yang ada Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Dewan ini untuk mengajukan rekomendasi tentang kenaikan pangkat para perwira senior.
Teori Konspirasi Subandrio
Subandrio bicara teori konspirasi mengaitkan isi dokumen Gilchrist dengan isu Dewan Jenderal saat pidato di ulang tahun PKI di Senayan, 26 Mei 1965. Dia menyeru kader PKI siaga menghadapi konspirasi ini di seluruh daerah dan kekuatannya. Presiden Sukarno makin lengket dengan PKI yang dianggap sebagai partai revolusioner yang bisa diandalkan.
PKI lalu menata kelompok-kelompok konspirasi di partai dan angkatan bersenjata dengan metode sistem tiga orang atau pun sistem pembangunan sel. Kelompok kekuatan PKI untuk memukul komando puncak AD yang menghalangi jalan kepada tahap sosialis dari revolusi.
Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus PKI mengatakan, sejumlah perwira tentara yang berada di bawah kendali operasinya pada tahun 1965 sebanyak 400-500 orang di AD, sebanyak 30-40 orang di AL, dan 40-50 orang di AURI. Dari mereka yang berhasil direkrut ini, beberapa perwira telah menjadi konspirator utama yang siap melaksanakan pembersihan terhadap komando puncak AD.
Dalam barisan Angkatan Darat ada Letkol Infanteri Untung bin Sjamsuri dari Pasukan Pengawal Istana Presiden Tjakrabirawa. Seorang komunis sejak pemberontakan Madiun tahun 1948 meskipun bukan anggota resmi partai. Pono adalah guru ideologisnya.
Militer Binaan Biro Khusus
Lalu Mayjen Pranoto Reksosamodra, seorang mistik Jawa. Brigjen Mustapa Sjarif Supardjo, yang dididik Sjam sejak tahun 1958, yang mengepalai kelompok oposisi terhadap Jenderal Nasution dalam kalangan AD dan mengomandoi operasi Konfrontrasi Malaysia di Kalimantan.
Lalu Kolonel Latief, Komandan Brigade Infanteri I dari Komando Militer V yang ditempatkan di Jakarta beberapa waktu berada di bawah bimbingan Pono.
Dalam tubuh AURI, ada Omar Dhani, Panglima AU, Mayor Sujono, Komandan Pangkalan Udara Halim; dan Kolonel Heru Atmodjo, Asisten Direktur Departemen Intelijen AURI. Angkatan ini bahkan paling siap menghadapi situasi terburuk jika meletus pergolakan. Kalau terjadi sesuatu pada Presiden Sukarno, maka Omar Dhani akan menggantikan karena didukung oleh seluruh kekuatan progresif seperti PKI dan sekutu- sekutunya.
Dalam Angkatan Laut, Biro Chusus PKI mengendalikan Mayor Pramuko Sudarmo, Letkol Ranu Sunardi, dan Komodor Suradi, dan beberapa dari rekan-rekannya. Biro Chusus telah membina Kepolisian terhadap Brigjen Polisi S. Sutarto, Kepala Staf Badan Pusat Intelijen (BPI) dan Komisioner Polisi Imam Supoyo dan Anwas Tanuamidjaja.
Ternyata yang terjadi justru kelompok ini yang bergerak duluan pada 30 September 1965 malam membunuh orang-orang yang disebut Dewan Jenderal. Rencana dan kekuatan mereka ternyata sangat rapuh. Dalam waktu sehari Angkatan Darat berhasil memukul balik pemberontakan PKI ini. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto